Konferensi Jogja 1955: Suatu Momentum Menuju Kebangkitan Militer Pretorian di Indonesia

Wakil Direktur Eksekutif InMind Institute Prof. Dr. Firman Noor, M.A. menuliskan artikel ilmiah tentang Konferensi Jogja 1955 dan pengaruhnya pada kiprah militer di Indonesia hingga reformasi. Artikel ini dimuat oleh Universitas Pertahanan dalam Jurnal Pertahanan & Bela Negara pada 7 Agustus 2018. PDF lengkapnya dapat diakses pada link http://139.255.245.6/index.php/JPBH/article/download/376/250

Setelah selama 10 tahun militer bersikap menerima supremasi sipil dengan segala konsekuensinya, sejak tahun 1955 sikap tersebut mulai ditinggalkan. Momentum awalnya ialah diadakannya Konferensi di Yogyakarta akhir Februari 1955, yang kemudian disusul dengan “Peristiwa 27 Juni 1955”. Berbagai peristiwa di tahun 1955 itu pada hakekatnya menandai suatu persatuan yang baru di kalangan Angkatan Darat, yang didasarkan atas keyakinan bahwa (1) campur tangan pihak sipil telah demikian melewati batas, (2) pentingnya untuk terbebas dari kungkungan kepentingan sesaat kaum politisi, dan (3) komitmen yang kuat untuk bersama-sama mewujudkan kemandirian dan keberdayaan politik golongan militer di tanah air. Konferensi Jogja 1955 dengan dampak yang ditimbulkan tersebut tak pelak menandai hadirnya sebentuk model militer pretorian di Indonesia, yang menemukan bentuk terkuatnya di masa Orde Baru. Model pretorian ini pada akhirnya berakhir di akhir tahun 1998 seiring dengan semakin kencangnya angin demokratisasi, yang kemudian menempatkan lagi kalangan sipil sebagai penentu arah kehidupan politik bangsa hingga saat ini.

Sumber gambar: http://poestahadepok.blogspot.com/2019/03/sejarah-yogyakarta-19-piagam-yogyakarta.html

Views: 60