Adnan Menderes, Kebangkitan Ekonomi dan Islam di Turki

Direktur Jaringan Strategis dan Kerjasama InMind Institute Muhammad Ibrahim Hamdani, S.I.P., M.Si. menulis tentang kontribusi Perdana Menteri Adnan Menderes terhadap peningkatan ekonomi sekaligus perkembangan Islam di Turki. Artikel ini dimuat oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) pada 2017 dalam http://dmi.or.id/adnan-menderes-ekonomi-turki-dan-kebangkitan-islam-1/. Hak cipta milik DMI.

Situasi ekonomi Republik Turki (Turkiye Cumhuriyeti) saat dipimpin Perdana Menteri Ali Adnan Ertekin Menderes telah memasuki era baru, yakni era pasar bebas (free market) berbasis industri dan teknologi. Perkembangan ini seiring dengan kebijakan politik luar negeri Turki yang sedang berupaya menjadi bagian dari Uni Eropa, termasuk membuka pasar dalam negerinya bagi produk impor asal negara-negara Eropa.

Konsekuensinya, kontrol negara terhadap perekonomian masyarakat yang awalnya sangat ketat (etatisme) mulai dilonggarkan. Termasuk produk-produk pertanian yang menjadi sumber utama perekonomian Turki sejak masa Dinasti Utsmaniyyah. Padahal, etatisme merupakan salah satu prinsip di dalam kemalisme yang diusung oleh pendiri Republik Turki Modern, Mustafa Kemal Ataturk.

Ali Adnan Menderes menjabat PM Turki selama 10 tahun, tepatnya sejak 22 Mei 1950 hingga 27 Mei 1960. Beliau lahir di Aydin pada tahun 1899 dan meninggal dunia di Imrali pada 17 September 1961, karena dihukum mati di atas tiang gantungan oleh militer Turki yang melakukan kudeta terhadap pemerintahannya pada tahun 1960. Ia juga menjadi salah satu pendiri Partai Demokrat di Turki pada tahun 1946.

Keberhasilan PM Ali Adnan Menderes menjadi tonggak awal kebangkitan kembali Islam Politik di Turki yang sekuler. Kebijakan ekonomi ini dilaksanakan oleh partai-partai politik yang mengakomodir prinsip-prinsip Islam atau pun berbasis massa Islam seperti Partai Demokrat, Partai Keadilan, Partai Ketertiban Nasional (NOP), Partai Keselamatan Nasional (NSP), dan Partai Refah (RP).

Dalam artikel berjudul “The Resurgence of Islam and The Welfare Party in Turkey” karya Ronnie Margulies dan Ergin Yildizoglu, halaman 147, tertulis bahwa dalam kurun waktu satu dekade, antara tahun 1950 – 1960 M, Partai Demokrat dan penggantinya, Partai Keadilan, telah melaksanakan kebijakan-kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk memenuhi permintaan mendasar dari produsen-produsen pertanian. Meningkatnya harga-harga pangan pokok di pasar dunia, dan diikuti produksi pertanian yang baik beberapa tahun sesudahnya telah mewujudkan kemakmuran luar biasa di desa-desa. Pemerintah juga mempeluas investasi dalam proyek-proyek infrastruktur untuk membangun jalan, jaringan listrik, dan air ke desa-desa secara besar-besaran (ekstensif). Kredit murah dan harga-harga yang terjangkau telah memungkinkan para petani untuk memperbesar produksi sehingga penghasilan dari usaha agrikultur meningkat secara dramatis selama tahun 1950-an.

Akibat kebijakan ekonomi pemerintah yang pro pertanian ini, maka perdagangan domestik meningkat pesat seiring dengan kepuasan kelompok borjuis di provinsi-provinsi seperti para pemasok ritel (pedagang besar), pedagang kecil, dan pekerja kelas menengah. Dasawarsa tahun 1950-an dan 1960-an merupakan tahun-tahun kemakmuran bagi para petani dan kelompok kelas menengah di provinsi-provinsi. Dua kelas inilah yang nantinya membentuk basis pendukung terhadap kebangkitan kembali kelompok-kelompok Islam. Artikel tentang tulisan ini terdapat dalam buku berjudul: Political Islam, Essays From Middle East Report yang terbit pada tahun 1997 di Berkeley dan Los Angeles, California, serta diedit oleh Joel Beinin dan Joe Stork. Buku ini diterbitkan oleh University of California Press bekerjasama dengan Middle East Research and Information Project.

Masih di artikel yang sama, halaman 147-148, Ronny Marguiles dan Ergin Yildizoglu juga menulis tentang lanskap ekonomi Turki yang mengalami perubahan dramatis pada akhir dekade 1960-an. Sekitar tahun 1968, sejarah ekonomi Turki berakselerasi lebih cepat dengan belangsungnya industrialisasi secara masif dan migrasi warga pendatang (kaum urban) sejak dekade-dekade sebelumnya. Kondisi ini menyebabkan timbulnya gelombang perjuangan pekerja. Di desa-desa terjadi berbagai aksi demonstrasi dan penguasaan lahan yang semakin meningkatkan militansi para petani. Sebagian gerakan mahasiswa radikal juga berubah bentuk menjadi kelompok-kelompok gerilya di kota-kota dengan sedikit dukungan warga namun memiliki profil (popularitas) tinggi dan agresif.

Krisis ekonomi yang terjadi pada akhir tahun 1960-an itu ditempa dan terjadi akibat sejumlah kesalahan dalam penempatan (dislokasi) keseimbangan yang ada di antara kekuatan-kekuatan kelas. Kepentingan bisnis-bisnis besar, terutama berpusat di Istanbul, tergabung dalam perusahaan-perusahaan induk besar (konglomerasi) dan memiliki hubungan dekat dengan modal asing, mulai bertentangan dengan kepentingan-kepentingan dari modal kecil dan menengah di provinsi-provinsi. Dampaknya, Partai Keadilan secara bertahap dilekatkan dengan identitas sebagai partai bisnis besar sehingga menyebabkan partai itu kehilangan dukungan dari konstituen lainnya. Konstituen Partai Keadilan pun beralih ke partai yang lebih kecil, salah satunya Partai Ketertiban Nasional yang kemudian berubah menjadi Partai Keselamatan Nasional (PKN).

PKN memiliki basis pendukung di antara para seniman, pedagang kecil, dan kelompok lain dengan pendapatan rendah dari wilayah-wilayah terpencil. Kelompok-kelompok sosial ini merupakan yang paling terpukul keras oleh krisis ekonomi di akhir tahun 1960-an dan paling tidak berharap dapat mempertahankan kelompok mereka sendiri melalui intitui-institusi politik yang ada. Kelompok-kelompok ini merasa tidak hanya kesejahteraan ekonomi mereka yang terancam, tetapi juga lembaga-lembaga tradisional dan nilai-nilai mereka. Mereka melihat pesatnya perkembangan gerakan sosialis sebagai suatu ancaman terhadap keluarga, dan terhadap agama dan nilai-nilai budaya mereka. PKN dipimpin oleh Necmetin Erbakan yang mampu menjadi juara “pembangunan industri secara mandiri”.

Ia menolak masuknya Turki ke dalam Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), yang dianggapnya hanya akan memperkuat bisnis besar dan sebaliknya (vis-a-vis) memperlemah bisnis-bisnis yang lebih kecil di provinsi-provinsi. Ia menyebut produk MEE sebagai “mental pasukan salib baru”.

sumber gambar: http://content.time.com/time/covers/0,16641,19580203,00.html

Views: 323