Titik Nol Perjalanan Rupiah

Penulis: Zainal C. Airlangga (Peneliti InMind Institute)

*Artikel ini telah diterbitkan di Harian Kompas pada 30 Oktober 2023 berikut.

Ilustrasi. (Sumber: Kompas/Heryunanto)

Tanggal 30 Oktober 1946 merupakan momen yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Sebab, untuk pertama kalinya Oeang Republik Indonesia atau ORI diterbitkan. Pemerintah kemudian memutuskan 30 Oktober sebagai Hari Oeang Republik Indonesia karena menjadi dasar lahirnya uang emisi pertama Republik Indonesia. Sejak itu, rupiah tak hanya dijadikan alat pembayaran, tetapi juga sebagai simbol kedaulatan bangsa.

Muasal nama rupiah sendiri setidaknya terdapat tiga versi. Pertama, berasal dari bahasa Mongolia (rupia). Kedua, turunan dari mata uang India (rupee). Ketiga, diadaptasi dari bahasa Sanskerta (rupyakam/rupya). Ketiga versi tersebut sebenarnya saling berhubungan, sebab akar kata “rupiah” dari ketiga versi ini mengandung arti yang sama, yaitu “perak”. Perlu diketahui, pada zaman lampau bahan pembuatan uang berasal dari bahan emas dan perak.

Sebelum Indonesia memiliki mata uang sendiri, saat itu beredar beragam mata uang kolonial seperti uang pemerintah Hindia Belanda, uang De Javasche Bank, dan uang invasi Jepang yang dianggap merugikan perekonomian Indonesia. Atas dasar itu, ide mencetak mata uang Republik Indonesia pun muncul dua bulan setelah kemerdekaan, tepatnya pada Oktober 1945. Orang pertama yang menyampaikan usulan agar Indonesia memiliki mata uang sendiri adalah Sjafruddin Prawiranegara, anggota Badan Pengurus Komite Nasional Indonesia Pusat (badan legislatif sementara RI).  Pada waktu itu, Sjafruddin menyodorkan usulan yang berasal dari kelompok pemuda Bandung tersebut kepada Wakil Presiden Indonesia Mohammad Hatta. Sjafruddin merupakan tokoh yang di kemudian hari setelah Indonesia merdeka dikenal sebagai menteri keuangan dan gubernur pertama Bank Indonesia.

Tentu bukan perkara mudah bagi Indonesia sebagai negara yang baru Merdeka untuk membuat mata uangnya sendiri. Lahirnya ORI kala itu terjadi saat pemerintah republik dalam kondisi darurat. Ibu kota dipindah ke Yogyakarta sejak 4 Januari 1946 karena Jakarta sudah tidak kondusif lagi. Pencetakan ORI pun sempat berpindah-pindah karena faktor keamanan: pertama-tama dicetak di Jakarta pada Januari – Mei 1946, kemudian beralih Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Ponorogo. Hasil cetakan ORI kemudian dikirim ke seluruh Jawa dan Madura dengan pengawalan ketat. Untuk mengedarkannya, uang dimasukkan ke dalam besek, lalu dimasukkan lagi ke karung goni dan diangkut dengan kereta api.

Satu Uang, Satu Juang

Beredarnya ORI merupakan titik nol perjalanan rupiah. Kisahnya bisa ditarik selepas kemerdekaan Indonesia 1945. Saat itu, pada September 1945, NICA yang membonceng pasukan Sekutu datang dan berhasrat menguasai kembali Indonesia setelah memukul mundur Jepang dari wilayah pendudukannya di tanah air.

NICA dengan cepat mengambil alih sektor ekonomi, diantaranya merebut kembali bank sirkulasi De Javasche Bank (DJB) dari tangan Jepang dan menerbitkan mata uangnya sendiri, yaitu uang NICA. Uang kertas yang terdiri sembilan pecahan dari 50 sen hingga 500 gulden tersebut ternyata sudah dipersiapakan jauh sebelumnya pada 1943. Hal ini karena pemerintah Belanda sudah memperkirakan DJB akan sulit untuk langsung berfungsi (mencetak uang) setibanya mereka di wilayah Hindia Belanda (Indonesia). Masyarakat menyebut uang NICA sebagai “uang merah” karena warna dominan dalam uangnya.

Indonesia merespons kehadiran uang NICA lewat maklumat pemerintah pada 2 Oktober 1945. “Uang ini kita anggap tidak laku; janganlah diterima, supaya jangan timbul inflasi di sini,” demikian bunyi maklumat tersebut dalam arsip Sekretariat Negara RI No. 48 seperti dikutip dari Historia.id.

Peredaran uang NICA, utamanya di Jawa dan Sumatra mendapat perlawanan dari rakyat yang mematuhi maklumat pemerintah Indonesia. Pada 30 Oktober 1945, misalnya, para pelajar sekolah menengah di Yogyakarta keluar-masuk kampung menyita uang NICA. Dua hari kemudian, kaum buruh mengadakan rapat raksasa menyatakan dukungan terhadap maklumat pemerintah. Di Jakarta, Semarang, Bandung, dan beberapa daerah lainnya para pedagang menolak menjual barang kepada orang Belanda dan tidak mau dibayar dengan uang NICA (Berita Indonesia, 7 Oktober 1945).

Di saat bersamaan, keinginan kuat bangsa Indonesia untuk memiliki mata uang sendiri tak tergoyahkan lagi. Pemerintah yang sedang “mengungsi” di Yogyakarta akhirnya mengambil langkah bersejarah untuk mencetak uang sendiri meskipun di tengah berbagai keterbatasan. Sebagai tindak lanjut, pada 7 November 1945, Menteri Keuangan A.A Maramis diperintahkan untuk membentuk Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia yang diketuai T.R.B. Sabaroedin.

Dilansir dari Kementerian Keuangan, Tim Serikat Buruh Percetakan G. Kolff di Jakarta selaku tim pencari data, segera mencari percetakan dengan teknologi yang relatif modern dengan mengusulkan G. Kolff di Jakarta dan percetakan Nederlandsch Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) di Malang sebagai calon percetakan yang memenuhi persyaratan. Sementara itu, untuk membuat desain dan bahan-bahan induk (master) berupa negatif kaca dipercayakan kepada percetakan Balai Pustaka Jakarta.  Adapun pelukis pertama Oeang Republik Indonesia (ORI) adalah Abdulsalam dan Soerono. Proses pencetakan berupa cetak offset dilakukan di Percetakan Republik Indonesia, Salemba, Jakarta. Pencetakan ORI dikerjakan setiap hari dari jam 7 pagi sampai jam 10 malam.

Pada malam 29 Oktober 1946 di Yogyakarta, Wakil Presiden Mohammad Hatta berpidato melalui RRI Yogyakarta tentang dikeluarkannya Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) yang berlaku secara resmi keesokan harinya, 30 Oktober 1946. Di momen itu, Hatta mengobarkan semangat rakyat bahwa ORI merupakan penanda kedaulatan sebuah negara sekaligus alat pemersatu. Pemberlakuakn ORI diikuti ketentuan bahwa uang-uang kolonial yang sebelumnya beredar seperti uang De Javasche Bank (DJB), uang pemerintah Hindia Belanda, dan Rupiah Jepang dinyatakan tidak berlaku lagi.

Terbitnya ORI disambut dengan gegap gempita oleh rakyat Indonesia. Mereka menyebut ORI sebagai “uang putih”. Surat kabar Belanda Nieuwsgier, 1 November 1946, mewartakan kegembiraan terjadi di mana-mana. Umpamanya, tukang becak di Jakarta lebih memilih dibayar ORI senilai 20 sen ketimbang 1 rupiah uang NICA. Di Pasar Tanah Abang, harga ayam potong harganya f 2 (2 gulden) uang NICA tetapi para pedagang pribumi malah menawarkan dagangannya senilai Rp50 ORI.

Mengetahui pemerintah RI mengeluarkan mata uang sendiri, NICA kemudian berusaha menjegal peredaran ORI. Pihak Belanda juga menggeledah tempat percetakan ORI dan merazia setiap pembawa “uang putih” di banyak wilayah Jawa dan Sumatra. NICA bahkan memalsukan ORI untuk membuat nilai ORI jatuh akibat inflasi. Selain itu, NICA kerap mengintimidasi bahkan menyiksa masyarakat yang menyimpan ORI. Namun di sisi yang lain, jika masyarakat menyimpan uang NICA, pejuang pro-Republik akan menuduh mereka sebagai mata-mata NICA.

Di masa itu, peredaran ORI belum bisa menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Hal ini selain karena keterbatasan alat perhubungan, masalah keamanan juga berpengaruh karena sebagian wilayah Indonesia masih berada di bawah kedudukan Belanda. Karena itu, sejak 1947–1950, Pemerintah Pusat memberikan otoritas kepada daerah-daerah tertentu untuk mengeluarkan uangnya sendiri yang disebut Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) sebagai uang sementara yang hanya berlaku di daerah tersebut. Sebut saja ORIDA Banten (ORIDAB), ORIDA Tapanuli (ORITA), ORIDA Provinsi Sumatra (ORIPS), ORODA Banda Aceh (ORIBA), dan lainnya.

Menuju Kesatuan Moneter

Daulat ekonomi selanjutnya yang diperjuangkan bangsa Indonesia adalah memiliki bank sentral sendiri. Nasionalsiasi De Javasche Bank menjadi pilihan paling realistis saat itu di tengah kegentingan infrastruktur dan keterbatasan SDM perbankan. Pemerintah kemudian membentuk panitia nasionalisasi DJB berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 118 tanggal 2 Juli 1951. Dalam beberapa kali bersidang, panitia memutuskan nasionalisasi dilakukan dengan cara membeli saham-saham DJB kepada para pemiliknya. Saham-saham tersebut bahkan dibeli 20% di atas harga normal. Melalui proses yang panjang (1951 – 1953), akhirnya nasionalisasi rampung dengan ditandai pengesahan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia (UUPBI) nomor 11 tahun 1953. Sesuai tanggal berlakunya UUPBI, tanggal 1 Juli 1953 kemudian diperingati sebagai hari lahir Bank Indonesia.

Setelah Bank Indonesia lahir, terdapat dua macam uang rupiah yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia, yaitu uang yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia (Kementerian Keuangan) dan uang yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Pemerintah RI menerbitkan uang kertas dan logam pecahan di bawah Rp5, sedangkan Bank Indonesia menerbitkan uang kertas dalam pecahan Rp5 ke atas.

Dalam periode ini, kebijakan rupiah ditujukan untuk mencapai kesatuan wilayah dan moneter. Salah satu langkah awal pemerintah Indonesia untuk mencapai tujuan tersebut melalui penyatuan perekonomian Irian Barat ke dalam sistem moneter Republik Indonesia. Saat itu, Irian Barat masih  di bawah cengkraman Belanda. Pemerintah RI lalu mengeluarkan uang khusus Rupiah Irian Barat (IBRp) pada 1 Mei 1963 di bumi Cenderawasih untuk melawan uang Nederlandsche Nieuw Guinea Gulden. Tindakan serupa juga diberlakukan di Kepualaun Riau untuk mengatasi peredaran uang dolar Malaya dengan meluncurkan Rupiah Kepulauan Riau (KRRp) pada 15 Oktober 1963. Setelah rupiah benar-benar tegak di kedua daerah tersebut, kesatuan moneter pun resmi diberlakukan di seluruh wilayah tanah air pada tahun 1971 hingga kini. Dari fakta sejarah di atas kita tahu bahwa uang rupiah yang kita miliki menyimpan narasi panjang perjuangan. Berjuang dengan uang kemudian menjadi salah satu alat perlawanan baru di masa revolusi, di samping pertempuran fisik dan diplomasi. Kehadiran rupiah sebagai mata uang melengkapi kedaulatan ekonomi nasional yang sebelumnya masih berada dalam struktur ekonomi kolonial. Namun sayang, kisah perjuangan untuk memiliki mata uang sendiri yang penuh tantangan dan pengorbanan belum banyak diungkap dalam lanskap pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Views: 55