Farid Mubarok*, Siti Rohmah Soekarba
*Peneliti di InMind Institute
Dunia pasca-Perang Dingin telah mengubah dinamika geopolitik global ke dalam sebuah tatanan baru dan mengukuhkan posisi Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya. Fukuyama (1992) dalam merespons akhir dari Perang Dingin mengemukakan tesisnya yang terkenal, yaitu akhir sejarah. Akhir sejarah didefinisikan sebagai akhir dari evolusi ideologis umat manusia dan terciptanya universalisasi demokrasi liberal barat sebagai bentuk akhir dari sistem pemerintahan umat manusia (Fukuyama, 1992). Sementara itu, Huntington (1996) dalam tesisnya mengatakan bahwa konflik yang akan terjadi di dunia pasca-Perang Dingin merupakan konflik benturan peradaban, bukan konflik ideologi ataupun ekonomi. Menurutnya, konflik utama yang akan terjadi di dunia merupakan konflik antara negara-bangsa dengan kelompok dari peradaban yang berbeda (Syarkun, 2015). Terkait hal tersebut, Samuel Huntington (1996) berpendapat bahwa ketika berhadapan dengan dunia (peradaban) Islam, musuh utama dari Barat bukanlah fundamentalisme Islam, tetapi Islam itu sendiri (Syarkun, 2015, h. 32).
Dalam membuka jalan tengah dari berbagai kecurigaan antara dunia Barat dan Islam, diperlukan sebuah upaya dialog yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Dialog tersebut dapat tercipta melalui berbagai agensi. Pemerintah maupun masyarakat publik sama-sama memiliki andil sebagai representasi pada kancah dialog internasional. Dialog antara Islam dan Barat menjadi semakin mendesak untuk dilakukan pasca-peristiwa 9 September. Pada saat itu, dunia Islam menjadi kambing hitam atas serangkaian aksi teror yang terjadi di Amerika Serikat. Afghanistan dan Irak pun tumbang melalui aksi militer yang dilancarkan oleh Amerika dan sekutunya atas nama perang melawan terorisme. Pada saat itu K.H. Hasyim Muzadi yang merupakan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama melakukan berbagai upaya second track diplomacy sebagai langkah memperbaiki citra Islam yang telah tercoreng di media-media Barat. Melalui gagasan Islam Raḥmatan lil-‘Ālamīn yang digalinya dari alquran dan hadis, ia merangkul berbagai pihak baik di dunia Islam dan Barat untuk sama-sama mengedepankan dialog dalam merespon berbagai permasalahan yang terjadi.
Biografi K.H. Hasyim Muzadi
K.H. Hasyim Muazdi dilahirkan di Bangilan, Tuban, Jawa Timur pada tanggal 8 Agustus 1944. Ia memiliki nama lengkap Ahmad Hasyim Muzadi yang kelak lebih dikenal sebagai Hasyim Muzadi saja. Ayahnya bernama Muzadi yang merupakan seorang pedagang Tembakau asal Kota Tuban. Sementara itu, ibunya, Rumiyati, merupakan perempuan asli Bangilan yang kesehariannya berdagang roti dan kue kering di kampungnya. K.H. Hasyim Muzadi mengawali pendidikan formalnya di Madrasah Ibtidaiyah Salafiyah Bangilan. Namun, selepas kelas tiga MI, ia melanjutkan sekolah ke Sekolah Rakyat hingga tamat di sana. Setelah lulus SD ia meneruskan sekolah ke SMPN 1 Tuban dan Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Selain belajar di Gontor, K.H. Hasyim Muzadi juga sempat mengenyam pendidikan di Pesantren Senori, Tuban dan Pesantren Lasem, Jawa Tengah. Setelah menamatkan pendidikan di Gontor, ia melanjutkan studi ke Universitas Islam Malang yang saat itu masih bernama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Malang.
Karier organisasi K.H. Hasyim Muzadi dirintis dari tahap yang paling bawah. Ia merupakan Ketua Umum PBNU yang bukan memiliki trah keturunan Kiai (Hasan, 2018). Kiprah organisasinya di Nahdlatul Ulama dimulai ketika ia masih duduk di bangku kuliah. Pada saat itu K.H. Hasyim Muzadi terlibat sebagai kader organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan terpilih menjadi ketua cabang di Malang. Ia juga aktif pada Gerakan Pemuda Ansor Malang dan terpilih menjadi ketua hingga menjadi Ketua Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur. Kemudian, beliau terpilih sebagai Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur dan pada Muktamar PBNU tahun 1999 di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, ia resmi mengemban amanah sebagai Ketua Tanfidziah PBNU. Pada tahun 2004, ia kembali terpilih sebagai Ketua Tanfidziah PBNU sampai dengan tahun 2010. Selain aktif berdakwah dalam organisasi keislaman, beliau juga mendirikan Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang dan Depok sebagai media aktualisasi pemikirannya dalam bidang pendidikan Islam.
Landasan Diplomasi Global K.H. Hasyim Muzadi
Diplomasi K.H. Hasyim Muzadi tidak terlepas dari konteks peristiwa internasional yang tengah terjadi pada masanya. Ketika beliau menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, terjadi peristiwa penting yang menjadi titik pacu perjuangan diplomasi global K.H. Hasyim Muzadi. Dalam wawancara yang penulis lakukan dengan Arif Zamhari, menantu K.H. Hasyim Muzadi, ia mengatakan bahwa pada saat K.H. Hasyim Muzadi menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, momentumnya bertepatan dengan Peristiwa 9 September yang mengguncang Amerika Serikat. Pada saat itu citra Islam di media-media Barat tercoreng dan Islam menjadi kambing hitam atas serangkaian peristiwa teror yang terjadi di Negeri Paman Sam. Berangkat dari hal itu, K.H. Hasyim Muzadi memulai proyek diplomasinya yang bertujuan untuk memperbaiki citra Islam melalui konsep Islam Raḥmatan lil-‘Ālamīn dan ajaran moderasi Nahdlatul Ulama.
Islam Raḥmatan lil-‘Ālamīn sebagai Paradigma Diplomasi Global
Konsepsi Islam Raḥmatan lil-‘Ālamīn pada dasarnya bukanlah suatu hal yang baru dikenal dalam dunia Islam. Istilah tersebut diperkenalkan oleh K.H. Hasyim Muzadi setelah melakukan penggalian akan nilai-nilai yang bersumber dari ajaran alquran dan hadis. Secara etimologis, Islam memiliki makna “damai” dan rahmatan lil ‘alamin berarti “kasih sayang bagi semesta alam”. Maka, Islam Raḥmatan lil-‘Ālamīn dapat diartikan sebagai Islam yang mampu menghadirkan kedamaian serta kasih sayang bagi seluruh umat manusia dan semesta alam (Syarkun, 2015). Dalam alquran konsep mengenai Islam Raḥmatan lil-‘Ālamīn termaktub dalam Q.S. al-Anbiya [112:107] yang artinya “dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin)”. Paradigma tersebut, bahwa Islam adalah pembawa kedamaian dan muslim sebagai juru damai bagi semesta alam, berusaha diperkenalkan oleh K.H. Hasyim Muzadi dalam usahanya untuk melakukan diplomasi global.
Dalam artikel yang ditulis oleh K.H. Hasyim Muzadi yang berjudul NU dan Globalisasi Rahmatan lil ‘Alamin, beliau menjelaskan latar belakang mengenai upaya globalisasi konsepsi Islam Rahmatan lil ‘Alamin. Pertama, keberhasilan Nahdlatul UIama, organisasi yang dipimpinnya, dalam mengkampanyekan Islam Raḥmatan lil-‘Ālamīn di ranah domestik. Gagasan tersebut diterjemahkan dalam bentuk tawasuth (moderasi) dan i’tidal (tegak) yang diikuti oleh langkah selanjutnya, yaitu tasamuh (toleran) tawazun (seimbang), dan tasyawur (dialog). Menurutnya, rangkaian konsepsi tersebutlah yang mempersatukan NU dalam kerangka persaudaraan Islam (ukhuwah islamiyah) dan mempersatukan serta menguatkan NKRI. Kedua, Islam Raḥmatan lil-‘Ālamīn merupakan antitesis, yaitu pengimbangan serta tabayun akan fenomena Islamofobia yang sedang berkembang di dunia Barat. Fenomena tersebut yang menempatkan Islam seolah tengah berada pada clash of civilization atau benturan peradaban dengan Dunia Barat. Ketiga, Islam Raḥmatan lil-‘Ālamīn merupakan bagian integral pembangunan infrastruktur dan turut sertanya agama dalam menciptakan keadilan dan perdamaian dunia.
Keempat, Islam Raḥmatan lil-‘Ālamīn merupakan basis nilai (etika dan moral) dan pendekatan (paradigma). Menurut K.H. Hasyim Muzadi, mewujudkan perdamaian dunia bukan hanya tentang kebutuhan untuk membangun kesadaran bersama (shared consciousness), tetapi juga pendekatan bahwa tidak mungkin terciptanya keamanan dan perdamaian apabila tidak ada jaminan keamanan komunitas. Oleh karena itu, menurutnya ide tersebut akan terwujud apabila didasari oleh pemikiran keagamaan yang bersifat moderat (tawassuth). Maka, paradigma Islam Raḥmatan lil-‘Ālamīn merupakan kunci bagi terwujudnya persspektif positif mengenai Islam. Penulis berpendapat bahwa K.H. Hasyim Muzadi meletakkan dasar-dasar bagi diplomasi global yang ia lakukan melalui paradigma Islam Rahmatan lil ‘Alamin. Melalui paradigma tersebutlah ia bercita-cita untuk menghadirkan Islam sebagai agama yang moderat dan mampu menghadirkan perdamaian bagi segala bentuk komunitas (umat) di dunia. Ia pun berusaha untuk menciptakan ruang dialog dan klarifikasi bagi citra Islam yang digambarkan negatif di dunia Barat.
Kontekstualisasi Moderasi Nahdlatul Ulama pada Diplomasi Global
Dalam melakukan kontekstualisasi Islam Rahmatan lil ‘Alamin, Nahdlatul Ulama melandaskan pemikirannya pada ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA). Nahdlatul Ulama mengimplementasikan konsep rahmatan lil ‘alamin melalui pendekatan tawassuth dan i’tidal yang diwujudkan dalam sikap nahdliyah. Tawassuth atau garis tengah adalah cara untuk merepresentasikan Islam yang kontekstual. Sementara itu, i’tidal terkait dengan kebenaran kognitif. Jika tawasuth mendefinisikan posisi, maka i’tidal merupakan akurasi dan konsistensi (Hasan, 2018).Menurut K.H. Hasyim Muzadi, sikap tawassuth dan i’tidal akan melahirkan langkah selanjutnya, yaitu tasamuh (toleran), tawazun (berimbang), dan tasyawur (dialog). Tasamuh memiliki makna harmonisasi antara prinsip dan penghargaan kepada prinsip orang lain. Sikap tersebut lahir dari seseorang yang memiliki prinsip, tetapi ia menghargai prinsip orang lain. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa jika seseorang telah memiliki sikap tasamuh, maka akan lahir tawazun (keseimbangan-keseimbangan). Apabila ada sikap tasamuh dan tawazun dalam diri seseorang, maka ia akan tergerak untuk melakukan tasyawur atau dialog dalam upaya menemukan pemecahan atas berbagai permasalahan (Hasan, 2018).
Dalam wawancara penulis dengan Arif Zamhari, ia mengatakan bahwa prinsip-prinsip tersebut kemudian dijabarkan dalam tiga macam persaudaraan (ukhuwah). Terminologi ini pertama kali diperkenalkan oleh K.H. Achmad Siddiq, Rais ‘Aam PBNU era 1980an. Pertama, persaudaraan atas dasar keislaman (ukhuwah islamiyah) baik yang berskala lokal, nasional, maupun internasional. Kedua, persaudaraan atas dasar kebangsaan (ukhuwah wathaniyah). Ketiga, persaudaraan atas dasar kemanusiaan (ukhuwah basyariyah). Melalui tiga konsepsi tersebut, maka paham hubungan antarmanusia dalam Nahdlatul Ulama bersifat cair dan mampu menerobos berbagai lapis komunitas masyarakat di dunia. Terkait dengan hal itu, penulis berpendapat bahwa K.H. Hasyim Muzadi menekankan dialog sebagai kunci dari kontekstualisasi ajaran moderat Nahdlatul Ulama. Moderasi yang diiringi oleh kebenaran akan melahirkan sikap toleran dan berimbang. Melalui prinsip-prinsip inilah akan terbuka ruang dialog dalam upaya mencari berbagi jalan tengah yang terjadi pada setiap permasalahan. Upaya dialog tersebut yang akan menjadi ciri bagi strategi diplomasi K.H. Hasyim Muzadi di kancah internasional.
Second Track Diplomacy Menembus Batas Dunia
Dalam upaya membangun usaha diplomasinya, K.H. Hasyim Muzadi menggunakan jalur second track diplomacy atau diplomasi jalur kedua, yaitu diplomasi yang diprakarsai oleh masyarakat publik atau people to people (P2P). Terdapat banyak pembuat kebijakan (stakeholder) yang harus diajak untuk berkolaborasi demi mewujudkan usaha ini. Salah satu institusi yang dirangkul olehnya adalah Kementerian Luar Negeri RI yang memiliki tugas sebagai first track diplomacy (diplomasi jalur pertama) melalui pendekatan government to government (G2G). Pada saat itu, Kementerian Luar Negeri yang dipimpin oleh Hassan Wirajuda memiliki kesepahaman untuk mendukung program yang diprakarsai oleh K.H. Hasyim Muzadi. Diplomasi yang dibangun tersebut pada dasarnya adalah diplomasi untuk melawan hegemoni asing yang secara sengaja ingin membentuk citra negatif terhadap Islam. Second track diplomacy yang digagas oleh K.H. Hasyim Muzadi bersifat P2P sehingga memungkinkan untuk melakukan diplomasi secara multilateral.
Dalam berbagai kasus, upaya second track diplomacy dapat bekerja lebih efektif dan dapat mendukung diplomasi sebuah negara. Usaha merintis jaringan diplomasi ini tidak semata-mata didasari oleh kebesaran nama organisasi yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Muzadi. Namun, melalui ketokohannya pula, ia berhasil menggandeng berbagai pihak untuk mau berkolaborasi dalam proyek diplomasi Islam Raḥmatan lil-‘Ālamīn yang dirintisnya. Di dunia Islam maupun Barat, K.H. Hasyim Muzadi memiliki koneksi yang berperan penting dalam mendukung diplomasinya. Jaringan ini mulai dibangunnya sejak sebelum ia mendirikan ICIS (International Conference of Islamic Scholars), organisasi para ulama dan tokoh-tokoh dunia yang menjadi wadah diplomasinya. Beberapa kali K.H. Hasyim Muzadi menyambangi tokoh-tokoh penting di berbagai negara dan membangun hubungan baik dengan mereka. Tidak hanya ulama, tetapi juga para pemangku kebijakan serta pihak-pihak yang dapat mendukung proyek diplomasi tersebut. Ia pun juga tidak segan merangkul kalangan syiah maupun orientalis demi terus membuka ruang dialog.
Di dunia Islam, diplomasinya banyak disuarakan melalui posisinya sebagai Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars (ICIS). Ulama besar Suriah seperti Syekh Ramadhan al-Bouthi dan Syekh Wahbah Zuhaili merupakan dua tokoh penting dari kalangan Sunni yang mendukung diplomasinya. Sementara itu, ia juga menjalin hubungan baik dengan tokoh-tokoh Syiah di Iran, seperti Aliyah Tashkiri dan Presiden Iran Ahmadinejad. Pada saat itu, K.H. Hasyim Muzadi menemui mereka dalam lawatannya untuk memberikan dukungan moral terhadap Iran yang tengah diterpa isu pengembangan senjata nuklir. Kunjungan ini memberi kesan positif bagi Iran sehingga tokoh dari Iran menyempatkan kunjungan ke gedung PBNU saat berada di Indonesia (Syarkun, 2015). Selain dari wilayah Timur Tengah, dukungan terhadap diplomasinya juga datang dari negeri jiran Malaysia melalui Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi. Ia ikut menyuarakan Islam Raḥmatan lil-‘Ālamīn yang digagas oleh K.H. Hasyim Muzadi dan beberapa kali melakukan kunjungan ke Indonesia untuk bertemu dengan beliau dan begitupun sebaliknya. Dukungan-dukungan lainnya juga muncul dari berbagai pihak terhadap perjuangan K.H. Hasyim Muzadi sehingga memperkuat resonasi pesan Islam Raḥmatan lil-‘Ālamīn dalam konteks diplomasi global.
Di dunia Barat, ketokohan K.H. Hasyim Muzadi diakui sebagai seorang agamawan cemerlang dengan terpilihnya beliau menjadi Presiden Wolrd Conference of Religions for Peace (WCRP) dalam sidang WCRP di Kyoto, Jepang, pada Agustus 2006. WCRP merupakan organisasi interfaith forum dari berbagai tokoh lintas agama yang berupaya untuk mewujudkan perdamaian dunia. Pengakuan tersebut didapatkannya karena konsistensi K.H. Hasyim Muzadi dalam mendukung perdamaian global. Melalui lembaga tersebut, ia turut menyuarakan pesan Islam Raḥmatan lil-‘Ālamīn kepada umat manusia dari berbagai bangsa dan agama. Selain dari kalangan lintas agama di Barat, kalangan ulama di dunia Barat juga memiliki relasi yang baik dengan dirinya. Darul Fatwa di Australia adalah salah satu organisasi yang pernah mengundang K.H. Hasyim Muzadi untuk berbicara di Australia. Dalam wawancara penulis dengan Arif Zamhari, beliau mengatakan bahwa ketika K.H. Hasyim Muzadi wafat, ucapan belasungkawa juga turut disampaikan oleh Syekh Hisyam Kabbani, pendiri Tarekat Naqsyabandiyah di Amerika Serikat. K.H. Hasyim Muzadi juga merupakan salah satu tokoh yang bertemu dengan Presiden George Bush dan menjelaskan mengenai Islam yang rahmatan lil ‘alamin, bukan yang direpresentasikan oleh kelompok radikal.
KESIMPULAN
Upaya membangun diplomasi global dapat dilakukan baik oleh negara ataupun warga negara. K.H. Hasyim Muzadi telah merintis usaha-usaha diplomasinya yang membawa semangat Islam Raḥmatan lil-‘Ālamīn dan moderasi Nahdlatul Ulama. Konsepsi tersebut diwujudkan dalam bentuk moderasi yang pada akhirnya melahirkan dialog untuk mencapai titik temu atas segala permasalahan yang terjadi. Melalui jaringan yang dibentuknya, baik di dunia Islam maupun dunia Barat, K.H. Hasyim Muzadi menyampaikan pesan damainya kepada dunia. Usaha second track diplomacy yang mengedepankan relasi antarindividu ini efektif dalam mempertemukan berbagai pihak yang selama ini tidak dapat dipertemukan oleh negara. Selain itu, ia berupaya membangun jembatan dengan berbagai pihak untuk menampilkan citra Islam yang moderat dan menciptakan antitesis atas stigma negatif media Barat atas Islam, yaitu Islam yang damai dan membawa kedamaian bagi seluruh umat manusia dan semesta alam (Islam Rahmatan lil ‘Alamin).
REFERENSI
Fukuyama, F. (1992). The end of history and the last man. New York: Free Press.
Hasan, A.M. (2018). Biografi A. Hasyim Muzadi Cakrawala Kehidupan. Depok: Keira Publishing.
Huntington, S. P. (1996). The classh of civilizations and the remaking of world order. New York: Touchstone.
Syarkun, M.. (2015). Jembatan Islam-Barat dari Sunan Bonang ke Paman Sam. 2015. Jogjakarta: Penerbit PS.
Wawancara pribadi penulis dengan menantu K.H. Hasyim Muzadi, Arif Zamhari, Ph.D.
Views: 223