“Minoritas Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Kemanusiaan Minoritas Islam di Myanmar”

Oleh: Fahrudin Alwi[1]

Islam –menurut beberapa ahli sejarah- masuk ke Myanmar sekitar tahun 1055 M. Para pedagang Arab memperkenalkan Islam kepada masyarakat setempat saat mendarat di delta Sungai Ayeyarwady, Semenanjung Tanintharyi, serta wilayah Arakan yang terletak di sebelah barat Myanmar. Dataran tinggi di wilayah tersebut memisahkan Arakan dengan daerah-daerah lain Myanmar yang mayoritas menganut Buddha. Selain etnis Arakan –etnis yang menetap lama di Arakan-, etnis Shan dan etnis Rohingya juga dikenal sebagai penganut Islam di negara Myanmar. Selain Arakan, Rohingya dan etnis Shan, masyarakat Myanmar cukup banyak yang sudah menjadi muslim. Muslim Myanmar ini disebut Zerbadee, salah satu komunitas yang paling tua berdiri dan berakar di wilayah Shwebo. Mereka inilah yang diduga merupakan bagian dari keturunan para pendakwah Islam paling awal yang beranak pinak dan berasimilasi dengan dengan berbagai etnis pribumi di Myanmar. Dari sana, Islam kemudian menyebar ke berbagai daerah di Myanmar, seperti Tenasserim, Pegu, dan Pathein.[2]

Myanmar sendiri merupakan sebuah negara yang secara astronomi terletak di antara 11°LU sampai 28°LU dan 92°BT sampai 100°BT. Myanmar berbatasan langsung dengan Bangladesh, India dan laut Benggala di wilayah barat, berbatasan dengan Laos, Thailand dan China di sebelah timur. Adapun di sebelah utara, Myanmar berbatasan dengan China. Kemudian Laut Andaman menjadi perbatasan Myanmar di wilayah selatan. Myanmar memiliki luas sekitar 676.578 km persegi dengan jumlah penduduk sebanyak 55.123.814 jiwa. Etnis Burma menjadi mayoritas penduduk dengan angka 68% dari total populasi. Myanmar mengakui adanya 135 kelompok etnis asli di Myanmar. Mayoritas penduduk Myanmar adalah penganut agama Buddha dengan angka 87,9% sedangkan agama Kristen menyusul dengan angka 6,2%, agama Islam sebanyak 4,3% serta disusul agama lainnya. Bahasa resmi Myanmar adalah bahasa Myanmar. [3]

Secara pemerintahan, Myanmar adalah negara yang dipimpin oleh Presiden yang melakukan kewenangan sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan. Myanmar pernah dipimpin oleh Militer antara tahun 1962 sampai 2016. Pada 2016, pemilihan umum dimenangkan oleh kalangan non-militer. Partai National League for Democracy atau NLD memenangkan pemilihan umum tersebut. Aung San Suu Kyi menjadi pemimpin pada 6 April 2016. Namun pemerintahan Kembali bergejolak dengan adanya kudeta militer pada 2021.[4]

Dengan 4,3% penduduk minoritas muslim di Myanmar, ada berbagai catatan terkait diskriminasi muslim di Myanmar. Terkhusus terhadap etnis Arakan dan Rohingya. Setidaknya ada 750.000 etnis Rohingya yang mengungsi akibat adanya kekerasan, diskriminasi, dan pembunuhan, serta pengusiran terhadap etnis Muslim minoritas tersebut. Sejak 1948, terjadi berbagai rangkaian peristiwa pembantaian berdarah yang menewaskan ratusan ribu Muslim di Arakan. Puncaknya ada pada pemerintahan Jenderal Ne Win tahun 1962 yang melakukan operasi melenyapkan ulama dan pemimpin Muslim di Arakan. Sejak 1982, Undang-Undang Myanmar menyatakan bahwa etnis Rohingya bukanlah merupakan warga negara Myanmar melainkan mereka adalah imigran ilegal dari Bangladesh dan keturunannya.[5]

Kemudian sepanjang tahun 1988-1997, pemerintah Myanmar di bawah sebuah kebijakan State Law and Order Restoration Council (SLORC) seringkali melakukan provokasi gerakan anti-Muslim yang di kemudian hari mengakibatkan meningkatnya kekerasan terhadap umat Islam di beberapa daerah di Myanmar. Tujuan provokasi tersebut adalah untuk memecah belah populasi umat Islam sehingga Myanmar dapat mempertahankan posisi (SLORC). Serangan yang dilakukan terhadap minoritas Muslim tersebut kemudian menyebabkan semakin memanasnya hubungan antara umat Islam dan Buddha pada beberapa daerah di Myanmar. Pengusiran dan pembunuhan masih terjadi hingga 2021 bahkan ketika pandemi Covid-19 sedang melanda dunia.[6]

Dalam konteks memperjuangkan hak-hak minoritas Muslim di Rohingya, setidaknya ada tiga hal yang bisa menjadi konsern bersama. Pertama, responsif bukan reaktif. Perjuangan di Myanmar adalah perjuangan panjang. Kondisi minoritas Muslim sangat kompleks baik dari sisi politik, ekonomi, maupun budaya. Dan hanya orang bernafas panjanglah yang akhirnya bisa ikut berjuang. Maka menjadi responsif adalah satu hal yang penting. Memastikan sumber informasi primer dan sekunder menjadi satu hal yang juga penting yang harus dilakukan. Bukan menjadi reaktif dengan sekonyong-konyong menuntut tanpa tahu cara dan resiko. Saya ingin mengambil contoh: di awal meledaknya isu, ada beberapa bagian masyarakat yang reaktif namun redup di sekian bulan setelahnya. Ada juga cerita sebuah NGO Indonesia yang masuk secara diam-diam, berhubungan people to people dan mengambil jaminan dari tokoh di Myanmar, memberikan berbagai cenderamata candi Borobudur sebagai candi Buddha terbesar di Indonesia, hingga cerita bahwa Indonesia sebagai manyoritas Muslim sangatlah menghargai umat Buddha. Dengan diploasi people to people tersebut, akhirnya NGO tersebut dapat memasuki Rakhine dan membangun beberapa sekolah serta memberikan berbagai bantuan lainnya. Tentu berjalan sebagai kolaboratif NGO, karna ia bukan pemain tunggal yang kesepian. NGO tersebut baru mem-publish aktivitasnya 3 bulan kemudian karena mempertimbangkan keselamatan tim yang bekerja di lapangan dan keamanan misi program jangka panjang.

Kedua, upaya diplomatis. Setidaknya ada dua jenis diplomasi yang bisa dilakukan oleh kita untuk saat ini: people to people diplomacy (p to p) dan people to government diplomacy (p to g). Diplomasi (p to p) bisa dilakukan dengan poin pertama. Kemudian diplomasi (p to g) bisa diperjuangkan oleh Indonesia. Pemerintah Indonesia sebagai negara yang memiliki pengaruh cukup besar di Kawasan Asia Tenggara tentu memiliki bargaining position yang kuat. Hal ini bisa digunakan untuk melakukan dialog perdamaian baik antara Indonesia-Myanmar maupun forum perdamaian di ASEAN. Dan yang ketiga, melangitkan doa dan mengirimkan donasi terbaik. Poin ketiga ini salah satu yang paling penting. Mengirim dan langitkan doa terbaik untuk saudara kita tersebut. Baik dengan mengirimkan bantuan untuk membangun kamp pengungsian di Arakan maupun membantu etnis Rohingya yang saat ini terpencar di beberapa wilayah ASEAN termasuk etnis Rohingya yang berada di Aceh, Indonesia.


[1] Fahrudin Alwi, mahasiswa pascasarjana Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam, Sekolah Kajian Stratejik Global (SKSG) Universitas Indonesia dengan konsentrasi Islamic Studies. Saat ini aktif sebagai peneliti di InMind Institute (Inisiatif Moderasi Indonesia).

[2] Nasruddin (2017). Islam di Myanmar. Jurnal Al-Hikmah. Hlm. 64.

[3] Jurnal Britannica. https://www.britannica.com/place/Myanmar. 10 Maret 2021.

[4] Nasruddin (2017). Islam di Myanmar. Jurnal Al-Hikmah. Hlm. 62.

[5] Human Right Watch 2021. https://www.hrw.org/world-report/2021/country-chapters/myanmar-burma   

[6] Muhammad Fakhry Ghafur, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. http://www.politik.lipi.go.id/ose-fileman/kolom/kolom-1/politik-internasional/824-minoritas-muslim-dalam-pusaran-konflik-myanmar-1

Views: 365