Rangkuman Pemikiran Aristoteles

Direktur Riset dan Pusat Data InMind Institute Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P. merangkum pemikiran Aristoteles.

Aristoteles merupakan murid dari Plato. Ia berguru kepada Plato ketika usianya 18 tahun dan belajar hingga 20 tahun lamanya. Setelah Plato meninggal, ia meninggalkan Athena dan melakukan pengembaraan ke Asia Kecil, kemudian ke Macedonia dan akhirnya menjadi guru dari Iskandar Agung. Tulisan Aristoteles tidak hanya mengenai politik, tetapi juga ekonomi, etika, metafisika, teologi dan fisika. Meskipun murid dari Plato, namun pemikiran Aristoteles berbeda jauh dengan Plato. 

Negara

Jika Plato memandang bahwa hakikat terciptanya negara karena antar warga negara saling memerlukan. Namun Aristoteles melihat bahwa negara adalah gabungan dari bagian-bagian, di mana urutan bagian tersebut adalah kampung, keluarga dan individu. Individu menurut aristoteles adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri, maka ia membentuk keluarga. Keluarga juga tidak bisa hidup sendirian, dan kemudian membentuk kampung, hingga akhirnya terbentuklah negara. 

Dalam hubungannya antara manusia dan negara, Aristoteles melihat bahwa manusia adalah makhluk politik (zoon politikon), artinya bahwa manusia adalah makhluk masyarakat atau makhluk negara yang mencapai kesempurnaannya hanya dalam masyarakat atau negara. Sehingga orang yang tidak memerlukan masyarakat atau negara, dianggapnya bukan manusia, tetapi seperti hewan atau dewa. Tujuan didirikannya negara juga untuk kebaikan diri manusia.

Mengenai ungkapan Aristoteles bahwa manusia sebagai binatang politik, Losco menganalisa bahwa keluarnya pemikiran seperti itu dipengaruhi oleh dua hal, pertama, ayah dari Aristoteles adalah seorang ahli pengobatan, dan tidak diragukan lagi menanamkan kecintaan terhadap pengetahuan alam. Aristoteles juga menghabiskan beberapa tahun di luar Athena untuk mempelajari spesies binatang. Ia juga banyak menulis tentang biologi. Kedua, frasa “manusia adalah binatang politik” mencerminkan minat Aristoteles terhadap hal-hal praktis. Berbeda dengan Plato, Aristoteles tidak percaya terhadap bentuk-bentuk abstrak. Sebaliknya, dunia materi memberikan objek-objek yang sesuai dengan studi ilmiah.

Aristoteles juga memandang pentingnya kedaulatan hukum di dalam sebuah negara. Oleh karenanya ia menolak konsepsi Plato yang melihat bahwa pemimpin-pemimpin yang bijaksana dapat menggantikan kedaulatan hukum. Menurut Aristoteles, sebesar apapun kebijaksanaan seorang pemimpin tidak akan mampu menggantikan hukum. Oleh karenanya pemerintahan yang berdasarkan hukum (berkonstitusi) harus memiliki tiga unsur, yakni pertama, pemerintahan untuk kepentingan umum. Kedua, pemerintahan yang berdasarkan hukum dijalankan berdasarkan ketentuan umum, bukan berdasarkan peraturan-peraturan yang sewenang. Ketiga, pemerintahan berkonstitusi merupakan pemerintah yang terpilih oleh masyarakatnya.

Aristoteles juga berpendapat bahwa kekayaan tidak memiliki hak moral terhadap kekuasaan, sebab negara bukanlah sebuah perseroan dagang atau suatu perjanjian. Tidak ada satu kelaspun yang mempunyai hak mutlak atas suatu kekuasaan, karena sifatnya yang terlepas dari perseorangan itu. Meski Aristoteles berpendapat bahwa sebuah negara yang baik harus dikemudikan oleh hukum, tetapi hal tersebut tidak menjamin bahwa negara yang berdasarkan hukum akan menjadi negara yang baik.

Dalam perihal tujuan didirikannya negara, Aristoteles memiliki konsepsi yang sama dengan Plato, yakni adanya negara untuk kesejahteraan masyarakatnya, bukan individu-individu tertentu. Dengan sejahteranya seluruh masyarakat, maka kesejahteraan individu akan tercapai dengan sendirinya.  Tujuan negara lainnya adalah bagaimana negara bisa memanusiakan manusia. Selain itu adanya negara juga sama dengan tujuan hidup manusia: agar manusia mencapai kebahagiaan (eudai-monia). Untuk itu negara memiliki tugas untuk mengusahakan tercapainya kebahagiaan masyarakatnya.

Hak Milik

Berbeda dengan Plato, Aristoteles melihat pentingnya berkeluarga dan hak milik. Ada dua alasan mengapa Aristoteles melihat pentingnya Hak milik, yakni pertama, dengan adanya hak milik memungkinkan seseorang lebih mencurahkan perhatiannya kepada masalah masyarakat atau negara. Hak milik memungkinkan seseorang memiliki waktu senggang yang disebut juga leisure, dan waktu tersebut merupakan syarat bagi seseorang untuk dapat melakukan fungsinya sebagai warga negara. Dengan adanya leisure, masyarakat memiliki waktu untuk lebih perhatian kepada permasalahan negara. 

Meski setuju dengan kepemilikan, namun Aristoteles tidak menganjurkan untuk menumpuk kekayaan. Hak milik menurutnya hanyalah alat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari  dan alat untuk terciptanya leisure. Sebagaimana fungsinya, alat hanya untuk digunakan, dan bukan dijadikan sebuah tujuan. Sehingga menurutnya kepemilikan memiliki fungsi sosial, dalam pengertian ia menjadi alat bagi hidup masyarakat. 

Kedua, hak milik merupakan salah satu sumber kebahagiaan. Bagi Aristoteles, kesempurnaan hidup manusia ada di dalam negara, dan termasuk dalam hal ini pengertian ini pemuasan kebutuhan benda. Akan tetapi Aristoteles juga memberikan batasan pada harta atau kepemilikan sebagai syarat kebahagiaan. Baginya adanya negara intinya adalah untuk kehidupan moral dan tercapainya kehidupan yang lebih baik. Dalam hal ini Plato dan Aristoteles memiliki persamaan dalam melihat negara dan masyarakat, yakni negara bersifat teleologis, artinya ada tujuan yang hendak dicapai dengan bermasyarakat dan bernegara itu.

Bentuk Negara

Bentuk negara yang ideal menurut Aristoteles adalah oligarki, yakni pemerintahan orang-orang tertentu berdasarkan harta, darah atau turunan, kedudukan, pendidikan dan sebagainya (yang berdasarkan pada kualitas, mutu), dengan bentuk demokrasi, yakni pemerintahan berdasarkan orang banyak (yang berdasarkan pada kuantitas). 

Aristoteles menekankan pentingnya dasar sosial dari bentuk pemerintahan, yakni kelas menengah. Kelas menengah ini harus lebih banyak daripada kelas mewah dan juga kelas miskin. Kelas menengah yang lebih luas dari kelas-kelas lainnya akan memenuhi syarat-syarat yang baik untuk demokrasi dan oligarki.

Aristoteles membagi fungsi negara menjadi tiga, yakni pembahasan, administratif dan pengadilan. Aristoteles juga melihat bahwa hukum harus diletakkan di atas segalanya. Konstitusi (negara) hanya ada, apapun bentuk pemerintahannya, jika hukum berkuasa. Hukum juga berlaku bagi seorang penguasa, oleh karena itu penguasa yang baik adalah yang seseorang yang tahu dan juga tunduk pada hukum.

Aristoteles juga menetapkan beberapa kriteria dalam melihat bentuk negara, pertama, berapa jumlah orang yang memegang kekuasaan, apakah satu orang atau banyak orang. Kedua, tujuan dibentuknya negara. Apakah bertujuan untuk menyejahterakan dan demi kepentingan umum atau hanya untuk penguasa saja. Berdasarkan asumsi tersebut, Aristoteles mengklasifikasikan negara menjadi beberapa kategori. Apabila sebuah negara berada di tangan satu orang dan bertujuan untuk kesejahteraan seluruh orang, maka disebut monarkhi. Bentuk negara seperti ini adalah yang ideal dan terbaik. Penyimpangan dari bentuk pemerintahan ini adalah tirani, di mana dipimpin oleh satu orang namun ditujukan untuk kepentingan pribadi dan berlaku sewenang-wenang. 

Jika pemerintahan dikuasai oleh beberapa orang dan bertujuan untuk kepentingan umum, maka bentuk negara tersebut adalah aristokrasi. Penyimpangan bentuk negara ini adalah oligarki. Kemudian jika kekuasaan berada di tangan orang banyak dan bertujuan untuk kepentingan semua mmasyarakat, maka bentuk pemerintahannya adalah politea. Penyimpangannya adalah demokrasi.

Perbudakan

Meskipun pemikiran Aristoteles mengagungkan demokrasi, akan tetapi ada satu pemikirannya yang bertentangan dengan konsepsi umum demokrasi yakni perbudakan. Aristoteles sama sekali tidak melarang adanya perbudakan, ia bahkan melihat bahwa perbudakan adalah suatu hal yang lumrah dan bahkan menurutnya fitrah manusia. Sebab ada orang yang dilahirkan untuk berkuasa dan ada pula yang lahir untuk dikuasai. 

Mengenai perbudakan ini, Aristoteles, sebagaimana yang digambarkan oleh Mc Donald, mengungkapkan, “Anybody who by his nature is not his own man, but another’s, is by his nature a slave.”  Sehingga dapat dikatakan kedudukan budak dengan manusia yang lain seperti jiwa yang memerintah tubuh, manusia yang memerintah hewan peliharaan dan laki-laki yang memerintah perempuan. 

Perbudakan dianggap sebagai hal yang alamiah, karena dengan adanya perbudakan, maka seseoranng dapat memiliki leisure. Maka kemudian ketersediaan leisure inilah yang menyebabkan seseorang mampu mencurahkan waktunya untuk mengurusi masalah negara. Atas dasar inilah Aristoteles memandang begitu pentingnya perbudakan ini. Meskipun berdasarkan perihal ini dapat dikatakan bahwa terjadi inkonsistensi pemikiran, sebab di satu sisi Aristoteles mengagungkan sistem demokrasi, yang tentunya nilai-nilai ini berujung pada adanya kesamaan kedudukan bagi seluruh umat manusia (egaliter). Namun di sisi yang lain Aristoteles permisif bahkan mendukung adanya kelas budak yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

Daftar Pustaka

Losco, Joseph. 2005. Political Theory, Kajian Klasik dan Kontemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Noor, Deliar. 1982. Pemikiran Politik di Negara Barat. Jakarta: PT. Rajawali Press.

Mc Donald, Lee Cameron. 1968. Western Political Theory: From its Origins to the Present.  New York: Harcout, Brace & World, inc.

Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat.  Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sabine, George H. 1964. Teori-teori Politik: Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya. Bandung: Binacipta.  

Sumber gambar: https://en.m.wikipedia.org/wiki/Lyceum_(Classical)

Views: 5294