Hubungan Diplomatik Mesir – Israel dan Perdamaian Timur Tengah

Direktur Jaringan Strategis dan Kerjasama InMind Institute Muhammad Ibrahim Hamdani, S.I.P., M.Si. menulis tentang perjalanan hubungan diplomatik antara Israel dengan Mesir. Artikel ini dimuat oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) pada 2017 dalam http://dmi.or.id/hubungan-diplomatik-mesir-israel-dan-perdamaian-timur-tengah/. Hak cipta milik DMI.

Mesir merupakan salah satu dari hanya sedikit negara-negara Arab di Timur Tengah yang bersedia membuka hubungan diplomatik dengan Tel Aviv, Israel. Tiga negara lainnya yang juga memiliki hubungan diplomatik dengan Israel ialah Yordania, Turki, dan Mauritania. Mesir menandatangani perjanjian damai dengan Israel sejak tahun 1979, dan Yordania menandatangani perjanjian serupa sejak tahun 1994, sedangkan Mauritania memutuskan untuk membuka hubungan diplomatik penuh dengan Israel sejak tahun 1999. Adapun dua negara anggota Liga Arab lainnya, Maroko dan Tunisia, hanya memiliki hubungan diplomatik secara terbatas dengan Israel. Namun sejak tahun 2000, kedua negara itu memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel, sejak dimulainya Intifada kedua atau perjuangan jihad total bangsa Palestina melawan agresi dan penjajahan Israel.

Sejak tahun 1979, Mesir dan Israel telah menandatangani perjanjian damai yang mengakhiri 30 tahun permusuhan tanpa henti dan lima perperangan berbiaya mahal. Perjanjian itu didahului dengan kunjungan Presiden Mesir, Anwar Sadat, pada tahun 1977, atas undangan Perdana Menteri Israel, Manachem Begin, lalu diikuti dengan Persetujuan Camp David pada tahun 1978. Perjanjian ini membentuk suatu dasar perdamaian antara Mesir dan Israel serta antara Israel dan negara-negara tetangga lainnya. Persetujuan Camp David juga membahas perlunya penyelesaian (solusi) terhadap masalah-masalah Palestina. Khususnya setelah lima tahun fase sementara untuk otonomi penduduk Arab Palestina di Tepi Barat (West Bank) atau Judea dan Samaria, serta di Jalur Gaza (Gaza Strip). Pasca Persetujuan Camp David, Presiden Anwar Sadat dan Perdana Menteri Manachem Begin bersama-sama dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian untuk capaian mereka.

Perdamaian yang diimplementasikan antara Mesir dan Israel meliputi sejumlah hal-hal penting, seperti menghilangkan negara perang bersamaan dengan tindakan atau ancaman perperangan, permusuhan atau kekerasan; penyusunan (pengesahan) ikatan-ikatan diplomatik, ekonomi, dan budaya; pencabutan sekat-sekat perdagangan dan kebebasan untuk bergerak (berpindah); dan penarikan diri oleh Israel dari Semenanjung Sinai, dengan disetujuinya peraturan-peraturan keamanan dan zona militer terbatas. Akhirnya, Israel mengakhiri penarikan mundur militernya dari Sinai pada tahun 1982, sesuai dengan poin-poin dalam kesepakatan, serta menyerahkan basis-basis militer strategis dan aset-aset lainnya sebagai imbalan (pertukaran) untuk perdamaian.

Secara resmi, pemerintah Mesir di bawah pimpinan Presiden Anwar Sadat mulai membuka hubungan diplomatik dengan Israel sejak 26 Januari 1980. Mesir memiliki satu kedutaan besar (Kedubes) di Tel Aviv dan sebuah konsulat di Eilat. Sedangkan Israel memiliki satu kedubes di Kairo dan sebuah konsulat di Alexandria. Sejak itu, kedua negara juga berbagi perbatasan dan memiliki dua lintas batas resmi, satu di Taba dan satu lagi di Nitzana. Adapun pos lintas batas di Nitzana hanya untuk kepentingan linta batas pariwisata dan komersial kedua negara. Artinya, hingga saat ini hubungan diplomatik kedua negara telah berlangsung selama 37 tahun dan mengalami masa pasang surut dalam hubungan diplomatiknya. Khususnya pasca Revolusi Musim Semi Arab (Arab Spring) tahun 2011 lalu.

Bahkan jurnalis Timur Tengah dari British Broadcasting Channel (BBC), Yolande Knell, menyebut relasi diplomatik Mesir-Isarel sebagai suatu Perdamaian Dingin (Cold Peace). Menurutnya, dari sudut pandang Mesir, dukungan publik untuk perjanjian damai itu menjadi turun drastis (terjerembab) dengan adanya serangan-serangan militer Israel terhadap wilayah Lebanon dan Palestina. Bahkan sesudah peristiwa pembunuhan terhadap Presiden Anwar Sadat pada tahun 1981, yang penyebabnya karena kebijakannya terhadap Israel, penggantinya Presiden Hosni Mubarak, justru menjadikan dirinya sendiri untuk menjaga perjanjian damai itu. Kondisi ini membuat Presiden Mubarak menjadi sekutu strategis utama bagi negara-negara Barat dan membantu Mesir untuk mengamankan dana senilai US$ 1,3 miliar atau £818 juta per tahun dalam bantuan militer Amerika Serikat.

Sejak Presiden Mubarak digulingkan dari kekuasaannya dalam pemberontakan yang sangat terkenal pada Februari 2011 silam, para pejabat Israel pun mengakui kekhawatiran mereka terhadap kemungkinan meningkatknya ketegangan antara kedua negara. Namun penguasa baru dan kabinet interim (sementara) Mesir dengan cepat memberikan jaminan bahwa perjanjian perdamaian tahun 1979 akan dijunjung tinggi. Bahkan pejabat-pejabat Mesir mencoba menunjukkan bahwa mereka masih bisa memainkan peran penting sebagai pihak perantara (mediator) bagi Palestina dan Israel.

Meskipun demikian, pada Agustus 2011, hubungan diplomatik antara Mesir dan Israel kembali memburuk pasca insiden pembunuhan terhadap lima orang penjaga perbatasan Mesir di Semenanjung Sinai saat berlangsungnya operasi militer Israel. Menanggapi hal ini, sumber resmi Israel justru menyatakan bahwa mereka mengejar militan Palestina yang dituduh bersalah telah menewaskan delapan orang Israel di dekat Eilat. Pasca peristiwa ini, terjadi aksi demonstrasi besar-besaran di luar Kedubes Israel di Kairo. Bahkan Kabinet Mesir mengancam untuk menarik (persona non grata) duta besar Israel kembali ke negaranya. Meskipun begitu, dengan cepat pula Kabinet Mesir melunakkan retorikanya (berdiplomasi) setelah Pemerintah Israel menjanjian suatu investigasi (penyelidikan) atas kematian lima orang penjaga perbatasan Mesir dan menyatakan penyesalannya atas insiden tersebut.

Babak baru hubungan diplomatik Mesir dan Israel juga ditandai dengan sejumlah pertemuan tatap muka antara Presiden Mesir, Abdel Fattah al-Sisi, dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, di Kairo, Mesir, pada April 2016 lalu. Bahkan pada 19 September 2017, kedua pemimpin itu kembali bertemu di New York, AS, di sela-sela agenda Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Seperti dikutip Kantor Berita Al-Jazeera dari koran harian Haaretz, tertulis bahwa Presiden Abdel Fattah el-Sisi telah menyelenggarakan pembicaraan (pertemuan) rahasia dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan pemimpin oposisi Israel, Isaac Herzog, pada bulan April 2016 lalu di Kairo. Pertemuan itu bertujuan untuk mempromosikan sebuah rencana untuk mengakui Israel sebagai Negara Yahudi.

Sejumlah negara Arab juga turut membantu dalam pertemuan rahasia di Kairo pada April 2016 lalu dengan upaya pembentukan pemerintahan koalisi di Israel antara pemimpin Partai Likud, Benjamin Netanyahu, dengan pemimpin Partai Uni Zionis, Isaac Herzog. Para pemimpin di kawasan (Liga Arab) juga merasa pemeirntah sayap kanan Israel di bawah pimpinan Netanyahu tidak mampu melaksanakan suatu inisiatif (prakarsa) perdamaian yang diajukan oleh pemimpin-pemimpin Liga Arab sejak dua bulan sebelumnya, Februari 2016. Lalu mereka mendekati (menghubungi) Herzog dan meminta bantuannya dalam mempromosikan rencana itu.

Pertemuan di Kairo itu merupakan hasil konkrit dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) rahasia empat pihak (four-way summit) di Kota Pelabuhan Aqaba, Yordania. Pertemuan itu dihadiri oleh Presiden Abdel Fattah al-Sisi, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Sekretaris Negara AS, John Kerry, dan Raja Abdullah II dari Yordania, serta bertujuan untuk mempersiapkan pengakuan bahwa Israel ialah sebuah Negara Yahudi. Seorang narasumber asal Israel yang mengetahui rincian (detail) Pertemuan Tingkat Tinggi Aqaba itu juga menyampaikan kepada koran Haaretz bahwa: “Netanyahu menginginkan sebuah inisiatif regional yang akan ia pimpin, bersama-sama dengan pemimpin dari Yordania dan Mesir, lalu pada tahap selanjutnya melibatkan pemerintah (administrasi) AS”.

Perdana Menteri (PM) Netanyahu juga mengajukan sejumlah permintaan dalam KTT rahasia empat pihak itu, antara lain meliputi sebuah pertemuan KTT Publik yang juga akan dihadiri oleh pejabat senior Kerajaan Arab Saudi (KAS), Uni Emirat Arab (UAE), dan negara-negara Sunni lainnya. Ia juga meminta pengakuan dari negeri Paman Sam (AS) terhadap pembangunan blok pemukiman Israel di area yang luas, sebagai pengganti untuk pembekuan (penghentian) pembangunan di pemukiman-pemukiman terisolir (terpencil) di sebelah timur tembok pemisah. Permintaan lainnya dari PM Netanyahu ialah suatu jaminan dari pemeirntahan Presiden AS, Barrack Husein Obama, untuk memblokir (menghentikan) gerakan-gerakan anti-Israel di lembaga-lembaga PBB, serta untuk memveto berbagai resolusi tentang konflik Israel-Palestina di Dewan Keamanan PBB.

Bahkan pada Senin (19/9) lalu, Presiden Abdel Fattah al-Sisi kembali bertemu dengan PM Benjamin Netanyahu di sela-sela Sidang Umum PBB di New York, AS. Seperti dikutip dari The Jerusalem Post, pertemuan itu menghabiskan waktu selama 90 menit (1,5 jam) dan merupakan pertemuan publik pertama yang dihadiri kedua pemimpin di Hotel Palace, New York, AS. Terkait pertemuan ini, Kantor Perdana Menteri mengeluarkan pernyataan resmi bahwa diskusi kedua pemimpin berlangsung komprehensif dan terkait erat dengan penanganan masalah-masalah di kawasan (Timur Tengah). Sementara kantor berita Reuters melaporkan bahwa pertemuan antara Presiden al-Sisi dengan PM Netanyahu itu merupakan bagian dari usaha kedua pemimpin untuk menghidupkan kembali proses perdamaian Timur Tengah.

Sumber gambar: https://www.timesofisrael.com/netanyahu-meets-egypts-sissi-on-gaza-on-sidelines-of-un-gathering/

Visits: 209