Pengesahan UU Penanganan COVID-19 dan UU Minerba: Rezim Acuh Tak Acuh di Tengah Generasi Eksis

Penulis: Direktur Kajian dan Pelatihan InMind Institute Hardianto Widyo Priohutomo, S.I.P., M.I.P.

Pada tanggal 12 Mei 2020 DPR bersama pemerintah secara resmi mengesahkan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang penanganan Covid-19 sebagai Undang-undang. Hari berikutnya pada 13 Mei 2020, DPR bersama Pemerintah kembali mengesahkan RUU Mineral dan Tambang (Minerba) menjadi Undang-undang padahal sebelumnya kedua RUU tersebut merupakan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang kontroversial dan sering dikritik oleh berbagai elemen masyarakat karena pemerintah dan DPR mengesahkan UU yang otoriter dan tidak berpihak kepada masyarakat Indonesia di tengah Pandemi COVID-19.

UU Minerba yang diresmikan pada 13 Mei 2020 merupakan perubahan atas UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009. Perubahan UU tersebut sudah dicanangkan namun batal disahkan pada September 2019 lalu akibat adanya gelombang aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat umum. Aspek yang menjadi kontroversi atas RUU Minerba ini pada beberapa pasal yang dianggap sebagai keberpihakan pemerintah terhadap para taipan batu bara. Beberapa pasal tersebut yakni Pasal Pasal 169 (a) yang mengizinkan para pemegang Perjanjian Karya Pertambangan Batubara (PKP2B) untuk memperpanjang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebanyak 2 kali selama 10 tahun (dengan total 20 tahun). Hal ini bonus yang tidak diberikan oleh UU Minerba sebelumnya. Selanjutnya, Pasal 169 (b) mengatur pemegang PKP2B dapat meminta perpanjangan 5 tahun sebelum kontraknya berakhir dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 dengan perpanjangan baru secepatnya dua tahun sebelum kontrak berakhir.

Kasus lainnya adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Perppu dengan judul yang amat panjang ini pada 12 Mei 2020 telah menjadi Undang-Undang. Kontroversinya terdapat pada Pasal 27 yang menunjukkan bahwa lembaga keuangan berpotensi kebal hukum karena tidak bisa dituntut baik secara pidana maupun perdata. Lembaga keuangan yang dimaksud yakni Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, pihak Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan. Dalam pasal yang sama, biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK untuk pelaksanaan kebijakan pendapatan negara tidak dapat dihitung sebagai kerugian negara mengingat biaya ini dipergunakan untuk penyelamatan perekonomian nasional dari krisis sehingga perbuatan administratif pejabat implementator tidak dapat digugat secara tata usaha negara. Tampak jelas negara bergerak ke arah otoriter dan potensi kerugian negara menjadi besar akibat kebijakan yang terkesan otoriter tersebut memiliki nilai anggaran mencapai 405,1 Triliun Rupiah.

Langkah Pengesahan di Tengah Generasi Eksisten

Sikap pemerintah bersama DPR mengesahkan kedua RUU tersebut mengesankan mereka enggan secara terbuka mensosialisasikan undang-undang ini secara masif kepada masyarakat. Sejatinya, Dewan Perwakilan Rakyat merupakan media aspirasi bagi masyarakat secara dua arah sehingga aspek pendidikan politik menjadi kewajiban bagi DPR dan pemerintah kepada masyarakat.

Di sisi lain generasi Indonesia saat ini cenderung tidak benar-benar cemas akan kritik yang hadir atas kebijakan pemerintah dan sibuk dengan media sosial mereka. Para generasi muda saat ini cenderung membahas kritis apa yang sedang exist ei media sosial saja dan menganggap media sosial sebagai media “panjat sosial” untuk meningkatkan popularitas mereka tanpa benar-benar kritis terhadap kebijakan tersebut dan cenderung bersikap apolitis.

Jika situasi ini terus berlanjut, bisa sangat mungkin di tengah sikap kita yang tidak memiliki empati dan cenderung apolitis serta mengutamakan eksistensi diri, pemerintah semakin menunjukkan sikap otoriternya yang menguntungkan kelompok penguasa saja. Pada akhir waktu, kita yang menjadi masyarakat, terjebak dalam situasi yang merugikan akibat ketidakpekaan kita terhadap politik negara. Bahkan, RUU Omnibus Law yang dapat menjadi momok bagi berbagai pihak, akan disahkan tanpa kita sadari. Sudah saatnya bagi kita, warga negara Indonesia, menuntut hak atas pendidikan politik dari pemerintah dan DPR RI.

Sumber gambar: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Berkas:MPRDPRBuilding.jpg

Visits: 56