Rangkuman Komponen Kekuasaan Menurut Koentjaraningrat

Direktur Riset dan Pusat Data InMind Institute Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P. merangkum komponen kekuasaan menurut Koentjaraningrat dalam artikelnya yang berjudul Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi dalam buku Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa yang disunting oleh Miriam Budiardjo.

Tulisan Koentjaraningrat mengenai kekuasaan ini dilatarbelakangi atas kritiknya terhadap tulisan fenomenal Benedict Anderson yang berjudul “Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa” yang membandingkan konsepsi kekuasaan Jawa Tradisional dengan konsep Barat Modern secara kontras sehingga cenderung membesar-besarkan kekontrasan di antara dua konsepsi ini. Akibatnya, Anderson dalam pandangan Koentjaraningrat menjadi kehilangan kemampuan untuk melihat gejala yang ditelitinya dalam keadaan seimbang atau kehilangan kepekaannya terhadap proporsi. 

Uraian Anderson yang berlebihan mengenai kekuasaan Jawa Tradisional misalnya dapat dilihat dari pemaparannya mengenai anggapan orang Jawa yang melihat kekuasaan hanya diibaratkan sebagai sebuah energi saja dan dapat digunakan secara otomatis oleh manusia di mana penekanan Anderson terhadap sumber kekuasaan Jawa Tradisional hanya berasal dari unsur kemagisan. Hal inilah yang kemudian dikritik oleh Koentjaraningrat yang melihat bahwa Anderson tidak sepenuhnya memahami perilaku dan watak orang Jawa sesungguhnya. 

Dalam pandangan Koentjaraningrat, konsepsi orang Jawa terhadap kekuasaan sebagai kekuatan energi yang sakti dan keramat tidak lain hanyalah merupakan sebuah konsepsi simbolis belaka. Meski penting, namun kesaktian bukan satu-satunya unsur yang terpenting bagi terpilihnya seorang pemimpin dalam masyarakat Jawa. Di dalam buku-buku tradisional Jawa, terdapat syarat-syarat untuk menjadi seorang pemimpin sehingga hal ini mematahkan pandangan Anderson tersebut.

Maka untuk mematahkan argumentasi Anderson tersebut, Koentjaraningrat merumuskan konsepsi kekuasaan yang dibaginya menurut jumlah masyarakat (masyarakat kecil dan sedang) dan juga berdasarkan waktu (masa tradisional dan masa kini). Konsepsi kekuasaan dan kepemimpinan tradisional dalam masyarakat kecil (hanya terdiri dari sepuluh hingga lima belas individu) menurut Koentjaraningrat (berdasarkan penelitian beberapa ahli) hanya muncul ketika ada pekerjaan atau aktivitas bersama yang memerlukan adanya koordinator untuk aktivitas tersebut. Syarat untuk kepemimpinan model demikian adalah hanya kepandaian atau keterampilan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Pekerjaan yang ada pun berbeda-beda sehingga kemudian tongkat kepemimpinan pun berubah-ubah dari satu individu ke individu lainnya sesuai dengan individu yang paling ahli dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut.

Sedangkan dalam kesatuan masyarakat yang lebih kompleks dan lebih besar atau dikategorikan sebagai masyarakat sedang, kepemimpinan tidak cukup hanya diperankan oleh orang yang berwibawa yang hanya memiliki kelebihan pada satu sisi saja. Kepemimpinan dalam tipikal masyarakat ini juga memerlukan wewenang (legitimacy), yakni memiliki kemampuan melaksanakan upacara-upacara keagamaan secara intensif. Selain itu syarat khusus yang harus ada yakni kharisma (memiliki kekuasaan sakti) dan kekuasaan dalam arti khusus yakni kemampuannya untuk mengarahkan kekuasaan fisik dan mengorganisasi banyak orang.

Sehingga kemudian merujuk pada hal di atas, secara umum di dalam tulisannya, Koentjaraningrat mencoba menganalisis bahwa terdapat empat komponen kekuasaan dalam kepemimpinan, yakni kewibawaan, wewenang, kharisma dan kekuasaan dalam arti khusus dalam setiap masyarakat dan juga pada setiap masa (tradisional dan masa kini). Namun yang membedakan adalah porsi masing-masing komponen dalam mempengaruhi keterpilihan seorang pemimpin. 

Dalam kekuasaan pemimpin tradisional (terutama di Indonesia), wewenang (legitimacy) tidak hanya cukup bila didasarkan pada kewibawaan seseorang yang hanya disandarkan kepada kepandaian dan keahlian dalam bidang tertentu namun wewenang juga perlu dikuatkan dengan adanya garis keturunan (dalam kerajaan), yang secara jauh garis ini dapat ditarik jauh hingga ke garis “keturunan dewa” sehingga wewenang ini bisa bersifat keramat (kharisma). 

Ciri khas konsepsi kekuasaan yang melekat pada pemimpin di masa ini adalah pertama, berasal dari kharisma (berasal dari wahyu Tuhan atau dari dewa), kedua, memiliki wewenang (memiliki kekuatan sakti, mempunyai keturunan yang sah, mampu melakukan upacara, dan memiliki pusaka-pusaka keramat). Porsi terbesar kepemimpinan di masa tradisional diberikan pada komponen ini. Ketiga, memiliki kewibawaan, yakni memiliki sifat yang sesuai dengan cita-cita masyarakat dan terakhir, kekuasaan dalam arti khusus.

Adapun pada masyarakat masa kini, wibawa memiliki porsi terbesar yang menjadi landasan kekuasaan masa kini. Wibawa dalam hal ini menurut Koentjaraningrat adalah popularitas, memiliki kapasitas rasional untuk memecahkan masalah-masalah sosial, dan ekonomi dan memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita masyarakat. Setelah itu barulah wewenang, kharisma, dan kekuasaan dalam arti khusus. 

Secara umum, Koentjaraningrat dengan sangat baik memaparkan komponen-komponen kekuasaan yang ada di dalam masyarakat dari masa ke masa. Ia mencoba belajar dari kekurangan tulisan Anderson yang hanya melihat konsepsi kekuasaan secara parsial dalam menganalisis masyarakat Jawa, tanpa sebelumnya membedakan konsepsi kekuasaan yang berkembang pada masyarakat Jawa di masa lalu dan kini. Untuk itu ia memberikan kategorisasi waktu dalam menganalisa mengenai kekuasaan dalam sebuah masyarakat. Maka dengan adanya pembagian tersebut, kita dapat melihat secara utuh perbedaan konsepsi kekuasaan dari masa ke masa dan dari masyarakat kecil hingga yang rumit sehingga dengan itu kita dapat memahami secara jelas perbedaan konsepsi kekuasaan dari masa ke masa dan juga perbedaan derajat komponen kekuasaan yang paling berpengaruh terhadap kepemimpinan dari masa ke masa.  

Meski demikian, kealpaan Koentjaraningrat dalam mengkorelasikan antara konsepsinya dengan realita yang ada dalam masyarakat Jawa secara khusus dan Indonesia secara umum, baik di masa tradisional ataupun masa kini, menjadi salah satu kelemahan dari tulisan ini. Jika pada tulisan Anderson yang ia kritik, dengan sangat seksama dan rinci Anderson memaparkan bagaimana gagasan kekuasaan Jawa telah menyebabkan seorang penguasa bertindak dan berperilaku, baik di masa tradisional atau masa kini namun tidak satupun dalam tulisan Koentjaraningrat ini yang mencoba menghubungkan bagaimana sebagai contoh komponen wibawa telah menjadikan seseorang menjadi penguasa di masa tradisional ataupun masa kini. Ketiadaan korelasi ini mengakibatkan konsepsi-konsepsi yang digagas oleh Koentjaraningrat mengawang-awang malah kemudian seakan-akan memiliki relevansi yang tipis jika dihubungkan untuk menganalisis kondisi masyarakat Jawa, baik di masa tradisional ataupun masa kini.

sumber gambar: http://soeharto.co/kedekatan-presiden-soekarno-presiden-soeharto/   

Views: 554