Peran Negara dalam Penguatan Demokrasi

Penulis: Prof. Firman Noor (Wakil Direktur Eksekutif InMind Institute)

Tulisan telah diterbitkan di laman artikel Tempo pada 25 Agustus 2021 di laman berikut

Sumber foto: Arsip KOMPAS

Demokrasi merupakan salah satu amanat para pendiri bangsa Indonesia yang menghendaki terbentuknya sisitem pemerintahan yang dilandasi oleh semangat kedaulatan rakyat berasaskan musyawarah dan mufakat. Hal ini tercermin dalam Pancasila khususnya sila ke-empat.

Dengan perkataan lain, imagined community, meminjam istilah Benedict Anderson, yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia pada hakekatnya adalah sebuah negara demokratis, ketika setiap warga negara dengan berbagai latar belakang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Demokrasi dengan demikian merupakan amanat bangsa, yang di masa kontemporer ini, juga merupakan amanat reformasi.
 
Namun persoalan demokrasi di Indonesia hingga kini masih cukup kompleks karena belum tumbuhnya budaya demokrasi yang kuat. Lembaga-lembaga politik belum stabil, adanya pelemahan masyarakat sipil, masih menguatnya oligarki, ketimpangan pendapatan, dan tumbuhnya persoalan-persoalan mutakhir yang disebabkan karena manuver aktor-aktor politik oportunis. Hal itu berimplikasi serius dalam praktik demokrasi, terutama di satu dekade terakhir.
 
Untuk itu jelas diperlukan perbaikan yang bersifat multidimensional dengan melibatkan banyak elemen. Di antara elemen yang mau tidak mau berperan adalah negara. Sebagai sebuah institusi penting yang memiliki otoritas tertinggi, yang bahkan, sebagaimana yang dikatakan oleh Max Weber, mempunyai legitimasi untuk memaksa dengan cara-cara kekerasan sekalipun, negara sesungguhnya memainkan peran yang amat krusial.
 
Meski saat ini negara masih dalam situasi yang problematik, mengingat bahwa pemimpin pemerintahan masih dikuasai oleh kalangan yang tidak mudah untuk melakukan perubahan-perubahan penting dari sisi politik, dan fokus kerja masih ditujukan kepada masalah pembangunan ekonomi, perubahan di level negara tidak dapat dihindari.
 
Secara konseptual negara merupakan bagian dari gerbong penguatan demokrasi itu sendiri. Komitmen bangsa terhadap demokrasi harus difasilitasi, dipelihara dan diperkuat oleh negara. Bila hal ini tidak terlaksana, sejatinya negara gagal dalam mengemban amanat historis dan konstitusional di negara kita.
 
Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan oleh negara saat ini. Dengan beragam kritik atas pelaksanaan demokrasi, khususnya kebebasan berekspresi, saat ini negara perlu lebih berkomiten membuka dialog, dan mengembangkan sebentuk “demokrasi deliberatif” dengan lebih banyak lagi mengajak berbagai kalangan untuk terlibat dalam menekan kebijakan yang elitis dan pro-oligark.

Di sini, negara lebih membuka diri kepada banyak kalangan maupun pemangku kepentingan dalam proses membuat kebijakan. Tidak itu saja, negara juga perlu mengkondisikan situasi dimana masyarakat dapat memainkan peran itu dengan maksimal, sertatanpa ada rasa ketakutan dan hambatan.
 
Masih terkait dengan itu, negara perlu meluaskan semangat kebebasa berbicara. Negara tidak perlu alergi terhadap kritik dan oposisi. Terbukti bahwa di negara-negara yang stabil dan sejahtera, kalangan kritis terutama oposisi dilembagakan dengan baik. Di negara-negara tersebut, kalangan kritis bahkan difasilitasi untuk dapat memainkan perannya sebagai pengawas pemerintah.

Karena itu, sikap negara yang bertendensi keras dan cenderung mengebiri peran kalangan kritis ataupun oposisi jelas harus ditekan semaksimal mungkin. Hal ini agar “demokrasi elitis” benar-benar dapat direduksi sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan sebuah kebijakan yang lebih relevan dengan kepentingan masyarakat banyak.
 
Dalam menjaga mutu dialog dan agar perbincangan tidak salah arah, negara juga perlu dengan sungguh-sungguh mengatasi para buzzer yang kerap memproduksi berita palsu dalam politik. Hal ini demi menciptakan demokrasi yang rasional-bermartabat dan menghindari dari kehancuran kehidupan politik demokratis karena keawaman dalam berdemokrasi.

Sejalan dengan itu negara harus mereduksi kecenderungan berpolitik bernuansakan post-truth ataupun populisme, yang membodohi masyarakat dan menjauhkan mereka dari realita sesungguhnya. Ini sejalan dengan semangat demokrasi yang menyaratkan keterbukaan agar kualitas pemerintahan dan kebijakan tidak terjebak dengan kepentingan segelintir orang, yang berlindung dari di balik ketidaktransparanan pemerintah.
 
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah negara harus menguatkan performa lembaga-lembaga demokrasi, khususnya partai politik agar dapat memainkan peran maksimal dalam mengawal kualitas kehidupan demokrasi. Negara harus dapat memfasilitasi partai dalam melakukan kaderisasi dan membangun kemandirian finansial.

Ini dilandasi pada suatu kesadaran bahwa demokrasi yang sehat mensyaratkan partai politik yang terlembaga, solid dan mandiri. Untuk itu, negara harus berperan dalam memimpin pembenahan partai politik. Posisi presiden sebagai kepala negara dapat memainkan peran pembenahan ini.
 
Selain itu, negara perlu melakukan penegakkan hukum, yang dapat menjamin rasa keadilan dan percaya terhadap pemerintahan dan demokrasi. Pada gilirannya penegakkan hukum juga berperan dalam menghambat laju oligarki.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Jeffry Winters (2004), lemahnya penegakkan hukum menjadi penyebab suburnya praktik oligarki, termasuk di Indonesia. Ini karena biasanya, para oligark kerap berkelit menghindari dan bahkan mengakali hukum untuk dapat eksis.
 
Sehubungan dengan itu, negara perlu memikirkan kembali aturan-aturan main dalam kehidupan politik yang berpotensi membuka celah praktik oligarki ataupun biaya politik tinggi. Hal itu termasuk perlunya perubahan pada Undang U ndang Pemilu dan Undang Undang Partai Politik sebagai peraturan yang dalam praktiknya dekat sekali dengan potensi praktik politik uang. Ini terbukti berdasarkan kajian Aspinnal dan Berenschot (2019) politik uang di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia.
 
Pada akhirnya negara juga harus terus melakukan pendidikan politik dan penguatan ekonomi dengan sungguh-sungguh. Hal ini sejalan dengan asumsi bahwa pada negara-negara yang kemandirian rakyat tinggi sajalah – terutama dalam menentukan pilihan politiknya secara rasional dan independen – demokrasi sejatinya dapat berjalan dengan baik.

Selain itu penguatan kesadaran politik dan meningkatnya kemapanan ekonomi akan membuat segenap bentuk provokasi yang mengarah pada polarisasi politik masyarakat dapat mudah dihindari. Sebaliknya akan menjadi fondasi bagi masyarakat untuk makin menghargai berbagai keberagaman dan saling menghormati sesama anak bangsa.

Visits: 561