Naikkan Gagasan, Bukan Baliho

Penulis: Farhan Abdul Majiid (Mahasiswa Pascasarjana School of Transnational Governance, the European University Institute)

Di tengah kondisi pandemi yang belum jelas di mana ujungnya, tingkah laku para politisi justru membuat kita terheran-heran. Dalam perbincangan yang ramai di media sosial akhir-akhir ini, baliho bergambar petinggi partai justru bertebaran di mana-mana. Masyarakat pun mempertanyakan motif dan kegunaannya.

Kita dapat maklum, bagi para politisi, setiap waktu adalah berharga. Terlebih, sebagaimana amanat konstitusi, di tahun 2024 nanti Presiden Joko Widodo tidak bisa mencalonkan diri lagi. Artinya, masa-masa menuju tahun tersebut adalah peluang bagi para politisi untuk meningkatkan popularitas sehingga dapat memperbesar peluang elektabilitasnya di kala pemilu nanti.

Masalahnya adalah, selain kita sedang menghadapi gelombang besar kedua dari pandemi, baliho-baliho yang menyesaki ruang publik itu tidak banyak menawarkan gagasan orisinil. Selain nama dan jabatan di partai masing-masing, jargon yang ditulis tidak memiliki kejelasan visi dan misi kebangsaan. Kebanyakan hanya slogan tanpa maksud yang jelas. Padahal, di dalam iklim demokrasi yang matang, relevansi gagasan sepatutnya melampaui figur perseorangan. Inilah yang belum kita temukan di baliho-baliho yang bertebaran.

Memperbaiki Kompetisi Politik

Joseph Schumpeter dalam bukunya Capitalism, Socialism, and Democracy (2006) menggambarkan fenomena kompetisi politik di alam demokrasi layaknya pasar dalam perekonomian. Pasar persaingan sempurna adalah dambaan produsen maupun konsumen karena akan memberi keuntungan terbesar bagi kedua pihak. Sayangnya, kondisi itu dapat dikatakan hampir mustahil terbentuk. Dalam persaingan politik pun demikian, persaingan sempurna antar politisi sulit untuk terjadi.

Di antara faktor yang menyebabkan sulitnya persaingan tersebut adalah keterbatasan akses informasi. Produsen tidak punya informasi yang cukup terkait selera konsumen dan konsumen pun tidak punya informasi yang setara atas produk dengan produsen. Dalam politik, para politisi memiliki keterbatasan pengetahuan terhadap aspirasi publik sementara publik pun terbatas mengakses apa saja gagasan yang ditawarkan oleh para politisi.

Jika dalam perekonomian kita berupaya agar ketimpangan informasi itu diatasi demi menjaga hak konsumen, sudah sepatutnya di politik pun demikian. Sebagai masyarakat, kita perlu untuk mendapatkan informasi dari para politisi, demi melindungi hak konstituen. Caranya ialah dengan mendorong para politisi untuk terbuka terkait gagasan dan tawaran program dalam isu-isu strategis nasional, seperti di bidang ekonomi, keamanan, kesehatan, pendidikan, hingga lingkungan.

Sayangnya, di baliho-baliho yang bertebaran, kita tidak dapat menemukan itu. Selain wajah para politisi, slogan-slogan yang tertulis pun tidak memberikan gambaran atas gagasan atau tawaran program yang hendak disampaikan. Akibatnya, masyarakat tidak memiliki pengetahuan yang cukup terkait para politisi yang di kemudian hari berpotensi menjadi pemimpin mereka.

Gagasan dan Kebijakan

Melihat masalah yang ada, sudah sepatutnya para politisi memanfaatkan baliho secara lebih substantif. Foto diri tidak perlu memenuhi baliho yang berukuran besar itu. Sampaikan gagasan dan tawaran kebijakan yang hendak dilakukan jika suatu saat menjadi pemimpin. Jika misalnya dalam satu kota mereka akan memasang baliho di 100 titik, informasi yang disampaikan bisa dibuat berseri. Ada yang menyampaikan pandangan di isu pendidikan, kesehatan, juga pesan-pesan persatuan. Selain tidak memberi kesan monoton, masyarakat pun mendapat gambaran yang lebih utuh atas para politisi yang sedang memperkenalkan diri.

Lebih lanjut, para politisi perlu memanfaatkan teknologi informasi untuk menjadi sarana komunikasi dua arah dengan masyarakat. Dalam baliho itu, misalnya, bisa ditambahkan kode digital yang bisa dipindai dari ponsel dan mengarahkan pada media sosial para politisi.

Di media sosial itulah para politisi dapat membuka ruang dialog dengan masyarakat. Memang, jika kita lihat sekarang, para politisi pun masih menggunakan media sosial layaknya baliho: hanya menyampaikan informasi satu arah, monoton, dan tidak memberi pesan secara lebih personal. Padahal, kekuatan media sosial ada pada kemampuannya menyetarakan para pengguna di ruang bersama. Peluang ini masih belum dimanfaatkan dengan bijak.

Jika di baliho para politisi hanya bisa menyampaikan gagasan besar secara umum, di media sosial ruang untuk mengelaborasi gagasan itu terbuka lebih lebar. Dengan begitu, pengenalan di baliho yang diperdalam melalui media sosial menjadikan masyarakat mendapat informasi lebih komprehensif terkait para politisi calon pemimpin masa depan bangsa.

Naik Kelas Demokrasi

Sudah sewajarnya kualitas demokrasi di Indonesia naik kelas dari demokrasi prosedural menjadi demokrasi substansial. Untuk bisa menjadi demokrasi yang substansial, partisipasi aktif masyarakat dalam proses pemilihan pemimpin adalah hal yang tidak bisa ditawar.

Partisipasi aktif masyarakat bisa dicapai melalui dua hal. Meminjam istilah ekonomi, faktor penawaran dan permintaan yang meningkat akan membuat titik ekuilibrium harga produk pun meningkat. Di sini, sisi penawaran dari para politisi perlu meningkatkan tawaran gagasan dan program yang hendak dijalankan. Sementara itu, sisi permintaan berasal dari masyarakat yang perlu meningkatkan dorongan untuk kebijakan publik yang lebih berkualitas. Buah dari peningkatan permintaan dan penawaran dalam politik melalui partisipasi aktif ini adalah perbaikan kualitas dari pemimpin.

Di masa awal kemerdekaan dahulu, Bung Hatta pernah berpidato bertajuk Mendayung Antara Dua Karang. Dalam pidatonya, beliau menekankan rasionalisasi pemerintahan agar pertahanan nasional menjadi efektif dan efisien. Jika kita menarik pandangan Bung Hatta itu dalam konteks hari ini, kita perlu meningkatkan rasionaliasi itu dengan tujuan pemimpin hasil demokrasi menjadi lebih berkualitas.

Bagaimana rasionalisasi dalam proses demokrasi itu dijalankan? Caranya ialah dengan memberi peluang orang-orang berkualitas untuk dapat maju menjadi pemimpin. Untuk itu, iklim pertarungan demokrasi harus berbasis gagasan dan tawaran program, bukan lagi pesona figur individual politisi semata. Debat publik akan menjadi berlandaskan argumen, bukan sebatas sentimen. Dengan demikian, ketika masyarakat memilih seseorang menjadi pemimpin, pilihan itu dijustifikasi berdasarkan alasan yang rasional, bukan kecenderungan emosional.

Hambatan Politis

Memang, harapan kita akan pesta demokrasi yang lebih berkualitas ini akan mengalami hambatan. Terlebih jika kita melihat fenomena populisme dan degradasi kualitas demokrasi di berbagai negara akhir-akhir ini. Kita mesti mewaspadai kemunculan politisi-politisi yang seolah berpihak pada rakyat namun sejatinya melindungi kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Apalagi dengan pudarnya diferensiasi ideologis dari partai-partai yang ada di Indonesia, semakin menyulitkan kita untuk mencari keunggulan seorang politisi yang membedakannya dengan politisi lain.

Walau demikian, saya yakin, partisipasi aktif masyarakat dapat mengurangi peluang munculnya politisi oportunis yang bisa mendegradasi kualitas demokrasi kita. Dengan debat publik yang substansial seputar gagasan dan program kerja, politisi yang tidak memiliki keduanya akan tersingkir dengan sendirinya. Ketika masyarakat menaikkan standar kualitas seorang pemimpin, mau tidak mau, para politisi harus berupaya lebih keras untuk meyakinkan konstituennya. Hasilnya akan berupa kebaikan bersama dengan hadirnya pemimpin berkualitas.

Akan tetapi, jika pada akhirnya para politisi itu tetapi tidak mau menyampaikan gagasan dan tawaran program kepada masyarakat, kita patut menaruh curiga bahwa mereka memang tidak memiliki gagasan dan program yang bisa diandalkan. Politisi semacam itu, tentu saja, tidak bisa dikatakan layak untuk memimpin bangsa menuju kemajuan di masa mendatang.

Views: 189