Nasionalisme, Demokratisasi, dan Sentimen Primordial di Indonesia: Problematika Identitas Keagamaan versus Keindonesiaan (Kasus Ormas Pendukung Khilafah Islamiyah)

Wakil Direktur Eksekutif InMind Institute Prof. Dr. Firman Noor, M.A. menjadi salah satu peneliti bersama Syafuan Rozi, Luky Sandra Amalia, Muridan S. Widjojo, dan Syamsuddin Haris dalam penelitian ini yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan dimuat pada situs academia.edu. Executive summary berbentuk PDF dapat diakses pada link http://www.academia.edu/download/32305679/Executive_summary_2_timnas_2009.doc

Secara ganeologis atau asal-usul, gerakan Tarbiyah, HTI, MMI memiliki akar dan jaringan dengan gerakan Islam antarbangsa. Namun demikian membumikan doktrin atau “mengindonesiakan” falsafah dasar keislaman merupakan sebuah pilihan bagi gerakan Tarbiyah. HTI menawarkan sistem ekonomi syariah untuk membendung dampak buruk kapitalisme dan neo-liberalisme di Indonesia. MMI menawarkan empat program unggulan untuk membenahi Indonesia. Gerakan tersebut memiliki pola berfikir global dan bertindak lokal.

Gerakan HTI membuat ulasan soal Indonesia, Khilafah, dan Penyatuan Kembali Dunia Islam. Bagi HTI Indonesia adalah titik awal tegaknya khilafah. Semua persoalan yang saat ini tengah dihadapi oleh dunia Islam, termasuk Indonesia, berpangkal pada tidak adanya kedaulatan asy-Syari’. Dengan kata lain, tidak diterapkannya sistem Islam di tengah-tengah masyarakat. Masalah utama ini kemudian memicu terjadinya berbagai persoalan ikutan, seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, kerusakan moral, kedzaliman, ketidakadilan, disintegrasi dan penjajahan dalam segala bentuknya

Gerakan Tarbiyah bergerak bak pendulum. Di satu sisi, eksistensinya merupakan bagian dari perkembangan sejarah anak bangsa yang gelisah dan berupaya menjawab berbagai soal di sekitarnya. Di sisi lain, gerakan ini menemukan jawaban dalam pola pikir dan gerakan trans-nasional. Dalam kondisi ini pilihan-pilihan untuk berkembang sejalan dengan keyakinan ideologis berkelindan dengan kenyataan-kenyataan empiris yang dihadapi. Dalam situasi seperti ini pilihan-pilihan universalitik harus disejajarkan dengan konteks nasionalistik.

Gerakan MMI cenderung menilai masyarakat dan pemerintah Indonesia telah menerapkan syariat Islam namun belum menyeluruh. Selama ini umat Islam di Indonesia bebas menjalankan ajaran agamanya, seperti melaksanakan shalat berjamaah, menunaikan zakat, dan pergi Haji ke Tanah Suci Makkah. Selain itu, pemerintah menyelenggarakan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah (BAZIS) untuk mengelola dana zakat, infaq dan shadaqah umat. Selain itu, pemerintah juga menetapkan kebijakan mengenai nikah-talak-cerai-rujuk (NTCR) yang merujuk pada ajaran Islam. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan penyempurnaan dalam menerapkan syariat Islam, termasuk menerapkan hukum pidana Islam sebagai satu-satunya cara untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari persoalan moral dan akidah

Dari kajian teoritis dan olah data lewat penelitian ini dapat dilihat kecenderungan beberapa faktor yang menyebabkan munculnya semangat menonjolkan identitas primordial, termasuk dalam konteks keagamaan, di Indonesia pada era demokratisasi saat ini, khususnya tentang ide penerapan khilafah Islamiyah oleh beberapa ormas Islam kontemporer. Faktor-faktor tersebut sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya terhubung dengan persoalan: Pertama persepsi tentang posisi Islam dalam kehidupan politik. Kedua, kritik atas kemunduran kondisi umat Islam yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Ketiga, model pemerintahan represif masa lampau yang menghadirkan trauma dan obsesi yang eksklusif. Keempat, peluang demokratisasi yang memungkinkan berkembangnya beragam ide termasuk hadirnya berbagai macam ide keagamaan yang bersifat transnasional.

Sumber gambar: https://mediaindonesia.com/read/detail/140327-dokumen-yang-dibawa-hti-dinilai-tidak-kuat

Visits: 49