Polemik Moderasi dan Rekonsiliasi Abrahamic Religions

Penulis: Meilia Irawan, Peneliti InMind Institute.

Foto: Abrahamic Religions and Slavery

Layaknya seperti kail yang tidak bertemu, Barat dan Dunia Islam seperti dua kutub bersilang yang tidak pernah menyatu. Demikian pula dengan perseteruan Muslim – Kristiani yang sangat berakar pinak, terus dibayangi sejarah pertarungan dan heroik dari kedua imperium—Konflik terus membesar dengan isu isu radikalisme dan terorisme. Dunia Islam menjadi bahan diskursus dan menjadi perdebatan serius pasca Perang Dingin dan WTC 9/11. Namun demikian, rekonsiliasi terus dilakukan. Barat dan gereja menginisiasi sejumlah pertemuan dan diskusi tingkat global untuk membangun dialog lintas agama atau kerukunan antar pemeluk agama dengan memberikan tema khusus yakni rekonsiliasi Abrahamic religions.  

Rasanya pembahasan rekonsiliasi atas nama agama – agama Ibrahim terus menyebar di berbagai ruang ruang diskusi, baik global maupun lokal. Ada yang menarik tentang isu moderasi yang mengangkat tema Abrahamic religions, dimana fokus utamanya adalah mutual understanding, yang nyatanya tidak bisa diterima 100% oleh masing masing kelompok. Namun, hal yang paling menarik dalam tulisan ini adalah tokoh Abraham, yang dalam sejarah ketiga agama merupakan tokoh sentral dalam penemuan hakikat Tuhan.

Sebagai bapak monoteisme, Abraham atau Ibrahim adalah sosok yang menjadi cikal bakal kelahiran tiga agama besar, Yahudi – Kristen dan juga Islam. Ia lahir di zaman antiquity, dimana The One God, Ketuhanan yang Esa baru ia temukan pada millenium abad ke-3 SM. Menariknya, nama Abraham masuk ke dalam literatur Inggris Kuno pada 11 M dan semakin populer dengan term Abrahamic di abad 20-an. Walau demikian berakarnya sosok Ibrahim bagi ketiga agama; Yahudi, Kristen dan Islam, tidak membuat semua menyetujui istilah Abrahamic religions untuk disematkan pada kelompok ketiganya. Hal ini karena pandangan teologis yang berbeda—Bagi sebagian ilmuwan, Abrahamic religions yang bertujuan untuk mencari titik temu melalui akar sejarah kelahiran, ternyata tidak bisa dipahami dengan kesepakatan utuh karena dianggap bermuatan politik. Sebagian ilmuwan menurut Cohen dalam bukunya The Abrahamic Religions: A Very short Introduction berpandangan bahwa moderasi semacam ini hanya mencoba memaksakan kehendak dengan membesarkan – besarkan kesamaan dan mengesampingkan perbedaan yang pada dasarnya masing masing agama mempunyai truth claim yang dipegang kuat karena bersifat immanent.

Persoalan moderasi ini tidak mudah untuk disepakati terlebih setiap agama memegang teguh keyakinannya. Seperti benang kusut yang sedang dicari ujung pertemuannya, maka perlu diurai helai demi helai. Jika persoalan teologis tidak mampu dihargai maka moderasi menjadi hal yang hanya berada di meja. Dalam ruang moderasi, isu teologis tidak bisa dikesampingkan. Jika Yahudi dalam monoteisme-nya lebih dekat dengan Islam, maka pandangan Kristen mengenai kesalahan Yahudi terkait inkarnasi pun akan menjadi hal yang tidak mudah dipahami, begitu pula sebaliknya. Ruang diskusi untuk saling memahami “the way of thought” perlu kiranya mendapat ruang lebih dalam isu kerukunan antar umat beragama.

Human Fraternity

Mengesampingkan polemik teologis ketiga agama, dalam moderasi ditemukan perjumpaan melalui human fraternity atau persaudaraan atas nama kemanusiaan. Human fraternity ini adalah sebuah dokumen yang ditandatangi oleh kedua tokoh besar yakni Sheikh Ahmed el-Tayeb, tokoh Islam yang berasal dari Mesir dan Paus Fransiskus dari Kristen (Katolik). Tujuan utamanya adalah coexistence yakni bagaimana antar umat beragama mampu hidup berdampingan, living together secara damai tanpa adanya tedensi kecurigaan, prejudice. Namun pada dasarnya, duduk bersama, berdialog dan bermusyawarah serta menyebarkan kebaikan kepada sesama adalah nilai yang sudah ada pada tiap agama, bahkan menjadi ruh dalam kepercayaan masing – masing walaupun dalam realitanya dikotori oleh berbagai kepentingan politik yang akhirnya merusak tenun persaudaraan antar umat.

Di Indonesia sendiri misalnya, berdasarkan data yang penulis dapatkan bahwa politik dan kebijakan masuk ke dalam tipe yang menyebabkan konflik agama. Persoalan rusaknya tenun kebangsaan karena isu politik ini semakin sensitif ketika politik identitas dipakai. Tetapi, jika kita kembali pada konteks identitas Ibrahim, maka ditemukan hal penting untuk mengatasi gap dan menemukan titik temu yakni posisi Ibrahim bagi ketiganya adalah seorang Yahudi, sebagai the first patriarch of the Jews people, yaitu seorang yang berjasa yang telah memperkenalkan ide ketuhanan monoteisme pada orang Yahudi, Israel. Ia sebagai penjamin perjanjian bagi orang Kristen (Genesis 17: 2), dan sebagai Nabi untuk umat Islam (Nabi Ibrahim disebutkan dalam Al – Quran sebanyak 69 kali). Dengan mengurai posisi Abraham atau Ibrahim sebagai bapak bangsa dengan nilai ketuhanan yang ia sematkan, maka diharapkan upaya moderasi untuk harmonisasi antar umat semakin berjalan dengan baik.

Views: 175