Pemilu 2024: Saatnya Mengembalikan Hukum sebagai Panglima

Penulis: Catur Alfath Satriya
Editor: Fadhlan Aldhifan

Indonesia tidak lama lagi akan menyelenggarakan pesta demokrasi untuk memilih pemimpin ataupun wakil rakyat. Berbeda dengan periode sebelumnya, tidak ada kandidat petahana dalam pesta demokrasi kali ini sehingga dapat dipastikan Indonesia akan memiliki wajah baru seorang presiden. Pertanyaan selanjutnya, apa yang perlu menjadi perhatian utama dalam membenahi Indonesia kedepannya. Dalam hal ini, penulis merasa agenda reformasi hukum harus dijadikan prioritas oleh Presiden Republik Indonesia kedepannya. Setidaknya terdapat 3 argumentasi yang mendasari harusnya agenda reformasi hukum diterapkan.

Penegakan Hukum Berpihak pada Penguasa

Saat ini tidak bisa dipungkiri penegakan hukum masih tumpul ke bawah dan tajam ke atas. Pengaduan masyarakat terhadap suatu kasus harus viral terlebih dahulu baru akan ditindak oleh stakeholder terkait bahkan fenomena ini diberikan nama viral justice yaitu kondisi keadilan akan muncul ketika hal tersebut viral bukan karena substansinya. Di sisi yang lain kriminalisasi dengan UU ITE kerap kali terjadi dilakukan oleh penguasa kepada masyarakat sipil dengan dalil pencemaran nama baik. Padahal, apa yang dikatakan atau dipaparkan adalah hasil kajian yang berbasiskan data atau disiplin keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Pembungkaman ini membuat kebebasan sipil menjadi terancam dan demokrasi menjadi mundur. Putusan vonis bebas terhadap Haris Azhar dan Fatia adalah tanda masih ada sedikit asa untuk demokrasi di republik ini. Namun, bukan berarti masalah kebebasan sipil dan demokrasi sudah selesai. Oleh sebab itu, presiden yang terpilih harus memperbaiki penegakan hukum yang lebih profesional yang lepas dari konflik kepentingan.

Pembentukan Hukum yang Belum Partisipatif

UU Cipta Kerja yang dalam proses pembentukan undang-undangnya mendapatkan penolakan masif yang mengindikasikan bahwa ada proses yang tidak tepat dalam pengundangannya. Salah satunya adalah kurangnya partisipasi dari ahli atau masyarakat terkait dengan proses ataupun substansi dari UU Ciptaker. UU Ciptaker yang dibuat dengan metode pendekatan omnibus law dianggap terlalu terburu-buru sehingga mendapatkan penolakan yang luar biasa dari publik. Sebagai negara hukum, idealnya pembentukan hukum di negara ini harus tetap mengedepankan partisipasi public yang demokratis. Hukum dan demokrasi tidak dapat dipisahkan. Hukum tanpa demokrasi akan menghasilkan tirani dan demokrasi tanpa hukum akan menghasilkan kekacauan dan ketidakpastian. Penting bagi kita untuk terus mengawal proses pembentukan hukum di republik ini. Jangan sampai pembentukan hukum dikooptasi oleh segelintir elite yang hanya mengedepankan kepentingan golongannya bukan kepentingan publik.

Budaya Hukum yang Sarat dengan KKN  

Dalam pandangan penulis yang juga perlu untuk dibenahi adalah budaya hukum. Merujuk pada Friedman, terdapat dua jenis budaya hukum yaitu budaya hukum internal dan budaya hukum eksternal. Budaya hukum internal yaitu budaya hukum terkait dengan para aparatur negara dalam menerapkan dan menegakan hukum. Sementara itu, budaya hukum eksternal yaitu budaya hukum terkait dengan kepatuhan masyarakat terhadap hukum yang berlaku. Dalam hal ini, penulis melihat budaya hukum di republik ini masih dipengaruhi dengan Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN). Hal ini dapat dilihat bagaimana praktik suap masih menyelimuti institusi penegak hukum. Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap hakim di Mahkamah Agung, kepala daerah, dan beberapa pejabat birokrasi di suatu kementerian menandakan bahwa praktik KKN masih tumbuh subur di republik ini. Karena aparat negara tidak bisa menjadi teladan akhirnya kepercayaan publik pun menurun dan pembangunan institusi pun tidak bisa dilakukan. Padahal, di dalam buku Why Nations Fail Daren Acemoglu berpendapat institusi mempunyai peran yang penting dalam kemajuan suatu negara. Institusi yang bersih dan demokratis dapat meningkatkan kesejahteraan suatu negara.       

Oleh sebab itu, di dalam tulisan ini penulis menyarankan agar presiden terpilih segera menindaklanjuti rekomendasi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) mengenai Agenda Prioritas Percepatan Reformasi Hukum. Di dalam rekomendasi tersebut disinggung mengenai pembenahan sumber daya manusia yang terkait dengan penegakan hukum. Pembenahan sumber daya manusia ini harus dilihat secara holistik dari hulu ke hilir yang mencakup serangkaian tahapan rekrutmen, pembinaan, pengawasan, dan reward and punishment system yang harus diterapkan agar individu-individu terbaik terdorong untuk memberikan yang terbaik untuk institusi. Salah satu konsekuensi logis dari penegakan hukum yang baik adalah hadirnya kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia yang dalam tataran tertentu dapat mendukung iklim investasi.

Views: 248