Direktur Riset dan Pusat Data InMind Institute Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P. menuliskan perjalanan Perang Sipil Yaman yang dimulai oleh pemberontak Houthi beraliran Syiah yang didukung Iran melawan Pemerintah Yaman yang didukunh Arab Saudi.

Aksi pembakaran diri yang dilakukan Muhammad Buazizi di Tunisia pada 17 Desember 2010 menyulut terjadinya revolusi di Tunisia. Hal ini membuat rakyat berani untuk menentang rezim represif Ben Ali yang selama ini menyengsarakan rakyat. Hanya dalam hitungan hari rezim Ben Ali jatuh. Bola ‘panas’ revolusi terus bergulir ke berbagai negara Timur Tengah lainnya seperti Libya, Yaman dan Syiria (yang hingga kini masih berlangsung revolusi). Fenomena ini kemudian disebut sebagai Arab Spring.
Lahirnya Arab Spring sempat membawa harapan baru bagi perubahan politik di Timur Tengah. Setelah puluhan tahun wilayah ini dikuasai oleh rezim otoriter, berbagai kalangan berharap bahwa Timur Tengah akan berubah haluan dalam sistem pemerintahan. Keadaan ini mematahkan Teori Huntington yang menyatakan bahwa demokrasi tidak akan mampu lahir di Timur Tengah. Sebab sepanjang arus gelombang demokratisasi, Timur Tengah selalu alfa dalam proses demokrasi.
Namun ternyata Arab Spring yang berjalan di Timur Tengah tidak berjalan dengan mulus. Gelombang balik demokratisasi berjalan dengan cepat di Timur Tengah. Kasus dikudetanya presiden pertama yang terpilih secara demokratis di Mesir, menjadi titik awal balik gelombang ini. Arab Spring dengan cepat berubah menjadi Arab Dying. Keadaan serupa terjadi di Suriah, penumbangan rezim otoriter tidak berjalan dengan mulus dan damai. Keinginan mayoritas penduduk yang menginginkan demokrasi, dijawab dengan pembantaian oleh militer.
Tidak hanya Mesir dan Suriah yang mengalami konflik berkepanjangan yang menyebabkan adanya korban jiwa. Yaman, yang merupakan negeri termiskin di kawasan Timur Tengah juga mengalami konflik yang serupa. Angin demokratisasi yang terjadi di tahun 2011 juga berhembus di Yaman. Setelah berulangkali didesak untuk mundur dari jabatannya sejak tahun 2011, akhirnya di tahun 2012 presiden Ali Abdullah Saleh mundur dari jabatannya sebagai Presiden Yaman. Wakil presidennya yakni Abd Rabbo Mansour Hadi terpilih untuk menggantikannya. Namun demokratisasi kembali tidak berjalan mulus di Yaman karena munculnya pemberontakan oleh kelompok Houthi terhadap pemerintahan Hadi. Hingga kini, Yaman terjebak dalam perang saudara yang mengakibatkan hilangnya ribuan nyawa.
Kronologi Konflik Yaman
Arab Spring mencapai Yaman pada Januari 2011. Sejumlah warga Yaman menuntut turunnya Ali Abdullah Saleh sebagai presiden. Protes-protes ini mengakibatkan meninggalnya 2.000 jiwa dari pihak sipil. Keadaan ini juga mengakibatkan aktifnya kelompok Al Qaida in the Arabian Peninsula (AQAP) yang berkonflik dengan pemerintahan Yaman. Baru pada 24 Februari 2012, Ali Abdullah Saleh akhirnya mengundurkan diri namun pengganti Saleh yakni Abd Rabbo Mansour Hadi dianggap antek kekuatan Barat. Konflik politik yang terjadi di Yaman tersebut membuka celah bagi kelompok pemberontak Houthi yang beraliran Syiah untuk mengambil alih pemerintahan.
Pertempuran akhirnya meletus pada tanggal 17 September 2014 antara pemerintah Yaman dan kelompok Houthi. Beberapa setelahnya kelompok Houthi membakar gedung televisi nasional. Perdana Menteri Yaman Salem Basindwa akhirnya mengundurkan diri pada tanggal 24 September 2014 dan digantikan oleh Khaled Bahhah. Hal ini untuk memenuhi persyaratan gencatan senjata dari kelompok Houthi.
Pada tanggal 22 Januari 2015 akhirnya Presiden Hadi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Yaman, setelah sebelumnya pemberontak Houthi menduduki istana kepresidenan dan memberikan tekanan kepadanya. Mundurnya Hadi tidak lama berselang setelah kemunduran PM Khaled Bahhah dan anggota kabinetnya mengajukan hal serupa. Meski berhasil menguasai pemerintahan, namun nyatanya pemerintahan kelompok Houthi tidak didukung oleh masyarakat Yaman. Ribuan orang berdemonstrasi di depan kediaman Hadi untuk menyatakan dukungan terhadap kepemimpinannya.
Hadi akhirnya membatalkan pengunduran dirinya setelah berhasil meloloskan diri dari tahanan rumah pada 24 Februari 2015. Sebulan setelahnya atau di tanggal 23 Maret 2015 ia menjadikan Kota Aden sebagai ibu kota sementara karena kota Sanaa telah dikuasi pemberontak Houthi. Hadi juga meminta bantuan Arab Saudi dan negara-negara teluk untuk memperbaiki keadaaan Yaman. Arab Saudi menyanggupi permintaan Yaman dengan memulai serangan udara ke Yaman pada 26 Maret 2015. Konflik di Yaman semakin memanas setelah ikut sertanya Iran untuk membantu pemberontak Houthi.
Kepentingan Arab Saudi dan Iran terhadap Yaman
Jika mengkaji secara mendalam mengenai konflik yang terjadi di Yaman, persoalan perbedaan sekte antara pemerintah yang beraliran Sunni dengan kelompok Houthi yang beraliran Syiah bukanlah inti utama dari tingginya tensi konflik di Yaman. Bergabungnya pasukan mantan Presiden Yaman Ali Saleh yang berasal dari Sunni untuk mendukung pemberontakan kelompok Houthi yang beraliran Syiah merupakan bentuk nyata dari hipotesis tersebut. Sebab selain berbeda mazhab di masa lalu pemerintahan Ali Saleh kerap menekan kelompok Houthi dengan menggunakan kekerasan. Perang yang terjadi di Yaman lebih merupakan pragmatisme masing-masing kelompok yang melihat instabilitas politik Yaman akibat Arab Spring sebagai momentum untuk mendapatkan kekuasaan.
Konflik ini terus berjalan setelah sekian lama juga disebabkan adanya perebutan pengaruh antara Iran dan Saudi. Jelas Iran menginginkan perluasan kekuasaan kelompok Syiah yang berafiliasi ke negaranya. Dengan berkuasanya Houthi yang memiliki afiliasi ke Iran, akan membuka gerbang bagi Iran untuk melebarkan paham Syiah ke Timur Tengah. Yaman adalah kunci masuk menuju Arab Saudi yang merupakan jantung Timur Tengah. Iran sendiri menurut berbagai sumber sejak tahun 2013 telah memberikan bantuan finansial dan logistik bagi keperluan kelompok Houthi.
Demikian pula dengan Arab Saudi, mereka menyadari bahwa jika kelompok Houthi berhasil menguasai Yaman, aliran Syiah akan secara massif masuk ke wilayah Saudi. Karena secara geopolitik, letak Yaman yang berbatasan dengan Saudi sangat mempengaruhi keadaan Saudi. Hal ini tentunya akan berbahaya terhadap stabilitas politik Saudi. Kepemimpinan Raja Saudi dapat dengan sangat mungkin akan berganti, jika keadaan ini terjadi. Saudi sendiri sangat tinggi perhatiannya terhadap adanya impor ideologi yang dapat mempengaruhi sistem pemerintahan monarki yang dianutnya, meski ideologi tersebut berasal dari kelompok Sunni. “Keep Yaman weak,” adalah jargon terkenal yang pernah diungkapkan oleh pemimpin Saudi di masa lalu, Raja Abdul Aziz. Ini menandakan besarnya pengaruh Yaman terhadap Arab Saudi.
Jika melihat kembali sejarah politik di Yaman, hubungan Arab dan kelompok Syiah di Yaman diwarnai dengan pragmatisme. Di tahun 1960-an Arab Saudi pernah mendukung kelompok Syiah Zaidi di Yaman yang menolak nasionalisme Arab di Mesir. Demikian pula dengan kelompok Syiah Zaidi yang pernah mengkonversi keyakinannya menjadi Muslim Sunni ketika kelompok Republik Yaman menang demi mendapatkan dukungan dan perlindungan dari Saudi. Di tahun 1980-an, Saudi menjadi patron bagi pemerintahan Yaman yang dipimpin oleh Ali Saleh. Setiap bulannya selama 30 tahun, Saudi mengirimkan sejumlah bantuan. Namun ketika Yaman mendukung invasi Irak ke Kuwait, Saudi menghentikan bantuannya dan mendeportasi 1 juta warga negara Yaman yang bekerja di Saudi.
Jika konflik ini dibiarkan secara berlarut, tentu yang akan menanggung kerugiannya adalah rakyat Yaman. Ribuan rakyat sipil telah menjadi korban. Sementara itu, tidak ada gelagat konflik akan segera mereda. Selama Saudi dan Iran bersikeras dengan kepentingannya, maka konflik di Yaman akan terus berlangsung. Dan lagi rakyat sipil lah yang akan menjadi korban. Perdamaian adalah satu-satunya jalan keluar. Jika Nabi Muhammad saja pernah melakukan perjanjian damai dengan kelompok Yahudi di Madinah, maka mengapa rekonsiliasi damai di Yaman tidak dilakukan?
Sumber gambar: https://breakingnews.co.id/read/pemimpin-houthi-ditangkap-militer-yaman
Views: 169