Direktur Riset dan Pusat Data InMind Institute Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P. merangkum berbagai pendekatan ekonomi politik dalam melohat negara menurut James A. Caporaso dan David P. Levine dalam buku mereka Teori-teori Ekonomi Politik.
Caporaso dan Levine membahas mengenai pendekatan-pendekatan dalam ekonomi politik yang melihat negara sebagai aktor yang aktif. Dalam hal ini negara memiliki agenda-agenda tersendiri yang tidak dapat dipengaruhi faktor-faktor kepentingan individual. Konsep ini dikenal dengan istilah “otonomi negara” (state autonomy). Di dalam teori mengenai negara sendiri terdapat dua pendekatan utama, yakni pendekatan yang berpusat pada negara (state centered approach) dan pendekatan yang berbasis konsep masyarakat (society centered approaches). Dalam bab ini Caporaso dan Levine pada awalnya menjelaskan mengenai konsepsi dari otonomi negara dan kemudian memaparkan mengenai pemikiran berbasis masyarakat beserta kelemahan-kelemahannya, dan di akhir tulisan mereka akan memapparkan mengenai kekuatan dari pendekatan berbasis negara.
Otonomi Negara
Adapun pemaknaan mengenai otonomi negara merujuk pada independensi negara terhadap faktor-faktor sosial. Meski demikian, hal ini tidak menjadikan masyarakat tidak relevan, namun mengandung arti bahwa faktor-faktor sosial tidak dapat mengendalikan secara penuh perilaku negara. Para pemikir aliran Marxis berpendapat bahwa negara memiliki “otonomi relatif”. Sedangkan aliran pluralis melihat bahwa negara dapat memiliki otonomi asalkan tekanan-tekanan yang diberikan oleh kelompok masyarakat tidak menghasilkan tuntutan politik yang jelas. Adapun konsepsi utama aliran statisme memandang otonomi negara sebagai kebebasan negara dari berbagai pengaruh, baik eksternal ataupun masyarakat.
Pendekatan Utilitarian
Jika merujuk pada Eric Nordlinger, negara merujuk kepada seluruh individu yang memegang jabatan di mana mereka memiliki kewenangan untuk membuat dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang mengikat sebagian ataupun seluruh masyarakat. Berdasarkan definisi ini, Caporaso dan Levine menyimpulkan bahwa negara terdiri beberapa individu dan negara terpisah dari masyarakat, di mana masyarakat terikat dengan kebijakan negara. Adapun perihal otonomi, negara dapat dikatakan memiliki otonomi apabila pejabat-pejabatnya mampu menghasilkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan keinginannya. Akan tetapi pandangan ini dikritik oleh Caporaso dan Levine yang memandang bahwa jika menyamakan negara dengan individu (pejabat), maka jika kemudian keinginan negara sama dengan keinginan individu di dalam masyarakat, maka batasan otonomi negara akan menjadi kabur.
Jika dalam pandangan kaum pluralism, otonomi negara baru bisa muncul jika kekuatan-kekuatan yang ada di dalam kelompok-kelompok masyarakat muncul secara seimbang atau sama kuat. Sehingga terjadi deadlock dan pada saat itulah negara muncul untuk mengambil tindakan. Caporaso dan Levine lagi-lagi menentang konsepsi ini dengan memberikan contoh di sejumlah negara demokratis, bahkan banyak negara melakukan intervensi untuk kebijakan makro ekonomi.
Pendekatan Marxian
Inti pemikiran utama aliran ini mengenai negara adalah bentukan dari kepentingan-kepentingan pribadi. Bagi kalangan instrumentalis, negara merupakan alat (instrumen) dari kalangan kapitalis untuk mencapai tujuannya. Selain itu, untuk menjalankan kepentingan kapitalis, negara tidak tereduksi menjadi bentukan dari kepentingan kapitalis. Dalam perihal otonomi, kalangan ini memandang negara memiliki “otonomi relatif”. Dalam hal ini negara tidak bertindak sebagai pelaksana kepentingan kapitalis, melainkan negara memiliki kepentingannya sendiri secara ideologis.
Kepentingan negara adalah mempertahankan struktur masyarakat, agar struktur yang ada tetap bertahan dan memungkinkan terjadinya akumulasi kekayaan pribadi dalam jangka panjang. Negara mempertahankan kondisi tersebut bukan dikarenakan ingin membuat kalangan kapitalis kaya, melainkan keadaan tersebut menguntungkan negara. Pemikiran ini dikritik oleh Caporaso dan Levine yang melihat bahwa teori ini tidak mampu menghasilkan teori mengenai negara yang mampu menjaga tatanan masyarakat yang diperlukan agar individu-individu tersebut tetap bisa mengejar kepentingan sempitnya di dalam masyarakat tersebut.
Pendekatan Statisme
Pendekatan statisme berkebalikan dengan pendekatan berbasis masyarakat yang memandang bahwa negara mengambil kebijakan dikarenakan tuntutan pribadi (teori utilitarian) atau kondisi material yang dihadapi individu (teori Marxis). Berdasarkan pandangan Krasner, negara diartikan sebagai sejumlah peran dan institusi yang memiliki tujuan khusus dan berbeda dengan kepentingan masyarakat manapun. Maka berdasarkan definisi ini negara bersifat publik dan tidak pribadi. Negara juga menentukan apa yang menjadi kepentingan nasional dari sebuah masyarakat. Kepentingan nasional inilah yang akan menentukan mana yang dapat dikatakan sebagai negara dan mana yang bukan. Sehingga jika tidak ada kepentingan nasional, maka tidak ada negara. Akan tetapi pemikiran ini sedikit dikritik oleh Caporaso dan Levine karena menimbulkan kerancuan. Menurut mereka, apakah kemudian keseluruhan dari keputusan negara adalah kepentingan nasional.
Pendekatan Transformasional terhadap Negara
Berdasarkan pemaparan di atas, maka istilah otonomi negara memiliki dua pengertian. Pertama, otonomi negara diartikan sebagai agenda negara yang berbeda dan tidak bisa diintervensi dari kepentingan pribadi. Kedua, otonomi negara diartikan sebagai kemampuan negara untuk melaksanakan kehendaknya sendiri. Namun kedua pandangan ini memiliki kelemahan. Pandangan pertama akan sulit untuk menyanggah argumentasi bahwa otonomi negara melanggar prinsip demokrasi, dikarenakan respon yang terjadi hanya satu arah. Sedangkan kelemahan pandangan kedua adalah dari segi teori dan metoodologi. Sebab dalam pandangan ini tidak diberikan sejauh mana batasan tindakan otonom sebuah negara. Tanpa batasan yang jelas, otonomi negara akan membuat negara bertindak sesuka hati dan mengabaikan kepentingan masyarakat. Akan tetapi sebaliknya, jika diberikan batasan, apakah dengan adanya batasan itu negara tetap dikatakan otonom.
Untuk menjawab kegelisahan intelektual tersebut, Caporaso dan Levine memberikan sebuah pendekatan alternatif di dalam melihat negara. Pendekatan ini adalah pendekatan transformasional di mana negara sebagai pelaku transformasi. Pemikiran ini memang tidak pernah digunakan secara eksplisit, namun secara samar dapat dilihat dari tulisan beberapa ilmuwan, salah satunya adalah Theda Skocpol. Menurut Skocpol negara merupakan sejumlah organisasi yang menjalankan fungsi administratif, kepolisian dan militer yang dikoordinasikan oleh badan eksekutif. Dalam hal ini negara memiliki logika dan kepentingannya senduru dan tidak dapat digabungkan dengan kelompok dominan ataupun kelompok yang ada di dalam wilayah politik.
Dalam pengertian ini bukan berarti negara tidak dapat diintervensi oleh masyarakat sipil. Namun negara memiliki caranya tersendiri untuk menghadapi tekanan dari masyarakat tersebut. Selain itu negara juga yang menentukan intervensi macam apa yang dapat diberikan kepadanya. Sehingga berdasarkan pemikirannya itu, negara tidak dapat dikatakan memiliki otonomi yang penuh karena tetap dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial. Tetapi juga negara tidak dapat dikatakan sebagai alat ataupun mekanisme faktor-faktor sosial tersebut dikarenakan negara memiliki struktur tersendiri.
Sejalan dengan pemikiran Skocpol, Caporaso dan Levine berpendapat bahwa meskipun negara seringkali ikut terlibat dalam upaya perebutan sumber daya diantara kelompok kepentingan lainnya, namun negara tetap memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan yang ditujukan bukan untuk kepentingan pribadinya. Hal ini melalui peran negara dalam mempertahankan struktur dan norma-norma yang menjadi dasar dari masyarakat maupun dari negara itu sendiri.
Berdasarkan tulisan Caporaso dan Levine mengenai otonomi negara dalam berbagai sudut pandangan pendekatan teori negara, saya melihat bahwa Caporaso dan Levine terlalu berlebihan di dalam memandang sisi-sisi kelemahan dari pendekatan berbasis masyarakat. Karena jika dilihat pada masa kekinian, pendekatan tersebut menjadi realita sehari-hari. Tampak nyata bahwa peran negara di masa kini tidak lebih dari sekedar alat kaum kapitalis. Pada kasus Indonesia misalnya, kebijakan presiden SBY yang memutuskan kasus lumpur Lapindo menjadi sebuah bencana alam merupakan refleksi dari kebenaran pemikiran aliran Marxian tersebut. Bagaimana bisa kesalahan sebuah perusahaan kemudian diambil alih menjadi sebuah bencana alam, hingga negara harus ikut mengganti kerugian.
Sehingga meski memang sejumlah teori memiliki kelemahan, tidak berarti sebuah teori memiliki keunggulan terhadap teori lainnya. Dalam perpektif saya, meski memiliki kelemahan, tetapi teori-teori tersebut memiliki keunggulannya masing-masing terhadap kasus-kasus tertentu. Karena bagaimanapun sebuah teori tidak akan sanggup untuk menjelaskan berbagai kasus yang ada. Seperti jika merujuk kasus di atas, negara pada kasus tersebut berfungsi sebagai alat dari kepentingan kapitalis.
Selain itu, kekurangan dari tulisan Caporaso dan Levine adalah tidak ada contoh kongkrit mengenai pendekatan transformasional yang disebut-sebut oleh mereka sebagai yang terbaik diantara pemikiran lainnya. Sehingga menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah jenis negara otonom ala transformasional ini hanyalah utopia belaka. Memang masih ada negara-negara otonom pada masa kekinian, seperti China ataupun Korea Utara. Tetapi kedua negara tersebut adalah negara otoriter dengan paham komunisme, sehingga tentu saja tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi, sebagaimana yang Caporaso dan Levine lontarkan sebagai kelemahan dari pandangan otonomi pertama di atas.
Sehingga dengan demikian, jika kita mencoba mencari otonomi negara pada negara-negara demokrasi yang berlandaskan sistem kapitalisme amatlah sulit. Karena jelas saja, penerimaan terbesar negara bersumber dari pajak yang dibiayai oleh kalangan kapitalis. Sehingga kemudian bagaimana negara bisa otonom terhadap kalangan ini. Belum lagi fenomena yang marak terjadi saat ini adalah ikut ambil bagiannya kalangan pengusaha menjadi pejabat negara. Sehingga negara tidak lagi menjadi alat dari kapitalisme, bila seluruh pejabat negara adalah kalangan kapitalis, maka kepentingan negara sama dengan kepentingan kapitalis. Kapitalis adalah negara dan negara adalah kapitalis. Maka pertanyaan pentingnya adalah, dimanakah letak otonomi negara saat itu?
Sumber gambar: https://www.pinterpolitik.com/beda-jokowi-beda-sri-mulyani/
Views: 3644