Direktur Riset dan Pusat Data InMind Institute Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P. merangkum kaitan antara ideologi dengan teror berdasarkan pemikiran Hannah Arendt dalam bukunya Asal-Usul Totalitarisme.

Dalam bukunya, Hannah Arendt menjabarkan mengenai ciri khusus dari bentuk pemerintahan totaliterisme, yang membedakannya dengan pemerintahan tirani. Meski terlihat mirip, namun pemerintahan totaliter berbeda dengan pemerintahan tirani, despotisme dan diktator. Ketika berkuasa, pemerintahan totaliterisme akan mengembangkan lembaga-lembaga politik baru dan menghancurkan seluruh tradisi sosial, hukum dan politik di negara tersebut. Pemerintahan totaliter juga akan merubah bentuk kelas-kelas yang ada di dalam masyarakat menjadi gerakan massa dan membangun politik luar negeri yang bertujuan untuk mendominasi dunia.
Pemerintahan totaliter merupakan sebuah perpaduan antara pemerintahan tunduk kepada hukum dan tuna hukum, antara kekuasaan yang sewenang-wenang dan kekuasaan yang sah. Dalam hal ini pemerintahan totaliter bukanlah pemerintahan yang sewenang-wenang dan tanpa hukum. Pemerintahan totaliter justru pemerintahan dengan hukum, namun pemerintahan tersebut menggunakan hukum alam atau hukum sejarah sebagai landasan hukum. Namun hukum tersebut tidak diterjemahkan ke dalam standar benar dan salah untuk tingkah laku individual oleh pemerintahan totaliter. Totaliterisme menerapkan hukum langsung kepada masyarakat tanpa menghiraukan tingkah laku masyarakat.
Bagi pemerintahan totaliterisme, seluruh hukum menjadi hukum pergerakan. Bila kaum Nazi menggunakan hukum Alam dan kaum Bolshevik menggunakan hukum Sejarah, maka baik hukum Alam dan Sejarah bukan lagi menjadi sumber stabilisator otoritas bagi tindakan-tindakan manusia sebagai makhluk hidup tetapi sudah menjadi pergerakan dalam dirinya sendiri. Teror total mengambil alih hukum positif untuk diterjemahkan ke dalam hukum gerakan atau hukum alam di dalam realitas politik. Teror merupakan realisasi dari hukum gerakan. Tujuan utamanya adalah untuk menjadikan kekuatan hukum alam atau sejarah melaju bebas mengangkangi seluruh umat manusia, tidak dihalangi oleh tindakan spontan manusia. Sehingga teror berusaha untuk menyetabilkan manusia.
Pada akhirnya – sebagai sebuah tujuan- teror ditujukan bukan untuk kemakmuran manusia ataupun seseorang, melainkan untuk menyingkirkan individu yang tidak berguna demi kepentingan spesies unggul, mengorbankan ‘bagian’ demi kepentingan ‘keseluruhan’. Hal ini sejalan dengan hukum alam Darwin yakni survival of the fittest. Ataupun hukum sejarah Marx mengenai survival of the most progressive class. Tujuan dari pemerintahan totaliter adalah membentuk manusia dengan ras unggul sesuai dengan hukum alam ataupun sejarah.
Ideologi menjadi basis penting bagi pemerintahan totaliter. Kata ideologi itu sendiri menurut Arendt berimplikasi bahwa sebuah idea (ide) dapat menjadi sebuah bahasan ilmu pengetahuan sebagaimana ilmu hewan (zoology). Dalam hal ini Arendt menganggap bahwa ideologi merupakan ilmu gadungan dan filsafat gadungan yang kemudian pada saat yang sama melampaui batas-batas ilmu dan batas-batas filsafat. Sebuah ideologi secara harfiah merupakan logika dari ide. Sehingga pokok pembahasannya adalah mengenai sejarah dimana ide itu diterapkan. Ideologi bersifat historis yang memperhatikan proses menjadi dan matinya sesuatu.
Pada hakikatnya seluruh ideologi mengandung unsur-unsur totaliter. Terdapat tiga unsur totaliter yang khas bagi seluruh pemikiran ideologis. Pertama, ideologi bersifat menjelaskan, berorientasi sejarah, diangkat dari premis alam dan mengklaim menjanjikan pemahaman historis soal kondisi penjelasan historis masa lampau, masa kini dan prediksi terhadap masa depan. Kedua, pemikiran ideologi dibebaskan dari realitas panca indera manusia dan menekankan kepada realitas yang lebih besar. Sebagai contoh, ketika pemerintahan totaliter berkuasa, maka mereka akan mengubah realitas sesuai dengan klaim-klaim ideologi mereka. Konsep kebencian akan diganti dengan konsep konspirasi. Sehingga kemudian di dalam realitas, kebencian tidak lagi dipahami sebagai hal tersebut, tetapi digantikan oleh terminologi yang lain. Ketiga, untuk mengubah realitas, ideologi mencapai pembebasan pemikiran melalui pengalaman lewat metode-metode demonstrasi.
Tirani logika di dalam sebuah pemerintahan totaliter dimulai ketika tunduknya akal pikiran manusia pada logika sebagai proses yang tanpa akhir dan dimandulkannya manusia untuk melahirkan gagasannya. Sehingga dengan ketundukan ini seseorang menyerahkan ketundukan batinnya kepada tirani, sama seperti ketika ia menyerahkan kebebasan geraknya saat ia tunduk secara lahiriah.
Maka kemudian untuk keberhasilan sebuah pemerintahan totaliter, tekanan teror di satu sisi digunakan untuk mempersatukan massa orang-orang terisolir dan pendukung mereka dan kekuatan kontrol deduksi logika (ideologi). Dan di sisi yang lain kekuatan kontrol deduksi logika menyiapkan individu dalam isolasi terhadap sesamanya. Sehingga hal itu akan berhasil jika orang-orang kehilangan kontak dengan sesamanya maupun dengan realitas di sekelilingnya. Dan manusia kehilangan kemampuan untuk mengalami dan berfikir. Warga yang ideal dari sebuah rezim totaliter bukanlah penganut Nazi ataupun komunis militant, melainkan orang-orang yang tidak bisa membedakan antara realitas dan khayalan, antara yang benar dan palsu.
Berdasarkan tulisan Hannah Arendt di atas, maka dapat dipahami bahwa untuk eksistensinya pemerintahan totaliter menggunakan teror dan ideologi sebagai alat untuk membentuk warga masyarakat yang sempurna. Namun kritik terhadap tulisan Hannah Arendt di dalam bab ini adalah kurangnya pemaparan mengenai contoh konkrit dari digunakannya teror dan ideologi oleh pemerintahan totaliter yang ada dan eksis di dunia. Arendt kurang mengeksplorasi mengenai misalnya, bagaimana Nazi menggunakan teror dan ideologi terhadap masyarakat Jerman untuk eksistensi fasisme. Juga bagaimana dilakukannya teror bahkan pemusnahan terhadap suku bangsa lain yang dianggap mengganggu eksistensi ras Arya, sebagai ras yang dianggap paling unggul. Jika hal itu dijabarkan lebih dalam, maka tentu pemahaman pembaca mengenai hal ini akan lebih menyeluruh.
Jika dibandingkan dengan Indonesia, pada masa Orde Baru Indonesia pernah dipimpin oleh rezim ototiter, sebuah rezim yang mendekati dengan pemerintahan totaliter. Meski bukan rezim totaliter, namun Orde Baru juga menggunakan teror dan monoloyalitas terhadap ideologi untuk eksistensi dan pengaruhnya di dalam masyarakat, sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintahan totaliter. Dengan kedua hal tersebut, rezim Soeharto terbukti mampu bertahan selama 32 tahun lamanya.
Namun pada masa kini setelah reformasi 1998, Indonesia dipimpin oleh rezim yang demokratis. Meski demikian, jika demokrasi tidak mampu berjalan dengan baik, bukannya tidak mungkin Indonesia akan kembali kepada rezim otoriter, bahkan lebih buruk lagi yakni rezim totaliter. Sebab jika merujuk pada sejarah, kemunculan rezim totaliter seperti fasisme di Jerman, justru hadir setelah terselengaranya demokrasi di negara tersebut. Oleh karenanya diperlukan penjagaan bagi keberlangungan demokrasi oleh semua pihak, agar tidak terjadi arus balik demokratisasi sebagaimana yang pernah terjadi di masa Orde Lama dan Orde Baru.
sumber gambar: https://www.newstatesman.com/culture/books/2019/03/hannah-arendt-resurgence-philosophy-relevance?amp
Views: 1019