Ringkasan Pemikiran Politik Thomas Hobbes dan John Locke

Direktur Riset dan Pusat Data InMind Institute Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P. merangkum beberapa poin pemikiran politik dari Thomas Hobbes dan John Locke.

Latar Belakang Pemikiran

            Ketakutan ibu Hobbes terhadap adanya invasi dari tentara Spanyol ke Kota Malsburry, tempat kelahiran Hobbes, membuat ia lahir prematur. Keadaan inilah yang kemudian mendorong Hobbes untuk mengatakan bahwa ia dan ketakutan dilahirkan bersama-sama. Karena ayahnya miskin, Hobbes kemudian dibesarkan oleh pamannya. Ia merupakan anak yang cerdas, sehingga kemudian pamannya memasukkannya ke Universitas Oxford. Meski demikian ia tidak menyukai Oxford dikarenakan kurikulum pendidikannya yang membosankan dan tidak menarik.

            Setelah kelulusannya dari Oxford, Hobbes menjadi tutor dari William Cavendish yang merupakan bangsawan kedua di Devonshire. Interaksinya dengan keluarga ini memberikan pengaruh yang penting terhadap masa depan Hobbes, bahkan lebih menstimulus Hobbes ketimbang dari pendidikan di universitas. Setelah sang bangsawan meninggal, Hobbes kemudian menjadi tutor bagi anak dari Sir Gervase Clinton. Di usia 40 tahun itulah ia bersentuhan dengan geometri dan kemudian langsung jatuh cinta terhadap keilmuwan tersebut, sehingga kemudian berpengaruh besar terhadap teori politiknya. Selain itu perjalanannya keliling Eropa di tahun 1610 bersama sang murid juga ikut mempengaruhi pemikirannya.

            Hal lain yang banyak mempengaruhi pemikiran Hobbes adalah adanya pertentangan antara Gereja Anglikan resmi, Kaum Puritan dan golongan Katolik dan juga pertentangan antara raja dengan parlemen. Hobbes juga menyaksikan kekalahan raja terhadap parlemen yang membuat Charles I dipenggal atas perintah lawannya, Cromwell. Untuk itu Hobbes mencari pemecahan masalah untuk menghindari adanya perang dan konflik dan mencapai perdamaian. Maka kemudian ia menuliskan buku Leviathan di mana dalam pandangannya negara haruslah memiliki kekuasaan seperti Leviathan, yang merupakan monster yang ganas, menakutkan dan bengis, yang menimbulkan rasa takut pada masyarakat yang melanggar kepada hukum. Negara Leviathan haruslah negara yang kuat, sebab bila tidak, akan terjadi anarki di dalam negara.[1]

Pemikiran Hobbes

The State of Nature (Keadaan Alamiah)

            Dalam keadaan alamiah, Hobbes menganggap antara manusia satu dengan lainnya adalah sama, baik secara kemampuan atau lainnya. Namun kesetaraan inilah yang mengakibatkan timbulnya kekacauan. Sebab dengan adanya kesetaraan dalam kemampuan, timbullah kesetaraan harapan untuk mencapai akhir yang sama, hal inilah yang kemudian menyebabkan manusia menjadi musuh alami (natural enemies). Sebab seluruh manusia mencari keuntungan, keamanan, atau reputasi yang membuat mereka saling menghancurkan satu sama lainnya. Sehingga keadaan ini, jika merujuk pada Suhelmi, menyebabkan manusia akan menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus) dan manusia akan berperang melawan semua (bellum omnium contra omnes).[2]

            Keadaan ini menurut Hobbes disebabkan ketiadaannya penguasa (common power) di masa itu. Meski tesis ini bukan berdasarkan penelitian empiris, namun secara kasat mata dapat dilihat dari pengalaman sehari-hari. Menurutnya, perilaku manusia yang mengunci pintu rumahnya atau bahkan lemarinya menggambarkan adanya keadaan alamiah tersebut. Menurut Hobbes, keadaan alamiah merupakan keadaan di mana manusia terpencil, miskin, buruk, dan kasar. Di masa ini juga tidak ada keadilan, sebab menurutnya, “where there is no common power, there is no law: where no law, no injustice.

            Pada masa ini manusia dalam keadaan bebas untuk melakukan berbagai hal tanpa ada suatu hambatan apapun atau ius natural, dalam hal ini kekerasanlah yang berperan, bukan perihal yang lain.[3] Sebab menurut Hobbes yang banyak terpengaruh oleh Geometri, tubuh manusia hanyalah alat-alat mekanis, akan tetapi manusia adalah mesin-mesin yang berpikir. Berbeda dengan hewan yang hanya memiliki naluri, manusia memiliki akal. Namun dalam keadaan alamiah, naluri-lah yang lebih banyak digunakan oleh manusia. Sehingga kemudian kehidupan manusia hanyalah suatu usaha terus menerus untuk memuaskan hawa nafsu, mencari kebahagiaan, dan menghindari apa yang tidak disukainya.[4]

Natural Law

            Sebagaimana telah sedikit diulas di atas, the right of nature atau ius natural adalah keadaan di mana manusia bebas melakukan segala sesuatu, dari keadaan ini Hobbes mengambil kesimpulan umum yakni, “hak merupakan kebebasan untuk berbuat, sedangkan hukum adalah untuk melarang.” Dua keadaan ini menurutnya seperti dua sisi mata koin yang sama. Untuk itu natural law melarang manusia untuk melakukan perihal yang merusak dirinya. Hal pertama dan yang paling fundamental yang ingin ditujukan dari hukum ini, yakni untuk mendapatkan kebahagiaan dan melindungi diri sendiri. Sedangkan hukum kedua mengatur kebebasan yang menjamin manusia tidak diganggu oleh manusia lainnya. Asumsi Hobbes ini menurut Mc Donald  menjadi pembenaran bagi konsep dasar dari perjanjian (covenant) di mana manusia memberikan seluruh kontrol atas dirinya terhadap pemerintah kecuali kebebasan dasar.

Covenant (Perjanjian) atau Kontrak Sosial

            Peperangan yang terus menerus dilakukan oleh manusia, mendorong manusia untuk lebih mengedepankan akalnya, sehingga mereka mencari kehidupan alternatif yang lebih baik agar manusia dapat menekan hawa nafsunya. Juga agar mereka terhindar dari kematian tragis yang sia-sia. Sehingga untuk mencapai kehidupan alternatif itu menurut Hobbes, manusia mengadakan perjanjian untuk membentuk negara. Dalam perjanjian itu manusia atau individu menyerahkan hak-hak dan kebebasannya kepada penguasa negara atau dewan rakyat (common power).[5] Demikian menurut Hobbes di dalam bukunya Leviathan,

“The only way to erect such a common power… is (for men) to confer all their power snd strength upon one man, or upon one assembly, that may reduce all their wills, by plurality of voices, unto one will… This is more than consent or concord; it is a real unity of them all, in one and the same person, made by covenant of every man with every man in such manner as if every man should say to every man, “I authorize and give up my right of governing myself to this man, or to this assembly of men, on this condition, that thou give up thy right to him and authorize all his actions in like manner.” This done the multitude so united in one person is called a COMMON-WEALTH, in latin CIVITAS. This is the generation of that great LEVIATHAN, or rather (to speak more reverently) of that mortal god, to wich we owe under the immortal God, our peace and defence,”[6]

            Dari salah satu uraian di dalam bukunya Leviathan di atas maka dapat dilihat bahwa yang dimaksudkan perjanjian satu individu kepada seorang penguasa bukanlah sekedar perjanjian yang biasa. Mc Donald menggambarkan bahwa bagi Hobbes kontrak sosial yang dilakukan bukanlah sebuah gambaran romantis dan juga bukan sebuah permainan. Hal ini merupakan realitas. Sebuah persatuan yang mutlak dan keras, di mana perpecahan akan disatukan kembali dengan terror yang kejam mengenai perbedaan. Kemudian penguasa yang muncul akibat perjanjian itu tidak terikat secara hukum. Ia berada di atas hukum tersebut.

            Oleh karenanya, dari seluruh penyataannya itu maka secara umum dapat dikatakan bahwa political obligation berasal dari ketakutan sehingga kemudian masyarakat menjadi takut untuk melanggar ketentuan tersebut. Konsepsi masyarakat seperti ini menurut Hobbes dikarenakan jika seseorang tidak patuh maka orang lain juga tidak akan patuh. Meski demikian perjanjian menjadi batal jika penguasa melanggar hukum sipil, keadaan di mana penguasa memerintahkan hal yang tidak mungkin, yakni ketika penguasa mengambil dari individu hak untuk membela diri sendiri ketika ada ancaman.

            Negara yang terbentuk kemudian juga memiliki hak untuk menentukan nilai-nilai moral. Untuk menentukan baik dan buruknya sebuah norma atau sistem nilai, sehingga negara hanya mengenal hak namun minus kewajiban. Negara memiliki kekuasaan mutlak. Kekuasaannya tidak boleh terbelah. Pemikirannya ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman Hobbes yang melihat dan bahkan merasakan pergolakan politik yang ada semasa hidupnya. Untuk menciptakan perdamaian, kekuasaan yang dimiliki negara haruslah memiliki sifat-sifat Leviathan yakni kuat, kejam, dan ditakuti.[7]

Moralitas di dalam State of Nature

            Mengenai perihal moralitas, meski Hobbes tidak membahasnya secara langsung, para pemikir melihat bahwa jika manusia tidak memiliki moral dalam keadaan alamiah, maka manusia hampir sama seperti binatang. Jika manusia tanpa moralitas, bagaimana dapat mengharapkan manusia berperilaku seperti makhluk bermoral meski ada sebuah pemerintahan. Para ahli mengenai pemikiran Hobbes terpecah menjadi tiga kategori dalam melihat pemikiran Hobbes mengenai moralitas.

            Pandangan yang pertama, para ahli melihat bahwa ada moralitas di dalam sistem Hobbes, meskipun hanya sedikit. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata “obligation” yang digunakan Hobbes yang menyiratkan bahwa hal ini berkonotasi dengan moral. Sedangkan pandangan yang kedua melihat bahwa manusia, menurut Hobbes, memiliki moral setelah terbentuknya common-wealth, di mana moralitas bukanlah hal yang alami melainkan artificial, ia merupakan produk dari organisasi sosial dan pandangan terakhir melihat moralitas telah ada di dalam diri manusia baik dalam keadaan alami ataupun ketika sudah terbentuk common-wealth. Akan tetapi moralitas yang terbentuk ketika common-wealth merupakan bentuk baru daripada bentuk sebelumnya.

Negara dan Gereja (Agama)

            Salah satu kekurangan dari tulisan Mc Donald adalah tidak adanya ulasan mengenai pandangan Hobbes antara negara dan gereja. Padahal pandangan ini menempati ruang yang luas dalam pandangan politiknya, bahkan hampir separuh dari buku Leviathan membahas mengenai perihal ini.[8] Di dalam bukunya, Suhelmi menilai bahwa Hobbes tidak simpatik terhadap agama, bagi Hobbes, agama (Kristen) hanya sekadar pemicu ketegangan sosial dan konflik, selain itu agama hanyalah takhayul-takhayul yang dibenarkan sebagai sebuah produk dari rasa takut. Rasa takut manusia terhadap kekuatan-kekuatan di luar manusia membuat manusia percaya kepada agama.[9]

Jika merujuk pada tulisan Sabine, meski Hobbes tidak melarang kegiatan gereja yang menyebarluaskan ajarannya kepada manusia, tidak ada ajaran yang sah kecuali diizinkan oleh yang berdaulat. Segala aturan yang dikeluarkan gereja harus dilakukan semata-mata hanya untuk memperkuat pemerintahan yang berdaulat.[10] Bahkan Deliar Noor berpendapat bahwa menurut pandangan Hobbes, kekuasaan penguasa juga melingkupi kekuasaan agama, sehingga penguasa harus menjadi kepala agama.[11]

            Secara keseluruhan pemikiran Hobbes yang menekankan pentingnya kekuasaan negara yang bersifat absolute, secara khusus bahkan Hobbes menyebut bentuk negara yang terbaik adalah monarki absolute, yang dapat dipahami oleh penulis adalah untuk menghindarkan terbentuknya konflik di dalam masyarakat. Kelelahan Hobbes dalam melihat konflik yang tiada henti semasa hidupnya dan keinginannya agar terciptanya kedamaian, membuatnya berkesimpulan bahwa hanya dengan menghadirkan rasa takut pada diri individu-individu melalui negara, maka konflik akan terhindarkan. Masyarakat juga akan tunduk pada hukum dengan adanya ketakutan yang terus menerus dipelihara negara.

            Asumsi ini tidak seluruhnya benar dalam pandangan penulis. Pesimisme yang berlebihan terhadap manusia, membuat Hobbes memandang manusia tidaklah berbeda jauh dengan hewan. Dalam pandangannya manusia hanya tunduk terhadap rasa takut. Seolah-olah manusia diibaratkan seperti singa di dalam arena sirkus, yang kemudian dijinakkan dengan cara ditakut-takuti oleh api setiap harinya, sehingga dengan ketakutannya itu ia pun menjadi jinak. Rasa takut yang selalu dihadirkan dalam arena sirkus terhadap hewan-hewan inilah yang kemudian bisa membuat hewan-hewan bisa jinak dan berperilaku ‘pintar’.

            Atas dasar ketakutan jugalah manusia membentuk sebuah ikatan perjanjian (conenant) atau kontrak sosial dan rasa takut yang sama juga yang menggerakkan manusia untuk beragama, bukan perihal yang lain. Lebih-lebih lagi Hobbes memandang bahwa ketaatan manusia terhadap agama merupakan sebuah bentuk ketakutan terhadap takhayul. Maka di sini Hobbes tampaknya alpa terhadap perihal kasih sayang dan cinta yang dimiliki oleh manusia. Hobbes lupa bahwa keinginan manusia untuk membentuk ikatan keluarga, misalnya, didasarkan pada rasa kasih sayang dan cinta. Begitu juga untuk membentuk ikatan yang lebih luas lagi, tidak sekadar rasa takut.

Pun dalam urusan beragama, manusia menyembah Tuhan tidak hanya didasarkan pada ketakutan akan siksa-Nya, tetapi juga kecintaan dan kasih sayang kepada Tuhan. Karena cinta yang besar terhadap Tuhan yang menganugerahi manusia banyak kenikmatan itulah yang menggerakkan manusia untuk menaati aturan-aturan agama. Dan rasa cinta ini pulalah yang dapat menghadirkan kecintaan rakyat terhadap penguasanya. Tidak perlu menghadirkan sosok penguasa yang seperti Leviathan untuk menghadirkan ketaatan rakyat. Sebab jika sang penguasa memberikan cinta kasih kepada rakyatnya, rakyat pun akan mencintai sang penguasa dan menaati setiap perintah dan aturannya.  

John Locke

Latar Belakang Pemikiran

            Menurut Mc Donald, ada beberapa latar belakang kehidupan John Locke yang sama dengan Hobbes. Keduanya sama-sama dilahirkan di sebuah kota kecil di bagian barat-daya dari negara Inggris. Wrington di Somerset merupakan tempat kelahiran Locke. Dari segi pendidikan, keduanya juga pernah mengenyam pendidikan sarjana di Universitas Oxford namun ada pula perbedaan yang menyolok, di antaranya adalah jika hubungan Hobbes dengan ayahnya tidak ada (dalam perihal pemikiran), maka ayah dari Locke memberikan pengaruh yang sangat penting dalam pemikirannya.

            Semasa hidupnya, Locke juga sama seperti Hobbes, menjadi saksi kehidupan atas konflik agama (Kristen) antara Kaum Puritan dan Kaum Royalis (pendukunh Kerajaan Inggris). Locke dibesarkan di lingkungan Puritan, sedangkan lingkungan barunya (Oxford) merupakan pendukung Kaum Royalis. Hal inilah yang kemudian banyak mempengaruhi pemikiran Locke dan ia mengambil manfaat dari keduanya. Meski berada dalam lingkungan yang sama, pemikiran Locke dan Hobbes bisa dikatakan saling bertolak belakang.

            Pada awalnya, Locke bukanlah seorang pemikir liberal, ini dapat dilihat pada esainya di tahun 1961 untuk menjawab tulisan dari Edward Bagshawe. Locke menulis bahwa ia menolak argumen yang mengutamakan adanya toleransi beragama, menurutnya seorang hakim harus memiliki kekuasaan yang absolute terhadap masyarakatnya yang berbeda. Pandangannya ini banyak dipengaruhi oleh Leviathan, sebuah buku yang ditulis oleh Hobbes.

            Pemikirannya banyak berubah ketika ia menjadi diplomat, di mana dia menyaksikan di sebuah kota kecil di Cleves, umat Calvinis, Lutheran dan Katolik Roma mampu hidup berdampingan. Dalam sebuah suratnya ke Robert Boyle salah satu sahabat yang juga banyak mempengaruhi pemikirannya ia menulis, “they quietly one another to choose their way to heaven; and I cannot observe any quarrels or animosities amongst them on account of religion.” Maka kemudian ia menjadi orang yang sangat toleran dalam melihat perbedaan agama.

Kesetaraan dan The State of Nature (Keadaan Alamiah)

            Salah satu karya Locke yang terkenal adalah tulisan The Second Treatise yang ditujukannya untuk menjawab dan mengkritik buku Filmer yang berjudul Patriarcha. Selain berisi kritik, buku Locke tersebut juga menjelaskan mengenai bagaimana kemunculan dari pemerintahan dan juga kekuasaan politik. Di dalam keadaan alamiah menurut Locke, yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Richard Hooker, manusia setara dengan yang lainnya. Sebagaimana konsep pemikir secara umum mengenai keadaan alamiah bahwa pemerintahan yang terbentuk merupakan bentukan manusia, dan bukan dibentuk langsung oleh Tuhan.  

            Terkait dengan adanya moral di dalam keadaan alamiah, menurut Locke, keadaan alamiah memiliki hukum alam untuk mengatur hal tersebut, di mana hal itu mengatur seluruh orang. Sehingga dengan hal tersebut membuat seluruh orang menjadi setara dan independen, tidak ada orang yang menyakiti orang lain dalam persoalan hidup, kesehatan, kebebasan, ataupun kepemilikan. Berbeda dengan konsep Hobbes yang memandang bahwa keadaan alamiah merupakan keadaan yang penuh dengan teror dan ketidaknyamanan, karena premis awalnya didasarkan bahwa manusia dalam keadaan alamiah memiliki hak untuk menyerang orang lain. Sehingga state of nature milik Hobbes lebih identik dengan state of war. Locke memandang bahwa keadaan alamiah bukan neraka, sehingga kekuasaan pemerintah ataupun raja tidak perlu absolut.

            Selain itu, menurut pendapat Locke, baik di dalam keadaan alamiah atau di bawah pemerintahan seorang penguasa, kebebasan dari kekuasaan yang sewenang-wenang amatlah penting. Dan menurutnya, perbudakan bukanlah sebuah keadaan alamiah (di sini Locke bertentangan dengan Aristoteles yang memandang perbudakan adalah sebuah keadaan alamiah). Seseorang juga harus menyetujui kekuasaan yang akan membawahinya, sebab tanpa persetujuannya, maka kekusaan pemerintahan tersebut tidak berlegitimasi.

            Di dalam bukunya, Mc Donald tidak menjelaskan terperinci mengenai bagaimana keadaan alamiah berubah menjadi sebuah perjanjian sosial, dan inilah yang menjadi salah satu kekurangan buku Mc Donald ini. Jika merujuk pada Suhelmi, keadaan alamiah yang penuh dengan kedamaian itu berubah ketika manusia menemukan sistem moneter dan uang. Penemuan itu kemudian menyebabkan akumulasi capital dan pembenaran atas hak-hak pemilikan. Inilah yang kemudian menjadi malapetaka, di mana dengan ditemukannya uang manusia berproduksi melebihi kebutuhannya, sehingga kemudian terjadilah perbedaan tingkat akumulasi capital di antara individu. Ada individu yang lebih kaya dibandingkan lainnya, sehingga kemudian terciptalah kesenjangan ekonomi. Kaum yang miskin memendam kemarahan dan kebencian kepada orang kaya. Menurut Locke, mereka inilah yang harus dibela agar tidak menjadi objek kekerasan dan penindasan, yang akan menimbulkan keadaan perang.[12]

            Sehingga kemudian dalam tulisan Suhelmi, menurut Locke dalam keadaan perang manusia tidak lagi memiliki kebebasan individu atau kehilangan kebebasan dalam segala hal. Ketidaksamaan posisi inilah yang mengubah keadaan alami menjadi keadaan perang. Locke sangat menekankan kesamaan, sebab kesamaan-lah yang membedakan keadaan alamiah dengan keadaan perang. Oleh karenanya menurut Locke, orang yang merampas kebebasan patut untuk dibunuh.[13]      

Hak Milik

            Locke merupakan pembela dari teori buruh mengenai nilai (the labor theory of value) yang dikembangkan oleh Karl Max dan ditolak oleh kebanyakan pemikir ekonomi kontemporer. Teori ini secara sederhana mengatakan bahwa nilai dari sebuah benda dihitung dari sebanyak apa tenaga kerja yang ada di dalam benda tersebut (yang dipakai untuk membuat benda itu). Locke juga melihat bahwa adanya pekerja/buruh merupakan penjelasan mengenai asal-usul dari property/hak milik. Menurutnya dalam keadaan alamiah, manusia seharusnya mengumpulkan sebanyak-banyaknya property sejauh yang bisa ia kumpulkan sebab Tuhan memberikan manusia barang-barang untuk dinikmati sebab keadaan alamiah tidak membatasi orang untuk mengkonsumsi barang-barang sepuasnya.

            Sehingga kemudian filsafat politik Locke banyak yang berlandaskan pada pengaturan tentang hak kepemilikan. Bahkan menurut Locke, hak kepemilikan tidak sekedar dari kepemilikan secara fisik, hal ini bahkan menjadi titik inti dari konsepsinya mengenai hidup yang baik dan negara yang baik. Menurutnya, “the GREAT end of men’s entering into society being the enjoyment of their properties in peace and safety.

Kekuasaan Negara

            Perihal lain yang hanya diulas sedikit oleh Mc Donald, namun dalam pandangan penulis penting adalah mengenai konsep negara oleh Locke. Merujuk pada Suhelmi, kekuasaan negara pada hakikatnya dibentuk untuk menjaga hak-hak kepemilikan individu. Hak-hak milik ini merupakan variabel yang terbebas dari kekuasaan negara dan juga merupakan hak alamiah yang dimiliki oleh masing-masing individu. Perjanjian sosial yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah tindakan proteksi terhadap kepemilikan individu. Di dalam perjanjian sosial itu individu sepakat untuk memberi sebagian hak-hak alamiahnya kepada negara. Kontrak sosial ini didasarkan semata-mata hanya untuk menjaga harta dan jiwa individu yang setiap saat terancam jika keadaan alamiah terus dipertahankan.[14] Secara gamblang Locke menuliskan:[15]

Tujuan pokok dan utama daripada manusia untuk bersatu membentuk negara dan menempatkan diri mereka di bawah satu pemerintahan, adalah untuk melindungi milik mereka

            Dalam pandangan Locke mengenai prinsip penting kekuasaan negara adalah bahwa kekuasaan negara tidak lain adalah sebuah kepercayaan rakyat kepada penguasa untuk  memerintah mereka atau disebut government by the consent of the people. Maka basis kekuasan penguasa bukanlah dari Tuhan melainkan dari rakyat. Sehingga penguasa harus bertanggung jawab kepada rakyat, bukan Tuhan.[16]

            Oleh karena kekuasaan rakyat berasal dari consent atau persetujuan rakyat, maka kekuasaan itu tidak bebas dan otonom berhadapan dengan aspirasi dan kehendak rakyat. Hubungan antara penguasa politik dengan rakyat yang diperintah analog dengan seseorang yang memberikan kepercayaan kepada orang lain untuk mengatur dirinya. Maka hak bertindak dan mengatur yang dimiliki negara bisa ditolerir dan dibenarkan sejauh tidak mengganggu hak-hak sipil dan politik rakyat. Oleh karenanya peran negara harus dibatasi hingga seminimal mungkin, sehingga diperkenankan mengatur dan mengambil kepemilikan individu sejauh hanya bila individu bersangkutan mengizinkannya. Negara harus menjamin hak-hak individual.[17] Selain itu, untuk membentuk checks and balances, Locke membagi kekuasaan menjadi tiga, yakni eksekutif, legislatif dan federatif.

Consent (Persetujuan)

            Konsep mengenai consent atau persetujuan juga sedikit dibahas oleh Mc Donald, meski Mc Donald tidak mengaitkan konsep ini dengan konsep kekuasaan negara secara jelas, seperti yang dipaparkan di atas. Consent bagi Locke merupakan konsep yang penting. Oleh karenanya setiap individu memiki kesempatan untuk setuju atau tidak setuju terhadap setiap peraturan pemerintah yang akan berpengaruh terhadap dirinya. Ada tiga kualifikasi penting yang Locke masukkan di dalam teori persetujuan. Kualifikasi pertama, seluruh manusia secara alamiah adalah setara. Setiap manusia memiliki kebebasan alami, namun kebebasannya itu tidak mengganggu keinginan ataupun otoritas orang lain. Kualifikasi kedua, persetujuan hanya relevan untuk fungsi terbatas, Persetujuan tidak dibutuhkan terkait dengan pembentukan Undang-Undang dasar.

Dan kualifikasi ketiga, tidak adanya kesulitan terhadap kesetaraan alamiah. Di mana kualifikasi ini menurut Locke adalah sejauh mana rata-rata masyarakat memiliki kesempatan untuk memberikan ataupun tidak memberikan persetujuannya terhadap struktur pemerintahan. Yang kemudian menjadi kritik Mc Donald terhadap pemikiran Locke ini adalah, bagaimana kita mengetahui ketika seseorang setuju ataupun tidak setuju.

            Jika dibandingkan dengan Hobbes, maka bisa dikatakan bahwa pemikiran Locke secara umum lebih rasional. Di mana ia melihat bahwa keadaan alamiah sesungguhnya penuh kedamaian dan kebebasan, kepemilikan properti inilah yang kemudian mendorong manusia dalam keadaan perang. Asumsi ini sangat berkebalikan dengan Hobbes yang memandang manusia pada mulanya makhluk yang agresif. Dalam hal ini Locke lebih ‘memanusiakan manusia’, di mana Locke sejak awal percaya bahwa manusia pada hakikatnya baik. Oleh karenanya kemudian, ketika dibentuk perjanjian sosial, penguasa hanya memiliki kewenangan untuk menjaga agar satu individu tidak menganggu kebebasan individu lainnya. Maka dari itu Locke menekankan bahwa peran negara hanyalah sebagai ‘penjaga malam’.

            Namun pemikiran Locke ini bertentangan dengan pemikirannya yang lain, di mana menurut Locke, seseorang yang mengambil kebebasan orang lain dapat dibunuh, maka keadaan ini akan memunculkan kekuasaan yang absolut bagi negara. Dengan alasan seorang individu telah merenggut kebebasan yang lainnya, negara dibenarkan untuk melakukan tindakan koersif bagi masyarakatnya. Apalagi Locke tidak secara jelas merincikan kriteria-kriteria seperti apa yang dapat dikategorikan melanggar kebebasan, hingga kemudian mempermisifkan tindakan untuk membunuh.

            Hal lain yang dapat membuka peluang terjadinya kekuasaan absolut, sehingga bertentangan dengan ide utama Locke, adalah mengenai kekuasaan berdasarkan sistem mayoritas. Kekuasaan mayoritas memunculkan dilema yang umum terkait dengan hak minoritas, di mana jika penguasa adalah mayoritas, maka hak minoritas tidak menjadi sepenuhnya. Jika hak minoritas sepenuhnya, maka kelompok mayoritas tidak benar-benar memerintah. Sehingga munculnya kelompok mayoritas sebagai pihak yang menentukan keputusan, akan menyebabkan hilangnya hak-hak kaum minoritas. Hal lain yang menjadi masalah adalah apabila kekuasaan mayoritas tersebut bertirani, maka akan terbentuklah sebuah kekuasaan mayoritas yang menindas dan tidak menghargai kebebasan.

            Selain itu, teori pembagian kekuasaan Locke yang membagi tiga kekuasaan politik yakni legislatif, yudikatif dan federatif, yang ditujukan untuk meniadakan sistem dinasti pada pemerintahan, pada hakikatnya baik, untuk menghindarkan terbentuknya kekuasaan yang bersifat tiranik. Namun di sisi lain, pengagungan Locke terhadap kebebasan dalam mengakumulasi modal, menyuburkan tumbuh kembangnya dinasti ekonomi maka kemudian dinasti ekonomi ini pasti akan merambat kepada terbentuknya dinasti politik. Sebab ekonomi dan politik adalah dua buah sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Contoh kekinian dari terbentuknya dinasti ekonomi yang merambat ke dalam dinasti politik dapat kita lihat pada kasus Indonesia misalnya, di mana banyak pengusaha-pengusaha yang memiliki usaha di segala bidang, memasuki politik. Untuk memperbesar kekuatannya di dalam politik, maka ia mengajak sanak saudaranya untuk ikut serta duduk di arena politik.

Daftar Pustaka

Noor, Deliar. 1982. Pemikiran Politik di Negara Barat. Jakarta: PT. Rajawali Press.

Mc Donald, Lee Cameron. 1968. Western Political Theory: From its Origins to the Present.  New York: Harcout, Brace & World, inc.

Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat.  Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sabine, George H. 1964. Teori-teori Politik (2): Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya. Bandung: Binacipta.                


[1] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, 2001, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 165-167.

[2] Ibid., hlm. 171-172.

[3] Deliar Noor, Pemikiran Politik di Negeri Barat, 1982, Jakarta: CV Rajawali, hlm. 77.

[4] Suhelmi, Op. Cit., hlm. 170-171.

[5] Ibid., hlm. 175-176.

[6] Leviathan, dalam: Lee Cameron Mc Donald, Western Political Theory: From Its Origin to The Present, 1968, new York: Harcout, Brace & World, Inc, hlm. 310.

[7] Suhelmi, Op. Cit., hlm. 177-178.

[8] George H. Sabine, Teori-teori Politik (2): Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, 1964, Bandung: Binacipta, hlm. 128.

[9] Suhelmi, Op. Cit., hlm. 174.

[10] Sabine, Op. Cit., hlm. 128.

[11] Deliar Noor, Op. Cit., hlm. 82.

[12] Suhelmi, Op. Cit., hlm. 191-192.

[13] Ibid., 193.

[14] Ibid., hlm. 196.

[15] Locke dalam Letter Concerning Toleration, dalam W.T. Jones, Masters of Political Thought, dalam Deliar Noor, Op. Cit., hlm. 95.

[16] Suhelmi, Op. Cit., hlm. 196-197.

[17] Ibid., hlm. 198.

sumber gambar: https://ksmwsemarang.com/hobbes-locke

Visits: 22685