Moderasi Berdasarkan Pancasila Diperlukan dalam Hadapi Perbedaan Pandangan Politik

Jakarta – Moderasi yang berdasarkan Pancasila akan terus dibutuhkan oleh Indonesia agar mampu bertahan dalam berbagai macam perbedaan. Dengan bersikap moderat masyarakat Indonesia akan terbiasa menghadapi perbedaan pandangan politik. Demikian hasil Kajian Inisiatif Moderasi Indonesia (InMind) Institute mengenai Moderasi di Indonesia.

“Berbeda itu biasa tetapi tidak mengorbankan prinsip. Moderasi berarti membuka dialog dan bersikap terbuka tetapi bukan berarti tidak memiliki prinsip. Moderasi merupakan sikap tidak kaku ketika berbeda, bukan berarti tidak bisa menjadi teman atau sahabat,” ungkap Direktur Eksekutif Inisiatif Moderasi Indonesia (InMind) Institute Yon Machmudi saat kajian yang diselenggarakan melalui Google Meet pada Sabtu (4/7).

Lebih jauh dia menjelaskan bahwa bangsa Indonesia saat ini perlu mewarisi konsensus (moderasi) para pendiri bangsa. “Gentle agreement berupa Pancasila itu yang kita warisi bukan malah melanggengkan konflik. Sekarang ini ada kelompok yang mau menegakkan agama tetapi tidak menginginkan Pancasila dan ada juga kelompok yang seakan mau menegakkan Pancasila namun tidak menginginkan agama. Ini yang harus kita waspadai,” papar Yon Machmudi.

Kajian InMind Institute tentang Moderasi ini turut menghadirkan Pembina InMind Institute Tommy Christomy, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor, dan Ketua Departemen Studi Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) Abdurakhman. Kajian berbentuk diskusi ini dimoderatori oleh Direktur Kajian dan Pelatihan InMind Institute Hardianto Widyo Priohutomo.

Pembina InMind Institute Tommy Christomy yang juga dosen linguistik di UI mengungkapkan bahwa gagasan moderasi masih belum banyak dibahas dan diterapkan di Indonesia walaupun moderasi sebenarnya dapat menjadi gagasan solutif dalam aspek politik, agama, dan budaya.

“Kalau kita lihat di literatur maka istilah moderasi ini muncul karena ada kecenderungan radikalisme atau terorisme. Kalau dalam konteks politik, moderat itu diposisikan tidak Kiri maupun tidak Kanan. Dalam konteks agama, moderat diposisikan tidak konservatif maupun tidak liberal. Tempat untuk membahas moderasi ini sangat beragam. Ada di level politik, level teologis, level kultural,” ungkap Pembina InMind Institute Tommy Christomy.

Pada kajian ini terungkap bahwa tantangan utama gerakan moderasi adalah adanya para buzzer, pengiring opini di media sosial yang menggunakan hinaan terhadap pihak lain.

“Saat ini demokrasi agak ilusif sehingga dimanfaatkan oleh para buzzer untuk mengkristallkan lawan agar mereka bisa mendemonisasi pihak tertentu agar para buzzer bisa mendapatkan profit,” ungkap Kepala Pusat Penelitian Politik (LIPI) Firman Noor.

Firman mengajak masyarakat untuk tidak menmandang diri dan orang lain dalam pelabelan atau labelling yang kerap digunakan oleh para buzzer di media sosial, seperti kampret, cebong, kadal gurun, kodok gurun, dan sebagainya.

“Jangan terjebak dalam pemaknaan atau labelling yang sejalan dengan apa yang dikembangkan oleh buzzer karena saat ini mulai berkembang cara berfikir yang merasa benar sendiri, tidak hanya di kalangan antipemerintah tetapi juga ada di kalangan propemerintah,” ungkap Firman Noor.

Dalam kesempatan ini Ketua Departemen Ilmu Sejarah FIB UI Abdurakhman prihatin dengan para pemimpin dan tokoh politik di Indonesia yang menikmati adanya hinaan dan labelling dari para buzzer yang membenturkan rakyat.

“Ada suatu kepentingan juga dari elit menikmati kondisi seperti itu. Saya melihat itu menurut saya publik kita belum melek politik. Kadang mereka dimanfaatkan kelompok tertentu, menjadi suatu alat bagi elite tertentu. Pertentangan seperti ini dalam sejarah juga selalu muncul tapi konteks sekarang itu miris sekali karena yang dibenturkan itu rakyat,” ujarnya.

Views: 68