Nasib Palestina di bawah Bayang-bayang ‘Deal of Century’

Direktur Riset dan Pusat Data InMind Institute Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P. menuliskan poin perjanjian buatan Amerika Serikat dan Israel terhadap Palestina yang disebut sebagai Deal of Century.

Trump bersama dengan Benyamin Netanyahu pada 8 Januari 2020 lalu telah mengumumkan perjanjian damai Israel – Palestina yang dinamai ‘Deal of Century. Perjanjian ini patutu dipertanyakan karena tidak mengikutsertakan Palestina di dalam perumusannya, sebagai pihak terkait. Sehingga keabsahan maupun masa depan perjanjian ini cukup disangsikan. Tidak hanya Palestina yang meradang, sejumlah negara Timur Tengah ikut berang dengan perjanjian sepihak ini. Investasi senilai 50 miliar dolar AS untuk wilayah Palestina dan sekitarnya dinilai sepadan dengan konsekuensi yang ditawarkan menurut AS dan Israel. Bagi Palestina, menerima perjanjian ini sama saja dengan menggadaikan kedaulatan Palestina, bahkan hanya membuat Palestina menjadi tahanan abadi Israel. Sejumlah usaha ( baca : tekanan) telah dilakukan secara massif oleh AS agar perjanjian ini terlaksana.  Oleh karenanya tulisan ini akan mengulas mengenai bagaimana pengaruh Deal of Century terhadap kondisi sosial politik di Palestina jika perjanjian ini dilaksanakan.

Konferensi Bahrain : Rencana Ekonomi ‘Menjual’ Palestina

Sebelum Trump mengeluarkan kebijakan Deal of Century pada awal tahun 2020, AS telah menginisiasi konferensi pendahuluan pada 25 – 26 Juni 2019 di Menema, Bahrain. Konferensi ini ditujukan untuk mensosialisasikan rencana ekonomi AS terhadap Palestina. Bahkan konferensi ini diberi nama “Peace to Prosperity – The Economic Plan : A New Version of the Palestinian People” (perdamaian menuju kesejahteraan, rencana ekonomi baru untuk masyarakat Palestina). AS hanya membuka bagian perencanaan ekonomi Palestina dalam perjanjian ‘Deal of Century’ di konferensi tersebut. Dana sejumlah 50 miliar dolar AS bagi Palestina dan negara di sekitarnya dijadikan ‘pancing’ agar negara-negara dunia, khususnya Timur Tengah setuju dengan perjanjian yang ditawarkan oleh AS.

Jared Kushner, penasihat senior Gedung Putih sekaligus wakil AS dalam konferensi Bahrain ini mengungkapkan bahwa dana 50 miliar dolar AS tersebut akan dapat dinikmati oleh Palestina dan negara lainnya (Mesir, Jordan dan Libanon – negara tetangga yang ikut menampung pengungsi Palestina), apabila terjadi kesepakatan perdamaian politik. Sebagai iming-iming, Palestina dijanjikan akan diberikan 28 miliar dolar AS, Jordan akan mendapatkan 7,5 miliar dolar AS, Mesir akan mendapatkan 9 miliar dolar AS  dan Libanon sebesar 6 miliar dolar AS.

Kushner juga menjanjikan bahwa dengan dana bantuan ini akan terjadi kesejahteraan bagi perkonomian di Palestina. Angka pengangguran dipastikan akan turun dari 30 persen menjadi di bawah 10 persen, sehingga angka kemiskinan akan berkurang hingga 50 persen. Melalui 190 proyek yang telah tertera secara rinci dalam Bahrain Plan, angka GDP akan naik secara signifikan ari 17 persen ke angka 40 persen. Nilai investasi yang akan ditanamkan di Palestina juga akan naik menjadi 500 persen. Sektor-sektor kunci perekonomian Palestina seperti pariwisata, manufaktur, industry digital, pertanian dan manufaktur juga akan mengalami kenaikan investasi. Selain itu, untuk menghubungkan antara Jalur Gaza dan Tepi Barat yang selama ini terpisah, akan dibangun jalan tol senilai 5 miliar dolar.[1]

Uni Emirat Arab (UEA) setuju dengan gagasan yang dilontarkan Kushner. Menurut Menteri Keuangan UAE yang mewakili menghadiri konferensi Bahrain, perjanjian ini patut untuk diberikan peluang. Senada dengan UEA, Arab Saudi yang diwakili oleh Menteri Keuangannya mendukung rencana ekonomi yang akan dilakukan untuk meningkatkan perekonomian Palestina.[2]

Palestina, sebagai pihak yang terkait, menolak keras perjanjian ini. PLO yang memboikot perjanjian ini mengatakan bahwa perjanjian ini minim akan visi politik, sehingga hal ini akan memberikan garansi terhadap kegagalan implementasinya. Perjanjian ini juga akan membuat Palestina menjadi ‘tahanan abadi’.[3]

Pelakon Dibalik Deal of Century

Sejak dari awal perjanjian Deal of Century memang tidak direncakan untuk menjadi perjanjian netral yang dapat menciptakan perdamaian, sebagaimana jargonnya, bagi Palestina Israel. Ketiga perumus utama perjanjian ini, yakni Jared Kushner, Jason Grenblatt maupun David Friedmann merupakan seorang yahudi ortodox yang memiliki kedekatan dan keberpihakan terhadap Israel.

  • Jared Kushner

Selain sebagai penasihat senior di Gedung Putih, Jared merupakan menantu dari Trump. Besarnya kepercayaan Trump terhadap Kushner hingga ia mengatakan “If Kushner can’t produce peace in the Middle East, nobody can. [All] my life, I’ve been hearing that’s the toughest deal to make, but I have feeling Jared is going to do a great job.” Kedekatan Jared terhadap Israel berasalah dari ayahnya. Sejak lama ayahnya (Charles Kushner) telah berteman dengan Netanyahu. Ia merupakan pendonor besar bagi aktivitas pemukiman ilegal Israel. Antara tahun 2011 hingga 2013 Charles telah mendonasikan bantuan dana sebesar 60 ribu US dolar untuk pemukiman di wilayah Tepi Barat.[4] Besarnya kontribusi ini hingga membuat sekolah tempat Jared mengenyam pendidikan dasar berubah dari ‘The Hebrew Youth Academy’ menjadi ‘The Joseph Kushner Hebrow Academy’ untuk menghormati ayahnya.[5]

  • Jason Greenblatt

Jason Greenblatt merupakan seorang yahudi ortodox lulusan dari universitas Yeshiva. Ia dahulunya adalah pengacara untuk organisasi Trump. Dalam perjanjian ini ia berperan sebagai pemimpin tim negosiasi Amerika. Sama seperti tim-nya yang lain, ia merupakan aktivis yang menyerukan pendudukan pemukiman yahudi ilegal. Melihat latar belakangnya yang memiliki akses terbatas ke Palestina, sejumlah pihak meragukan kemampuannya untuk menegosiasikan perjanjian ini kepada Palestina.[6]

  • David Friedman

Ia merupakan duta besar AS untuk Israel. Ia merupakan tokoh yang radikal, di mana ia mendukung Israel untuk mengambil alih seluruh wilayah Palestina dan tidak menyetujui ide ‘solusi dua negara’. Di tahun 2016 ia mengeluarkan perkataan yang kontroversial bahwa yahudi AS yang menentang penjajahan Israel di Tepi Barat lebih buruk dari kuburan. Hal kontroversial lainnya yang ia lakukan adalah meminta kepada Departemen Dalam Negeri AS untuk berhenti menyebut wilayah pendudukan sebagai ‘diduduki’.[7]

Tekanan AS terhadap Palestina untuk Keberhasilan Deal of Century

Untuk memuluskan jalannya perjanjiannya ‘Deal of Century’ ini, Trump telah melakukan sejumlah kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat Palestina jauh sebelum kebijakan ini diumumkan ke publik. Di tahun 2018, Trump mengurangi berbagai bantuan untuk program-program yang dapat menguntungkan Palestina. AS mengurangi dana bantuan untuk Palestina hingga mencapai 500 juta dollar AS. Dana yang dipotong ini termasuk bantuan untuk kemanusiaan seperti makanan dan program infrastruktur di Tepi Barat dan Gaza, juga Rumah Sakit di daerah Jerusalem Timur. Pada Februari 2019 AS juga menghentikan dana bantuan untuk membantu Tepi Barat dan Gaza.[8]

Di tahun yang sama Trump juga menghentikan dana bantuan untuk UNRWA (United Nation Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East). AS sebelumnya merupakan pemberi donor terbesar bagi organisasi PBB ini. Hampir satu pertiga kebutuhan dana UNRWA didapatkan dari AS. Kebijakan ini dikeluarkan UNRWA dianggap memfasilitasi para pengungsi untuk tetap berstatus menjadi pengungsi dan memiliki hak untuk kembali, dibandingkan menaturalisasi dirinya menjadi penduduk berkewarganegaraan setempat.[9]

Satu-satunya bantuan dana yang masih disalurkan AS untuk Palestina adalah pelatihan untuk kekuatan keamananpemerintah otoritas Palestina di wilayah Tepi Barat untuk menambah loyalitas mereka terhadap Mahmud Abbas. Pelatihan ini juga ditujukan untuk meningkatkan kerja sama keamanan dengan Israel.[10]

AS juga menekan dukungan warganya terhadap Palestina. Di tingkat Federal, Senat AS meloloskan legislasi anti BDS (Bcycott, Divestment, Sanction) pada 4 Februari 2019. UU ini ditujukan untuk melarang negara bagian ataupun daerah melakukan kontrak dengan pihak-pihak yang melakukan kebijakan BDS-nya di perusahaan ataupun lembaga miliknya. Sedangkan dalam tingkat negara bagian, berbagai kebijakan anti BDS diterapkan di berbagai negara bagian di AS.[11] Di Kansas, ada seorang guru yang disidang di pengadilan hanya karena ia melakukan boikot terhadap Israel. Sedangkan di Kansas, pemerintahan setempat mengeluarkan kebijakan kepada perusahaan-perusahaan yang melakukan kerja sama dengan pemerintahan Arizona untuk mengeluarkan pernyataan tertulis bahwa mereka tidak lagi melakukan boikot terhadap Israel.

Deal of Century : Kedaulatan Palestina yang Digadaikan

Deal of Century merupakan perjanjian damai antara Palestina dengan Israel dengan janji perbaikan ekonomi bagi Palestina dan negara sekitarnya. Perjanjian ini dibuat secara sepihak oleh AS dan pada 8 Januari 2019 lalu diumumkan secara sepihak oleh Trump dan Netanyahu. Meski perjanjian ini banyak membahas tentang Palestina, namun tidak sedikitpun pihak Palestina diajak untuk merumuskan perjanjian yang menyangkut kelangsungan negaranya.

Isi perjanjian ini dibagi menjadi 21 bab yang didominasi tentang perencanaan ekonomi berupa pembangunan wilayah dan investasi di berbagai sektor.  Bab pertama hingga kedua berisi pendahuluan dan pendekatan yang dilakukan. Bab ketiga membahas tentang perjanjian damai antara Israel, Palestina dan wilayah sekitarnya. Bab selanjutnya tentang persoalan border dan batasan teritori Palestina dan Israel. Di bab kelima dibahas tentang posisi Jerusalam bagi Israel dan Palestina. Bab keenam hingga khir bab, perjanjian ini mengulas mengenai perencanaan ekonomi Palestina dan negara di sekitarnya, kebijakan untuk pengungsi dan tahanan, hingga mengatur tentang sikap ketiga negara selama negosiasi berlangsung.

Berbeda dengan konferensi Bahrain yang masih mendapatkan dukungan dari beberapa negara arab, karena menganggap Palestina masih diuntungkan dengan andanya bantuan sebesar 50 miliar dolar AS, seluruh negara Arab sepakat untuk menolak perjanjian ini, karena keseluruhan isi perjanjian ini sangat merugikan Palestina. Bahkan bisa dikatakan menghilangkan martabat Palestina sebagai bangsa yang merdeka. Melalui perjanjian ini, Palestina ‘dibeli’ dengan harga 50 miliar dolar AS.

Beberapa poin perjanjian yang merugikan Palestina :

Pertama, dalam bab kedua mengenai perbatasan,  Israel dan AS hanya mengakui wilayah Palestina berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB no. 242 yang mengakui wilayah Palestina berdasarkan sebelum perang tahun 1967. [12] Jika berdasarkan UN Partian Plan (1947), wilayah Palestina merupakan wilayah yang tidak terpisah antara satu dengan lainnya. Wilayah Gaza dengan Tepi Barat merupakan wilayah yang tidak terpisah. Berbeda dengan kondisi di tahun 1967, akibat serangan Israel, wilayah Palestina menjadi terpisah satu dengan lainnya.  Sehingga AS dan Israel melalui perjanjian ini menawarkan untuk membangun jembatan, jalanan ataupun terowongan yang dapat menghubungkan wilayah Gaza dan Tepi Barat.

Tidak hanya itu, melalui perjanjian ini, wilayah lembah Jordan akan masuk menjadi wilayah Israel karena dinilai akan membahayakan keamanan nasional Israel. Selanjutnya, berdasarkan perjanjian ini, penduduk Gaza juga harus melakukan gencatan senjata, demiliterisasi dan struktur pemerintahan yang memperbolehkan komunitas internasional untuk melakukan investasi yang tidak akan dihancurkan oleh konflik di masa mendatang.[13]

Isi perjanjian ini tentunya tidak masuk akal, sebab bagaimana mungkin menyerahkan sebuah wilayah ke negara lain hanya karena anggapan wilayah tersebut membahayakan keamanan suatu negara. Lantas bagaimana dengan keamanan nasional Palestina jika lembah Jordan dikuasai oleh Israel. Selain itu, upaya demiliterisasi di wilayah Gaza tentu sama saja dengan menjadikan sebuah negara menjadi tidak berdaulat. Tidak mungkin sebuah negara tidak memiliki pasukan militer untuk menjaga pertahanan dan keamanannya. Selain itu, menerima peta Palestina baru yang ditawarkan melalui perjanjian ini sama dengan menerima wilayah-wilayah ilegal yang di okupasi baik setelah tahun 1945 ataupun sesudah perang 1967 menjadi wilayah Palestina.

Kedua, bab kelima tentang Jerusalem. Di bab ini AS dan Israel menginginkan wilayah Yerusalem tidak dibagi-bagi sebagaimana yang terjadi saat ini. Dalam perjanjian dituliskan bahwa setelah perang tahun 1967 Israel mengambil seluruh wilayah Yerusalem namun Israel merasa berkewajiban untuk menjaga seluruh tempat-tempat suci milik tiga agama, termasuk Al Aqsa di dalamnya. Tidak seperti bangsa lain yang ketika menguasai wilayah Yerusalem menghancurkan situs-situs suci keagamaan yang ada di dalamnya, Israel tetap membiarkan seluruh situs suci keagamaan tetap ada. Oleh karenanya, penting untuk menjaga status quo terhadap wilayah ini dan tetap membiarkan tempat-tempat ibadah suci tersebut terbuka untuk seluruh agama.[14]

Perjanjian ini juga mengatur mengenai status politik kota Yerusalem. Israel dan AS merasa bahwa sumber konflik antara Israel dan Jordan (sebagai otoritas yang ditunjuk PBB) selama ini adalah karena adanya pembagian di wilayah Yerusalem. Seluruh mantan presiden AS yang terlibat dalam perjanjian damai antara Palestina dan Israel setuju bahwa Yerusalem secara fisik tidak boleh terbagi. Terlebih tanggal 6 Desember lalu, Trum telah mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Adapun wilayah Yerusalem Timur (yang terletak setelah pagar pembatas) dapat dipakai untuk menjadi ibukota Palestina. Wilayah tersebut boleh diberikan nama Al Quds atau nama apapun yang ditentukan oleh Palestina.

Kesepakatan mengenai status kota Yerusalem ini jelas-jelas bertentangan dengan resolusi PBB no 181 tahun 1947 yang menetapkan status Yerusalem sebagai corpus separatum, yakni sebagai kota terpisah yang dijalankan oleh sebuah administrasi internasional di bawah PBB. Sehingga posisi Yerusalem adalah sebagai kota internasional (meskipun ide ini ditolak oleh kalangan dunia arab).[15]

Ketiga,  bab keenam yang diberi nama “Trump Economic Plan” merupakan perjanjian yang telah dibahas terlebih dahulu di dalam konfrensi Bahrain. Dana sebesar 50 miliar dolar AS yang dijanjikan akan diberikan kepada Palestina, akan memberikan kesejahteraan secara fundamental kepada rakyat Palestina. Pertama, dari segi ekonomi, perjanjian ini akan meningkatkan tingkat perekonomian rakyat Palestina. Kedua, perjanjian ini juga membantu rakyat Palestina untuk mencapai cita-cita mereka seperti mendapatkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi ataupun keterampilan untuk bekerja. Hal yang tak kalah pentingnya juga adalah tersedianya fasilitas kesehatan yang memadai. Ketiga, dari segi pemerintahan, perjanjian ini akan memperkuat pemerintah sehingga mereka menyediakan layanan falisitas umum yang lebih baik.[16]

Jika hanya membaca bab ini, tanpa mengindahkan poin-poin perjanjian lainnya, tentunya perjanjian ini sangat menguntungkan Palestina. Namun sayangnya, perjanjian ini tidak berdiri sendiri. Trump Economic Plan hanya akan dilaksanakan apabila Palestina menerima poin-poin perjanjian lainnya yang diatur di perjanjian ini yang tentunya sangat merugikan bangsa Palestina. Secara kasat mata bisa dilihat bahwa perjanjian ini seolah tengah menjual Palestina hanya seharga 50 miliar dolar AS.

Keempat, dalam bab ketujuh mengenai keamanan, disebutkan bahwa Palestina tidak perlu seperti negara – negara lain yang menyediakan anggaran yang sangat besar untuk hal ini. Sebab permasalahan keamanan Palestina sepenuhnya akan ditangani oleh Israel. Sehingga dana untuk keamanan bisa disalurkan ke pos lain seperti pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur. Untuk hal ini, Israel akan berkoordinasi dengan Palestina dan bersama dengan Mesir dan Jordan.[17]

Perbatasan Rafah juga akan menjadi urusan Israel , sehingga untuk tercapainya visi ini, Israel akan membuat perjanjian dengan Mesir. Wilayah udara dan spektrum elektromagnetik pada sungai Jordan bagian barat juga akan dikuasai oleh Israel. Angkatan Laut Israel juga memiliki hak untuk melarang masuknya senjata-senjata terlarang dan bahan material pembuatan senjata untuk masuk ke Palestina, termasuk wilayah Gaza. Palestina juga tidak boleh mengadakan perjanjian militer, intelejen dan keamanan dengan negara manapun. Untuk urusan militer, Palestina tidak boleh membuat militer ataupun paramiliter di dalam ataupun luar negara Palestina. Demiliterisasi yang dimaksud dari perjanjian ini adalah bahwa Palestina terlarang untuk memiliki hal-hal yang dapat mengancam keamanan di Israel (senjata, laser, roket, misil, dll).  Apabila Palestina terbukti memiliki fasilitas tersebut, maka Israel akan memiliki hak untuk menghancurkannya.[18]

Agar terpenuhinya peran Israel, maka perjanjian ini mengatur Palestina dalam beberapa hal terkait sektor keamanan. Pertama, Palestina harus secara full tanpa militer (demiliterisasi). Kedua, Palestina akan memiliki kekuatan keamanan untuk menjaga keamanan dalam negeri Palestina dan mencegah serangan terorisme dari dalam negeri untuk melawan Israel, Mesir dan Jordan. [19]

Kelima, bab kesembilan mengenai Gaza, perjanjian ini memberikan syarat bahwa perjanjian ini dapat berlangsung bila, pertama,  Gaza harus dipimpin oleh otoritas yang disetujui oleh Israel. Kedua, Hamas, Jihad Islami, dan milisi-milisi lain yang ada di Gaza dilucuti dan terakhir, Gaza melakukan demilitarisasi.[20] Poin perjanjian ini sangat merugikan karena akan menjadikan Palestina kehilangan kedaulatan karena tidak memiliki militer. Adapun mengenai Gaza yang harus dipimpin oleh otorites yang sesuai dengan pilihan Israel tentunya hal ini melanggar asas-asas demokrasi. Bahwa sejatinya rakyat Palestina-lah yang memiliki hak memilih untuk diatur dan dipimpin oleh siapa, bukan Israel,

Keenam, bab kelimabelas tentang tahanan, berdasarkan perjanjian damai ini, maka Israel akan melepaskan seluruh tawanan dan tahanan administratif Palestina kecuali tahanan yang ditahan karena pembunuhan dan percobaan pembunuhan, tahanan yang terbukti terlibat melakukan konspirasi pembunuhan dan terorisme dan penduduk Israel. Akan tetapi perjanjian ini akan batal jika seluruh tawanan Israel (tanpa ada kriteria seperti tawanan Palestina) belum dipulangkan ke Israel.[21] Hal ini merupakan perjanjian yang tidak seimbang, dikarenakan syarat pelepasan tahanan antara tawanan Israel dengan Palestina berbeda.

Ketujuh, bab keenambelas tentang pengungsi, perjanjian ini mengatur bahwa negara arab yang memiliki pengungsi Palestina di wilayahnya memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pengungsi Palestina menjadi warga negaranya. Hal ini telah dilakukan oleh Israel yang mengintegrasikan Yahudi sebagai warga negaranya. Perjanjian ini membatasi jumlah pengungsi Palestina yang dapat kembali pulang ke Palestina melalui perjanjian ini. Hal ini akan dilihat berdasarkan kesiapan perekonomian dan pengembangan Palestina dan tingkat resiko keamanan Israel. Pengungsi Palestina juga tidak memiliki hak untuk kembali ke negara Israel (meskipun tanah yang dijajah oleh Israel dahulu merupakan tanahnya).[22]

Pasal ini bertentangan dengan hukum internasional yang mengatur tentang hak kepulangan untuk pengungsi (the right of return). Ada beberapa hukum internasional yang mengatur mengenai hal ini, dalam The Universal Declaration of Human Rights di artikel 13 disebutkan bahwa seluruh orang memiliki hak untuk meninggalkan negara, termasuk negaranya dan memiliki hak untuk kembali.[23] Hal yang sama juga tertera dalam the International Convention of Civil and Political Rights (ICCPR) dalam artikel 12 yang menyatakan bahwa tidak seorangpun dapat dirampas secara semena-mena terhadap haknya untuk kembali ke negara mereka. Konvensi internasional lainnya seperti CERD (The International Convention on the Elimination of All Form of Racial Discrimination) juga memberikan hak untuk pulang bagi seseorang ke negara asalnya.[24]

Oleh karenanya pasal dalam perjanjian ini melanggar aturan hukum internasional yang berlaku dan diakui dunia mengenai hak kepulangan untuk para pengungsi. Selain itu, dengan adanya perjanjian yang tidak memperbolehkan para pengungsi kembali ke negara asal mereka, ini akan menyebabkan nasib pengungsi Palestina di berbagai belahan dunia menjadi terlunta-lunta. Apalagi tidak ada klausal yang mengikat bagi negara yang didiami oleh para pengungsi untuk menjadikan mereka sebagai warga negaranya.

Analisa dan Kesimpulan

Berdasarkan paparan sebelumnya, dapat kita pahami bahwa perjanjian ‘Deal of Century’ bukanlah merupakan perjanjian yang ditunjukkan untuk terciptanya perdamaian antara Israel dan Paletina. Perjanjian ini hanyalah bentuk lain dari okupasi Israel terhadap Palestina dengan ‘balutan’ dana pembangunan sebesar 50 miliar dolar AS untuk Palestina dan negara-negara di sekitarnya.

Jauh sebelum perjanjian ini di deklarasikan ke publik, AS telah melakukan sejumlah intervensi agar Palestina mau menerima perjanjian yang merugikan ini. Sejak tahun 2018 AS telah memberhentikan dana bantuan untuk pengungsi Palestina baik melalui UNRWA maupun USAID. Kementerian Dalam Negeri AS juga tidak lagi menyebut wilayah Palestina yang dijajah Israel sebagai wilayah terjajah (mengakui penjajahan Israel). AS juga telah menodai hak kebebasan untuk bersuara yang dimiliki oleh warganya dengan memberlakukan UU mengenai larangan melakukan BDS terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan donasi terhadap Israel. Tidak hanya AS menutup dananya untuk Palestina, tetapi menutup mulut warganya untuk bersuara terhadap Palestina.       

Keadaan ini diperburuk dengan keluarnya perjanjian ‘Deal of Century’ secara sepihak dari AS dan Israel untuk Palestina. Melalui perjanjian ini, Palestina dilemahkan dari berbagai sektor strategis. Dari sisi militer misalnya, melalui perjanjian ini Palestina dilarang untuk memiliki militer, demikian pula persenjataan. Palestina hanya diperbolehkan memiliki pasukan keamanan yang ditujukan untuk mengawasi segala kemungkinan terorisme yang bisa muncul, yang menurut asumsi Israel, dapat membahayakan Israel. Melalui perjanjian ini, bidang keamanan perbatasan Palestina sepenuhnya menjadi tanggung jawab Israel. Dalam bahasa lain, kita bisa pahami ini bentuk aneksasi Israel terhadap Palestina, sebab Palestina tidak memiliki kekuatan untuk menjaga tanahnya sendiri.

Para pengungsi Palestina juga kehilangan hak untuk kembali ke tanah airnya. Sebab dalam perjanjian itu diatur bahwa pengungsi Palestina hanya bisa kembali ke wilayah negara Palestina yang diatur di dalam perjanjian. Sedangkan pengungsi yang berasal dari wilayah Palestina yang dijajah oleh Israel tidak dapat kembali ke wilayah tersebut. Oleh karenanya di dalam perjanjian ini diserukan dilakukannya naturalisasi pengungsi-pengungsi Palestina di negara-negara arab agar menjadi warga negara di wilayahnya bermukim.

Poin lain yang merugikan adalah adanya aneksasi wilayah Jerusalem sebagai bagian dari Israel. Perjanjian ini tidak hanya mengatur Jerusalem sebagai ibukota Israel, namun juga menjadikan Al Aqsa sebagai situs suci yang dimiliki bersama-sama, tidak terbagi-bagi sebagaimana yang terjadi selama ini. Israel menginginkan Al Aqsa juga dapat dimasuki oleh Yahudi, tidak hanya umat Islam. Ini tentu akan mendapatkan penolakan dari umat Islam dari berbagai belahan dunia, karena Al Aqsa bukan hanya milik kaum muslimin di Palestina, tetapi milik umat Islam di seluruh dunia.

Aneksasi wilayah lain yang akan dilakukan jika perjanjian ini disetujui adalah wilayah Lembah Jordan dan Dataran Tinggi Gholan. Kedua wilayah ini dianeksasi Israel karena dianggap merupakan wilayah strategis bagi pertahanan dan keamanan Israel. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana kekuatan pertahanan dan keamanan negara tempat semula wilayah tersebut setelah Israel menganeksasinya? Jelas kita tahu bahwa kebijakan ini hanya menguntungkan satu pihak, yakni Israel.

Hal lain yang tak kalah merugikan bagi Palestina adalah permasalahan tahanan. Israel hanya akan membebaskan Palestina yang tidak terkait dengan tuduhan upaya melakukan pembunuhan, pembunuhan, dan tindak terorisme. Dari kacamata eksistensi sebuah bangsa yang ingin merdeka, tentu klaim sepihak Israel terhadap para tahanan itu akan berbeda. Sebaliknya, Palestina harus membebaskan seluruh tahanan Israel tanpa terkecuali (tidak ada pra syarat seperti Palestina). Tahanan Palestina tidak akan dibebaskan kecuali tahanan Israel telah sampai ke negaranya masing-masing.

Selain merugikan pihak Palestina, perjanjian ini juga tidak mencantumkan sanksi-sanksi yang akan dikenakan kepada pihak-pihak yang melanggar perjanjian. Trump dengan detailnya membahas perencanaan ekonomi yang akan dilakukan melalui perjanjian ini. Namun tidak ada satupun poin yang membahas mengenai sanksi terhadap pihak-pihak yang mencoba melanggar. Lalu, jika Palestina menerima perjanjian ini, setelah semisal dilakukan demiliterisasi dan seluruh senjata yang ada di Palestina dilucuti, perihal apa yang menjamin Israel tidak akan kembali melakukan aneksasi terhadap wilayah Israel?

Penulis menganalisa bahwa perjanjian ini hanyalah upaya untuk melemahkan posisi Palestina. Seandainyapun Palestina menyetujui perjanjian ini, Israel tidak akan berhenti begitu saja untuk melakukan okupasi lanjutan terhadap Palestina. Perjanjian ini hanyalah batu loncatan bagi Israel untuk selanjutnya menganeksasi wilayah Palestina secara seluruhan. Perjanjian ini hanya akan membuat Palestina kehilangan kedaulatannya, setelah ia selama berpuluh tahun kehilangan tanahnya.


[1] Diakses pada tanggal 20 Maret 2019 pukul 14.30 dalam https://fortune.com/2019/06/30/bahrain-summit-middle-east/.

[2] Diakses pada tanggal 20 Maret 2020 pukul 15.16 dalam https://www.aljazeera.com/news/2019/06/led-bahrain-workshop-palestine-latest-updates-190624092422392.html

[3] Ibid.

[4] Grace Wermenbol, “Israel – Palestine and The Deal of Century,http://library.fes.de/pdf-files/id/15681.pdf.

[5] Diakses pada tanggal 31 Maret 2020 pukul 13.30 dalam https://www.jewishvirtuallibrary.org/jared-kushner.

[6] Ibid., hlm. 5.

[7] Dalam laporan Hak Asasi Manusia yang diterbitkan oleh Depatemen Dalam Negeri tahun 2018, AS berhenti menyebut wilayah Palestina dan Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah yang diduduki, lihat dalam Muriel Asseburg, “The Deal of Century for Israel – Palestine,” https://www.swp-berlin.org/fileadmin/contents/products/comments/2019C20_ass.pdf.

[8] Grace Wermenbol, “Israel – Palestine and The Deal of Century,Op. Cit., hlm. 7.

[9] Muriel Asseburg, “The Deal of Century for Israel – Palestine,” https://www.swp-berlin.org/fileadmin/contents/products/comments/2019C20_ass.pdf.

[10] “U.S. Legislations in Opposition to Palestinian Rights”, diakses pada tanggal 29 Maret 2020 pukul 14.05 dalam http://www.addameer.org/sites/default/files/publications/addameer_americanlawfactsheet.pdf.

[11] Meskipun akhirnya dilakukan judisial review terhadap UU tersebut karena melanggar amandemen AS tentang kebebasan untuk berpendapat., lihat dalam http://www.addameer.org/sites/default/files/publications/addameer_americanlawfactsheet.pdf.

[12] The State of Israel and the United States do not believe the State of Israel is legally bound to provide the Palestinians with 100 percent of pre-1967 territory (a belief that is consistent with United Nations Security Council Resolution 242). This Vision is a fair compromise, and contemplates a Palestinian state that encompasses territory reasonably comparable in size to the territory of the West Bank and Gaza pre-1967., halaman 11-12.

[13] Halaman 13

[14] Halaman 14 – 17.

[15][15] Lihat lebih lengkap dalam http://www.mideastweb.org/181.htm dan http://www.mideastweb.org/ga303.htm

[16] Halaman 19-20

[17] Untuk kesepakatan mengenai hal ini, perjanjian ini mengatur satu lampiran khusus apa saja yang harus disediakan oleh negara-negara lain agar peran Israel sebagai ‘penjaga keamanan’ Palestina dapat terpenuhi. Lihat lampiran lengkap dalam bab Appendix 2A : Security Consideration.

[18] Lihat dalam appendix 2C : Demilitarization Criteria and Other Security Arangements

[19] Hlm. 22

[20] Hlm. 25-26.

[21] Hlm. 30.

[22] Hlm. 31 – 32.

[23] Diakses pada tanggal 27 Maret 2020 pukul 21.00, dalam https://www.humanrights.com/course/lesson/articles-12-18/read-article-13.html

[24] Diakses pada tanggal 27 Maret 2020 pukul 21.05 dalam https://ohrh.law.ox.ac.uk/palestinian-refugees-and-the-right-of-return-in-international-law/.

sumber gambar: https://www.middleeasteye.net/opinion/israelthe-deal-century-simply-us-blessing-its-mass-theft-land-and-cantonisation

Visits: 381