Penulis: Meilia Irawan, peneliti InMind Institute.
Keindahan pertemuan dua kutub yang berseteru, bertengkar dan penuh rasa kebencian. Gambaran ini dipatahkan melalui pertemuan dua pemimpin dunia, Sultan Malik al-Kamil dan St. Francis Assisi.
Inilah kisah pertemuan khusus di masa Perang Salib V antara dua pemimpin dan tokoh penting Muslim – Kristen, yakni Sultan Malik Al-Kamil, Raja Mesir abad 13 yang merupakan keponakan tokoh terkemuka dalam sejarah peradaan Islam, yaitu Salahudin al-Ayyubi dengan Santo Fransiskus dari Assisi, Italia yaitu seorang biarawan Katolik yang mendedikasikan hidupnya dalam kesederhanaan dan merupakan pendiri ordo Fransiskan, kelompok keagamaan dalam gereja Katolik. Pertemuan keduanya menjadi simbol perekat hubungan kedua agama, sebagai bentuk mutual understanding yang terus dipertahankan hingga saat ini. Cerita kedua tokoh Muslim – Kristen (Katolik) ini sering diangkat dalam diskusi hubungan antar agama dalam ruang akademik maupun pada ranah peribadatan seperti kegiatan di masjid Roma Italia.
Masjid Roma adalah salah satu masjid yang memfokuskan pada isu relasi antar agama. Dalam sejarah pembangunannya, masjid yang berlokasi di Monti Parioli utara kota Roma mulanya ditentang karena faktor ketinggian menara yang menjulang tinggi melebihi Basilica St. Peter yaitu salah satu situs suci bagi umat Katolik di Vatikan tetapi, persoalan ketinggian menara ini dapat diredakan dengan dukungan dari Paus Yohanes Paulus II atau John Paul II dengan memberi dukungan dan solusi dengan cara menurunkan ketinggian menara. Hal ini adalah win win solution bagi keduanya untuk menghindari ketegangan, wujud melanjutkan pesan mutual coexistence di masa Perang Salib.
Masjid Roma pada dasarnya adalah masjid yang merepresentasikan solidaritas dunia Islam di Barat, menjadi cermin kekuatan diplomasi spiritual 23 negara Muslim dunia. Di samping sebagai bentuk upaya rekonsiliasi antara Muslim – Kristian untuk mewadahi kerjasama human fraternity, persaudaraan atas nama kemanusiaan dengan keterbukaan Islam melalui kolaborasi dalam berbagai isu strategis dunia Islam. Dengan demikian masjid terbesar di Eropa ini menjadi pusat kebudayaan Islam yang berfungsi tidak hanya sebagai tempat ibadah dan kontemplasi umat Islam, tetapi juga sebagai penghubung relasi horizontal dengan membangun keseimbangan dan keselarasan untuk umat beragama.
Lebih dari itu, Masjid Roma adalah perekat dunia Islam di kawasan Eropa, dimana ruang – ruang diskusi dibuka dengan memberi kesempatan berkunjung para siswa, mahasiswa bahkan NGO yang bergerak di bidang perempuan, kelompok termajinalkan, aktivis dari berbagai lini untuk mengenal Islam lebih dalam. Dapat dikatakan bahwa Moschea di Roma menjadi salah satu masjid yang cukup menginspirasi bagi semua kalangan.
Sama dengan sejarah awal Islam di Nusantara, masjid ini sering menggunakan media seni dalam menyampaikan ide gagasan tentang kerukunan antar umat beragama dengan mengangkat tema heroik mengenai kisah – kisah inspiratif yang dapat dengan mudah diresapi oleh para pengunjung non – Muslim. Islam dipertunjukkan melalui media seni, soft approach untuk menyampaikan pesan ke publik.
Seni utamanya menjadi media efektif dalam penyampaian nilai dan norma keagamaan. Jika kita menelisik perjalanan Islam di Nusantara misalnya, seni mendapatkan peran penting dalam proses transmisi nilai kepada masyarakat yang notabanenya pada masa itu beragama Hindu. Seni teater dalam bentuk pewayangan yang biasanya digunakan oleh para wali contohnya adalah pendekatan yang bersifat menyenangkan, tanpa menggurui dapat mengilhami seseorang untuk bertransformasi menjadi lebih baik tanpa merasa terintimidasi. Seni teaterikal adalah media menarik yang pesannya dapat disampaikan secara mudah. Media yang cukup efektif untuk menangkal paham – paham keras dalam beragama. Seni bisa menjadi alternative tool yang bisa digunakan kembali di masjid – masjid Indonesia agar syiar Islam dapat dikenali sebagai agama damai dan penuh cinta.
Mengembalikan Citra dan Fungsi Masjid
Mengingat kembali sejarah awal dibangunnya masjid. Di masa Nabi Muhammad, masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah melainkan tempat aktivitas sosial; tempat mentransmisikan pengetahuan dan kebudayaan serta sebagai simbol kerja sama, persatuan dan semangat kebersamaan (Ahmet Tomor, 2021).
Masjid di beberapa tempat seolah mengalami penyempitan makna, masjid hanya digunakan untuk ruang ibadah yang kering pemaknaan, tidak berdampak luas pada sosial dan sering kali tidak ramah anak dan lingkungan. Di masa – masa awal Islam, masjid adalah pusat perubahan sosial dimana nilai yang dibangun berdampak signifikan pada kebaikan masyarakat sekitar. Kita bisa mengambil contoh konkret perubahan sosial dari transfer pengetahuan yang diajarkan di masjid – masjid zaman awal Islam yaitu tentang keheginisan.
Kebersihan dan kesucian adalah contoh kecil nilai Islam yang lekat dengan masjid. Dua hal ini tidak hanya mengajarkan pada proses kebersihan fisik namun beyond, yakni pensucian diri. Kehadiran Islam telah mengajarkan masyarakat pra-Islam di jazirah Arab mengenai kehigienisan yang pada saat itu belum lumrah. Melalui proses berwudhu yang sangat detil untuk oral desease (penyakit mulut) hingga memberi makna mendalam tentang purifikasi diri, untuk melihat diri lebih dalam dan seksama. Ditambah lagi dengan nilai ramah tamah dan keterbukaan yang diajarkan di masjid adalah bagian konsep pembangunan masyarakat sosial di dalam Islam. Lebih jauh lagi bahwa masjid adalah bayt al hikmah atau the house of wisdom yang mengajarkan pada pengetahuan transliterasi dan transmisi di masa keemasan Islam hingga menginspirasi para cendekiawan Kristen untuk melakukan penerjamahan besar besaran karya Aristotles dari bahasa Arab ke bahasa Spanyol. Hal inilah yang patut dikembalikan ruh fungsi masjid di masa modern ini.
Belajar dari Centro Islamico Culturale d’Italia – Grande Moschea di Roma yang bisa dilihat dari namanya yang mengusung pusat kebudayaan Islam di Italia. Masjid ini menitikberatkan hubungan antar agama, sebuah visi mewujudkan masyarakat saling mendengar dan menghargai satu dengan lainnya, mengutamakan kesamaan daripada perbedaan dan konflik. Mengajarkan keterbukaan untuk siapa saja, tidak membatasi diri dengan siapapun dan pada konteks pembahasan apapun. Hal ini tentu bisa menjadi inspirasi masjid masjid di Indonesia untuk saling bekerjasama dan diskusi masalah keumatan dari lintas agama. Membiasakan duduk bersama antara satu dengan lainnya agar bisa tercipta kesepahaman dan kebersamaan.
#Inspirasimasjid #Interreligousdialogue #Roma #RelasiMuslimKristen
Views: 263