Beberapa Masalah Perwakilan Minoritas di Parlemen Menurut Kymlicka

Direktur Riset dan Pusat Data InMind Institute Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P. merangkum beberapa masalah perwakilan minoritas menurut Will Kymlicka dalam bukunya yang berjudul Kewargaan Multikultural: Teori Liberal Mengenai Hak-hak Minoritas.

Kymlicka memaparkan mengenai dukungannya terhadap hak-hak kaum minoritas terhadap hak atas pemerintahan sendiri akan tetapi tidak ada rumusan yang sederhana untuk memutuskan secara tepat dalam memberikan hak-hak tersebut kepada kelompok yang mana. Dikarenakan tidak setiap kelompok yang ada di dalam masyarakat dapat dikategorikan sebagai kelompok minoritas. Wilayah inilah yang kemudian seringkali menjadi wilayah ‘abu-abu’ dan mendatangkan konflik. Menurut Kymicka konflik tersebut harus diselesaikan secara politik dengan jujur dan demokratis. Tidak saja ditinjau dari aspek keadilannya melainkan pula prosedur dalam pengambilan keputusan yang menentukan dan menginterpretasikan hak-hak itu.

Menurut Kymlicka, keadilan dalam prosedur pengambilan keputusan memiliki arti bahwa “kepentingan dan perspektif dari minoritas didengar dan diperhitungkan.” Oleh karenanya pemenuhan hak-hak politik standar bagi kelompok minoritas sangat penting. Meski demikian hak-hak politik individu tidak cukup untuk memberikan representasi politik kelompok minoritas. Dalam parlemen AS misalnya, warga negara Amerika Afrika merupakan 12,4 persen dari populasi penduduk AS. Namun keterwakilannya di dalam parlemen hanya 1,4 persen. Ketidakterwakilan juga bukan hanya dalam masalah etnis, bangsa, ataupun ras. Perempuan misalnya, hanya memperoleh 13 persen kursi di parlemen Kanada, meskipun jumlah populasinya 50 persen dari jumlah penduduk Kanada. Keadaan ini menyebabkan pandangan banyak orang yang melihat bahwa demokrasi Barat tidak mencerminkan keragaman dari penduduk. Hal ini juga menyebabkan munculnya keinginan untuk menyediakan sejumlah kursi bagi kelompok yang dirugikan dan dipinggirkan.

Ada berbagai cara yang telah dilakukan sebagai solusi dari masalah ini. Di Amerika misalnya, dilakukan pembagian ulang distrik sehingga membentuk ulang distrik yang mayoritas penduduk berkulit hitam atau distrik orang Latino. Meskipun di distrik mayoritas berkulit hitam tidak menjamin terpilihnya orang berkulit hitam, namun setidaknya terdapat kecenderungan untuk memilih dari kalangan yang sama. Kekurangan dari sistem ini adalah ketidakmampuannya untuk mengumpulkan kelompok minoritas dalam satu distrik dalam kelompok yang tinggal secara tersebar. Cara lain untuk perwakilan kelompok dilakukan di Kanada di mana kelompok lobi feminis terkuat di Kanada merekomendasikan agar 50 persen dari kursi Senat disediakan untuk perempuan dan keterwakilan proporsional dari minoritas etnis.

Kemunculan gagasan perwakilan kelompok pada mulanya adalah pemikiran mengenai perwakilan cermin (mirror representation), yakni suatu badan legislatif dapat dianggap mewakili masyarakat umum apabila mencerminkan karakteristik etnis, jenis kelamin, atau kelas dari masyarakat. Dalam mekanisme ini karakteristik pribadi menjadi sangat penting. Beberapa pengamat menilai seseorang harus memiliki karakteristik tertentu untuk memahami kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Dalam artian, hanya orang berkulit hitam yang mampu memahami kebutuhan kelompok berkulit hitam.

Meski demikian menurut Kymlicka teori perwakilan cermin memiliki sejumlah kelemahan. Pertama, pemikiran mengenai komposisi badan legislatif harus mencerminkan kondisi masyarakat yang ada menyebabkan pemilihan umum akan beralih menjadi pemilihan wakil-wakil dengan lotere atau pengambilan sampel acak. Keadaan ini tentunya akan meninggalkan sejumlah konflik dan tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Kedua, penyataan mengenai orang kulit putih tidak bisa memahami kepentingan orang dari warna yang lain atau laki-laki tidak bisa memahami kepentingan perempuan dapat menjadi alasan bahwa orang kulit putih tidak akan memahami kebutuhan orang lain. Ketiga, pernyataan bahwa laki-laki tidak dapat memahami perempuan menghentikan kedua arah. Dalam pengertian bahwa perempuan tidak memahami laki-laki dan tidak dapat mewakilinya. Sehingga menurut Kymlicka berdasarkan argumentasi-argumentasi itu pemikiran mengenai perwakilan cermin harus dihindari sebagai teori umum perwakilan.

Sebenarnya hanya sedikit kelompok perwakilan yang mendukung pemikiran perwakilan cermin. Para pendukung kelompok perwakilan melihat hak perwakilan kelompok sebagai tanggapan atas kerugian sistemik yang menyebabkan tidak terwakilinya pandangan sejumlah kelompok minoritas yang tertindas. Keadaan ini tidak menjadikan badan legislatif harus mencerminkan masyarakat, melainkan dominasi yang telah lama dilakukan oleh beberapa kelompok terhadap kelompok lainnya menyebabkan terhambatnya kelompok tersebut untuk berpartisipasi secara efektif dalam politik sehingga hak-hak tersebut bersifat sementara sampai hambatan-hambatan sistemik telah menghilang.

Adapula kelompok perwakilan lain yang melihat bahwa hak-hak perwakilan bukan atas dasar untuk mengatasi diskriminasi sistemik melainkan sebagai akibat wajar dari hak atas pemerintahan sendiri untuk minoritas. Hak-hak pemerintahan sendiri menentukan batas-batas atas wewenang dari pemerintahan federal atas minoritas bangsa. Dalam hal ini batas-batas itu dapat ‘tidak simetris’, seperti orang-orang Puerto Rico dapat dibebaskan dari beberapa peraturan federal yang berlaku di AS.

Dalam pandangan Kymlicka, ada sejumlah hal mengenai hak perwakilan kelompok yang perlu dievaluasi. Pertama, mengenai kelompok mana yang harus terwakili. Ada banyak kelompok minoritas namun pertanyaannya kelompok mana yang berhak atas perwakilan kelompok. Kedua, mengenai berapa jumlah kursi yang didapatkan oleh satu kelompok. Hal ini dapat diselesaikan melalui sistem pemilihan proporsional ataupun jumlah ambang batas kursi. Menurut Kymlicka semakin konsensual proses di dalam sebuah badan legislatif, akan semakin mudah perwakilan dengan jumlah ambang batas dapat tercukupi.

Ketiga, mengenai bagaimana wakil-wakil kelompok bertanggung jawab. Kymlicka mempertanyakan apakah ada mekanisme pertanggungjawaban yang akan membuat wakil-wakil dari sebuah kelompok akan benar-benar melayani kelompok yang diwakilinya. Kymlicka juga berpendapat bahwa tidak berarti dengan terwakilinya suatu kelompok di dalam parlemen dapat menjamin bahwa kepentingan kelompoknya terwakili. Dalam hal ini Kymlicka tetap memandang penting bagi adanya hak perwakilan bagi kelompok minoritas namun pada saat yang sama ia menginginkan adanya evaluasi terhadap pandangan mengenai perwakilan kelompok.

Kymlicka telah memaparkan secara komprehensif mengenai isu dan perdebatan yang ada di dalam pemikiran mengenai perwakilan kelompok namun kelemahan dari tulisan Kymlicka adalah ketiadaan pemikiran Kymlicka mengenai konsep-konsep yang ideal bagi perwakilan kelompok. Kymlicka memang dengan sangat baik telah menjabarkan mengenai kelebihan dan kelemahan dari teoretisasi perwakilan kelompok, namun sayangnya dia tidak memberikan sebuah solusi yang baik bagi terbentuknya sebuah perwakilan kelompok yang baik dan efektif.

Jika melihat kondisi Indonesia di masa kini, setelah adanya Reformasi di tahun 1998, kelompok-kelompok minoritas mulai diakomodasi untuk dapat masuk ke dalam politik. Di tahun 2004 bahkan terdapat kebijakan affirmative yang memberikan jatah kursi sebanyak 30 persen kepada perempuan untuk duduk di kursi parlemen. Di tahun 2009 kebijakan affirmative ini bahkan diperbaharui sehingga perempuan dapat dipastikan mendapat salah satu dari tiga nomor pertama di dalam urutan calon anggota legislatif (zipper system) namun sebagaimana yang diungkapkan oleh Kymlicka yakni belum adanya aturan-aturan yang memadai bagi perwakilan kelompok, menyebabkan kebijakan ini tidak memberikan perubahan yang signifikan bagi upaya perbaikan kesejahteraan bagi kelompok perempuan.

Tidak hanya bagi perempuan, Indonesia juga memberikan hak perwakilan bagi kelompok-kelompok minoritas. Di Papua misalnya, pemerintah Indonesia memberikan hak bagi masyarakat Papua untuk memerintah sendiri melalui Rewan Adat Papua (DAP). Selain itu untuk mempercepat pemerataan kesejahteraan di Papua, pemerintah memberikan otonomi khusus bagi daerah di Papua. Akan tetapi sayangnya, sebagaimana yang telah diuraikan Kymlicka di atas, penerapan hak perwakilan kelompok tidak mampu menyelesaikan masalah kelompok-kelompok di Papua. Berbagai kebijakan yang diberikan oleh pemerintah tidak mampu mempercepat kesejahteraan penduduk Papua. Konflik antar etnis juga semakin meruncing akibat perebutan kekuasaan.

sumber gambar: https://www.papuatoday.com/2019/10/31/anggota-dpr-papua-periode-2019-2024-dilantik-ini-nama-nama-mereka/

Visits: 250