Perbedaan Konsep Kekuasaan Jawa Tradisional dengan Konsep Kekuasaan Barat

Direktur Riset dan Pusat Data InMind Institute Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P. merangkum pemikiran Benedict Richard O’Gorman Anderson dalam artikel berjudul Gagasan Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa pada buku Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa yang disunting oleh Miriam Budiarjo.

Di dalam tulisannya, Benedict Anderson membedakan konsepsi kekuasaan Jawa tradisional dengan konsepsi kekuasaan Eropa modern. Ada empat konsepsi kekuasaan Eropa Barat, yakni: pertama, kekuasaan bersifat abstrak. Artinya kekuasaan hanya terlihat dari sebab-akibat yang ditimbulkan dari kekuasaan itu sendiri. Kedua, sumber-sumber kekuasaan bersifat heterogen. Ketiga, akumulasi kekuasaan tidak ada batas-batasnya yang inheren. Dan terakhir, dari segi moral kekuasaan itu bersifat ganda. 

Keempat aspek ini sangat bertentangan dengan gagasan kekuasaan dalam pandangan Jqwa tradisional yang oleh Ben konsepsi kekuasaannya juga dibagi menjadi empat, yakni: pertama, kekuasaan itu konkret. Walau kekuasaan tidak terwujud dalam diri seorang manusia tetapi terwujud dalam kayu, api, awan, dan batu. Kedua, kekuasaan itu homogen. Ini mengandung arti bahwa kekuasaan itu sama jenisnya dan sama pula sumbernya. Ketiga, jumlah kekuaan dalam alam semesta selalu tetap. Konsepsi ini menurut Ben memiliki konsekuensi bahwa terpusatnya sebuah kekuasaan di satu tempat atau pada seseorang mengharuskan pengurangan jumlah kekuasaan di tempat lain dengan jumlah yang sebanding. Dan keempat, kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan. 

Konsepsi-konsepsi yang diutarakan Ben Anderson tersebut memiliki konsekuensi terhadap beberapa hal. Berbeda dengan tradisi Barat yang lebih menitikberatkan kepada bagaimana menggunakan kekuasaan itu, konsepsi kekuasaan Jawa tradisional lebih melihat bagaimana menghimpun kekuasaan. Ini dilakukan dengan praktik-praktik yoga dan bertapa dengan sangat keras, seperti tidak tidur, tidak melakukan hubungan seksual, berpuasa, dan berbagai praktik lainnya. Hal tersebut ditujukan bukan untuk menyiksa diri namun semata-mata untuk memperoleh kekuasaan. Untuk memperbesar kekuasaan, penguasa juga harus mengumpulkan benda-benda ataupun orang yang dianggap mempunyai dan mengandung kekuasaan, seperti keris, tombak, kereta, atau manusia seperti orang kerdil, ahli nujum, dan berbagai manusia sakti lainnya.

Konsepsi kekuasaan pada Jawa tradisional juga memiliki konsekuensi terhadap struktur proses sejarah. Jika menurut perspektif Barat modern, sejarah dipandang sebagai suatu runtutan peristiwa yang berjalan searah garis waktu namun dalam pandangan Jawa tradisional sejarah merupakan gerakan yang melingkar yang terjadi secara berulang-ulang dengan urutan historis: terpusat – terpancar – terpusat – terpancar keadaan ini akan terus berulang tanpa ada hentinya.

Adapun mengenai hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah, pandangan tradisional memandang pentingnya kekuasaan yang terpusat. Keadaan ini diibaratkan dengan sorotan cahaya lampu yang semakin meredup secara tidak terputus-putus ketika semakin jauh sumber cahaya tersebut. Keadaan inilah yang menggambarkan tidak hanya struktur negara saja, melainkan pula hubungan antara pusat dan daerah. Hal inilah yang kemudian dapat menjelaskan mengenai penentangan Soekarno terhadap sistem parlementer dan federalisme sebab menurutnya dan sejalan dengan konsepsi tradisional, terpencar-pencarnya kekuasaan akan mengakibatkan penurunan kekuasaan sehingga kesejahteraan masyarakat dilihat dari sejauhmana kemampuan pusat untuk memusatkan kekuasaan.

Kondisi ini juga mempengaruhi antara hubungan penguasa dan rakyat, gusti dan kawulo, priyayi dan kaum tani. Pandangan Jawa tradisional tidak menganggap adanya perjanjian sosial (social contract) di mana ada kewajiban timbal balik antara penguasa dan yang dikuasai berdasarkan perjanjian ini. Adapun yang menjadi logika dasar bagi hubungan penguasa dan bawahan adalah gagasan noblesse oblige (kebangsawanan harus sembada dan wajib mengabdi). Konsep tradisional lebih menekankan adanya kesadaran secara pribadi bagi seorang penguasa untuk bersikap baik terhadap bawahannya dan bukan dikarenakan konsekuensi sebuah perjanjian sosial. 

Terkait dengan etika, pandangan Jawa tradisional melihat bahwa sikap yang harus dimiliki oleh para pejabat adalah sikap tanpa pamrih, yakni menahan diri terhadap pemuasan motif-motif pribadi dan juga bekerja keras demi kepentingan negara tanpa mengharapkan keuntungan pribadi. Berdasarkan konsep pamrih ini, dapat dipahami konsep pemikiran orang Jawa tradisional terhadap akumulasi kekayaan. Bagi kebanyakan orang Jawa tradisional, meskipun kekayaan berkorelasi dengan kekuasaan namun kekayaan bukanlah tujuan dari dicapainya kekuasaan itu. Masyarakat Jawa sangat menganggap rendah pemimpin-pemimpin yang hanya mengeruk keuntungan pribadi dan memperkaya diri dalam kekuasaan yang dimilikinya. Dalam tradisi Jawa jelas digariskan bahwa kekayaan sudah pasti mengikuti kekuasaan dan bukan kekuasaan yang mengikuti kekayaan. 

Korelasi antara kepemimpinan dan etika pamrih dapat dilihat ketika jatuhnya Soekarno dari kursi kepresidenan. Isu yang paling mencolok yang digulirkan kala itu adalah isu pamrihnya presiden dalam bentuk korupsi yang dilakukannya dan juga penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Meski tidak ada perjanjian sosial antara penguasa dengan rakyat, menurut pandangan tradisioanal, penguasa harus berkelakuan baik. Jika tidak, kekuasaan akan surut atau lenyap. Jika hal ini terjadi maka akan hilanglah tatanan yang baik serta kelancaran dalam sistem sosial.

Secara umum tulisan Ben Anderson dapat dikatakan mampu menggambarkan dengan baik mengenai gagasan kekuasaan Jawa tradisional. Anderson juga dengan sangat baik menganalisis dan mengkorelasikan gagasan tersebut dengan fenomena kekinian, seperti alasan mengenai perilaku Soekarno yang berulangkali menyatakan memiliki garis keturunan langsung dengan penguasa-penguasa ternama di masa silam. Anderson melihatnya sebagai sebuah perilaku untuk mempertahankan kekuasaan berdasarkan tradisi Jawa.

Hal lain yang Anderson coba kaitkan adalah mengenai merebaknya korupsi di dalam pemerintahan Indonesia dikarenakan pola hubungan penguasa – rakyat di dalam Jawa tradisional yang tidak berdasarkan kepada perjanjian sosial sehingga tidak terbentuk sebuah tradisi kewajiban timbal balik antara penguasa dan rakyat. Keadaan-keadaan inilah yang kemudian mengakibatkan merebaknya sistem patrimonial, di mana kesejahteraan hanya akan didapatkan pada sesiapa saja yang dekat dengan raja atau penguasa. 

Akan tetapi dalam hal ini, dalam kaitan budaya korupsi yang terjadi di Indonesia, tidak dapat hanya dilihat secara parsial bahwa hal tersebut merupakan pengaruh dominan dari pola hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah dalam gagasan Jawa tradisional. Bagaimanapun juga, harus diakui bahwa penjajahan Belanda selama 350 tahun ikut andil dalam terbentuknya budaya korupsi ini. Sistem patron – klien dan ekonomi rente yang berkembang di Indonesia secara historis dapat dilihat permulaannya ada dan tumbuh subur ketika masa penjajahan Belanda. Salah satu kelemahan dari tulisan Anderson ini adalah ketiadaannya unsur pengaruh tradisi kekuasaan Belanda yang ikut mewarnai konsepsi kekuasaan pada masyarakat Jawa. Upaya Ben Anderson menganalisis perilaku aktor politik Indonesia di masa kekinian, tidak boleh hanya dilihat dari satu kaca mata saja yakni gagasan tradisional. Anderson juga harus melihat bahwa kolonisasi Belanda selama 350 tahun turut mewarnai perilaku aktor-aktor politik tersebut sehingga terjadi percampuran antara konsepsi tradisional dengan kebijakan Belanda di Hindia Belanda.

sumber gambar: https://www.kratonjogja.id/peristiwa/51/ngabekten-dal-1951-bentuk-bakti-kepada-sultan

Views: 2767