Polemik Tanah Suci Bangsa Israel dan Interpretasi Mistikalnya

Penulis: Meilia Irawan (Peneliti dan Direktur Hubungan Masyarakat dan Media InMind Institute)

Polemik tanah yang dijanjikan bukan hanya menjadi isu serius untuk regional Arab, tetapi konflik ini adalah konflik global karena telah menghilangkan aspek kemanusiaan. Sekitar lebih dari 5000 masyarakat sipil menjadi korban akibat perebutan area tanah suci tiga agama Ibrahim. Perang antara Hamas dan Israel yang pecah pada tiga waktu penting Yahudi pada Sabtu 7 Oktober 2023, di masa perayaan hari Sabbath, di akhir Festival Sukkot yang merupakan hari syukuran warga Israel atas hasil panen mereka, serta tepat satu hari setelah peringatan 50 tahun Perang Yom Kippur.

Menarik memahami konflik kedua negara yang terkadang ditafsirkan oleh sebagian masyarakat sebagai konflik antar agama, yang nyatanya sebenarnya konflik kepentingan penguasaan dengan menjustifikasi melalui ayat keagamaan.

Perang yang bermuara dari klaim tanah suci (holy land) melahirkan gerakan zionisme dan berujung pada deklarasi negara Israel pada 14 Mei 1948 di bawah mandat Inggris. Perang ini dianggap perang penting karena bermuara pada keyakinan tafsir Bible bahwa akan berlaku restorasi tanah suci sebagaimana yang pernah terjadi di masa kenabian bani Israel di masa Babilonia.  Impian zionis untuk mengembalikan kejayaan bangsa Israel masa lalu, harapan untuk membuat pemerintahan Yahudi atau Kingdom of God sembari menunggu kehadiran Mesiah, Sang Juru Selamat adalah amunisi untuk melegalkan klaim terhadap tanah yang telah diduduki warga Palestina.

Ideologi ini dan interpretasi ini nyatanya tidak sepenuhnya diterima bahkan telah banyak dikaji di berbagai penelitian. Hingga Oktober 2023 misalnya, lebih dari 100 dokumen metadata pada openknowledgemaps.org mempublikasikan ketertarikan  mengenai isu ini.

Tanah suci menjadi persoalan penting karena menyangkut keyakinan tiga agama. Tempat ini penting bagi orang Yahudi, Kristen, dan Muslim. Berisi sejarah panjang dan sakral para sanak keturunan Abraham. Merupakan kisah Musa dalam perjanjian penting di Tanakh.

Kawasan ini menjadi area konflik karena persoalan politik dan banyaknya penafsiran teks dengan berbagai kepentingan. Klaim siapa yang paling berhak atas holy land menjadi polemik berkepanjangan dan sangat menguras energi. Ditambah dengan ego sentris yang pada akhirnya melegalkan kekuasaan hanya karena impian dan tafsiran pribadi segelitir pihak. Klaim kebenaran meningkatkan ketegangan konflik, mungkin ini yang bisa menggambarkan persoalan Palestina – Israel tentang tafsiran holy land atau tanah yang dijanjikan.

Perlu setidaknya memahami bagaimana tanah suci ini ditafsirkan dan bagaimana Israel melihat diri mereka sendiri, sehingga dengan ini kita dapat menganalisa atau bisa membuat kesimpulan—Apakah Israel ingin berdamai atau membuka diri untuk rekonsiliasi dengan Palestina atau Hamas?

Tanah Suci dan Interpretasinya

  1. Tafsiran Teologis, Reward atau Hadiah

Dalam sejarahnya, Tanakh (Alkitab Ibrani) berbicara tentang Tanah Suci sebagai tanah perjanjian yang diberikan Tuhan kepada orang-orang Yahudi khususnya keluarga migran yang menetap di Kanaan bernama Eretz Yisrael (Relijius Yahudi). Keturunan mereka pindah ke Mesir, bergabung dengan angkatan kerja para Firaun, namun tetap menjadi minoritas yang tidak berasimilasi dengan apapun.

Kekejaman Firaun membuat bangsa Israel memberontak melawan perbudakan. Mereka akhirnya memperkuat identitas mereka sebagai Am Yisrael (bangsa Israel), sebuah komunitas yang berkomitmen kepada Tuhan yang telah membebaskan mereka. Dari sejarahnya, Tuhan memberikan tanah perjanjian karena merupakan pemberian bagi mereka yang bertaqwa kepada-Nya.

Pada titik ini, Tanah Suci (holy land) digambarkan sebagai reward atau hadiah atas pembebasan bagi komunitas tertentu.

Akulah Tuhan yang membawa kamu keluar dari Ur di Kasdim untuk memberikan kepadamu tanah ini untuk dimiliki” (Kejadian 15:7; lih. ayat 18). Pada hari yang sama, Tuhan membuat perjanjian dengan Abram, berfirman: ‘Kepada keturunanmu Aku telah memberikan tanah ini…”

(Kejadian 15:18)

2. Pengaruh Politik Peradaban

Poin kedua adalah konteks Eretz Yisrael (tanah suci). Penemuan Israel kuno tentang Tuhan Yang Maha Esa dan agama yang berkembang berdasarkan kesadaran tersebut sangat dipengaruhi oleh hubungan politik dan budaya mereka dengan negara-negara tetangganya, yakni Timur Dekat kuno.

Timur Dekat Kuno merupakan wilayah yang memiliki peradaban unggul sebagai model perjanjian, seperti perjanjian Het dari milenium kedua hingga gagasan perjanjian alkitabiah, seperti di Sinai dalam kitab Keluaran. Dalam penjelasannya, kepercayaan terhadap suatu tempat suci ada kaitannya dengan kepercayaan Helenisme, dimana dalam tradisi mereka selalu ada tempat-tempat istimewa tertentu di mana para dewa menampakkan diri, baik itu puncak bukit, sungai, rerimbunan pohon, atau melalui seseorang sebagai dewa pada masyarakat Timur Dekat kuno. Ini sebagaimana keyakinan Yahudi tentang perjanjian Tuhan, dimana akan memberikan holy land terhadap mereka.

Untuk memahami perjanjian Tuhan ini, kita coba melihat Keluaran 19 yang berbicara tentang “perjanjian-Ku”. Ayat Keluaran 19 diperkenalkan sebagai basis hubungan antara Tuhan dan Israel. Perjanjian di Sinai (Keluaran 19) menjelaskan bahwa kedatangan bangsa Israel di Sinai, Mesir merupakan tahap puncak dalam pembentukan identitas nasional dan takdir spiritual Israel.

Pengalaman mereka sebagai budak di Mesir, terusir dan hingga dilakukan pembebasan, dipahami sebagai ruang perjumpaan komunal yang signifikan dengan Tuhan. Israel harus menjadi bangsa yang terikat erat dengan Tuhan melalui hubungan perjanjian. Kemudian Perjanjian tersebut dikaitkan dengan bentuk, struktur, pola, dan instrumen yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia. Bentuk dan hubungan kemanusiaannya berkaitan dengan negara, lalu apa tafsir Islam memandang tanah suci?

Menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita memunculkan istilah ‘tanah suci אֶרֶץ הַקּוֹדֶשׁ Eretz HaKodesh dan dalam bahasa Arab adalah الأرض المقدسة Al-Arḍ Al-Muqaddasah atau dalam alkitab qds/qadash. Mengenai (QS. Al-A’raf 103 – 171) dari pendekatan mistik—Tanah suci diartikan sebagai ‘bumi baru’ dengan “misi baru”.

Dalam mistisisme Islam, Israel (disebut keturunan Yakub) dipandang sebagai Darwish yang mencari dharma (misi kehidupan); mereka berjalan di malam hari untuk mencari tanah perjanjian. Konteks misi baru ini terkait dengan menyucikan hati dari kegelapan menuju terang. Di sini pengasingan atau Musa keluar dari Mesir dan Israel mengalami perbudakan dipahami sebagai keluar dari hawa nafsu. Dalam tafsir mistik tanah suci adalah tempatnya orang-orang qadash (santo/orang alim), tidak ada kaitannya dengan bangsa, ras, dan etika tetapi siapa yang beriman kepada Allah berhak mensejahterakan Bait Al Maqdis (Kita dapat menyimpulkan bahwa dalam perspektif Islam, persoalan tanah suci bersifat inklusif, tidak eksklusif, dan dapat diklaim untuk semua agama dengan syarat dekat dengan Tuhan.

Views: 53