Kekerasan terhadap Tahanan Perempuan Palestina

Direktur Riset dan Pusat Data InMind Institute Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P. menuliskan kondisi dan pengalaman perempuan Palestina yang ditahan Israel.

“Protected persons are entitled, in all circumstances, to respect for their
persons, their honour, their family rights, their religious convictions and practices, and their manners and customs. They shall at all times be humanely treated, and shall be protected especially against all acts
of violence or threats thereof and against insults and public curiosity. Women shall be especially protected against any attack..” (Article 27 of the Fourth Geneva Convention)

Di tahun 2017, jumlah orang yang ditahan di Palestina mencapai 6.500 orang, 350 diantaranya adalah anak-anak dan 58 perempuan (sembilan orang diantaranya anak dibawah umur). Sementara itu ada 450 orang yang ditahan karena alasan administratif, sebanyak 22 wartawan dan 11 orang anggota legislatif di Palestina juga ikut menjadi tahanan. Setiap harinya rata-rata terjadi 18 penahanan terhadap penduduk Palestina. Sejak tahun 1967 sebanyak 700.000 penduduk Palestina telah dipenjara oleh Israel, di mana 10.000 orang diantaranya adalah perempuan.

Israel secara sistematis menggunakan perempuan sebagai tahanan untuk tujuan-tujuan politik mereka. Diantaranya adalah agar tahanan politik pria Palestina yang ditangkap Israel mau berbicara (mengungkapkan informasi rahasia), maka Israel menangkapi saudara perempuan, istri, ibu atau anak perempuan mereka. Perempuan dijadikan alat politik agar Israel mendapatkan informasi dari tahanan. Israel juga menangkapi perempuan-perempuan yang menjadi pemimpin di masyarakat, agar masyarakat menjadi takut dan bungkam terhadap opresi yang dilakukan militer Israel. Mereka bahkan tak segan menangkapi anak kecil hingga perempuan hamil.

Penahanan yang dilakukan Israel terhadap para perempuan Palestina biasanya berupa tahanan administratif, yang merupakan mimpi buruk bagi seluruh tahanan. Penahanan jenis ini merupakan sebuah prosedur yang memperbolehkan tentara Israel menahan secara khusus tanpa melalui proses tuntutan ataupun persidangan. Komandan militer Israel mendasarkan keputusannya pada informasi yang berkategori rahasia sehingga tidak bisa diakses oleh tahanan ataupun pengacaranya. Meski sesungguhnya peraturan ini bertolak belakang dengan perjanjian internasional mengenai hak sipil dan politik di pasal 9 ayat 2 yang menyatakan “tahanan harus mendapatkan informasi masa tahanan dan alasan kenapa ia ditahan, juga perihal tentang tuntutan yang diajukan kepadanya”.

Selama di dalam penjara, tahanan perempuan Palestina mengalami berbagai hal yang tidak menyenangkan. Mereka mengalami kekerasan baik secara fisik ataupun verbal, kesulitan mendapatkan pengobatan medis yang layak, sulit mendapatkan pengacara dan tidak diperkenankan untuk bertemu dengan keluarganya. Israel sedapat mungkin menekan para tahanan perempuan, tidak hanya untuk mendapatkan informasi penting, juga sebagai bagian tekanan fisik dan mental para perempuan Palestina.

Fasilitas penjara yang disediakan oleh Israel juga jauh dari kategori layak, terlebih untuk perempuan. Berdasarkan data dari organisasi pembela hak tawanan Palestina Addameer, kondisi di kebanyakan penjara Israel kurang memiliki pendekatan berbasis gender. Israel mengabaikan kondisi kesehatan tahanan perempuan yang menderita akibat kerasnya hukuman yang diberlakukan di penjara. Karena tidak mendapatkan kesempatan untuk berobat, para tahanan terpaksa harus mengobati dirinya sendiri terhadap penyakit ataupun kondisi luka yang mereka alami. Mereka juga tidak menerima pendidikan selama dihukum. Tidak hanya itu, kunjungan dari keluarga termasuk untuk ibu dengan anak juga dilarang. Kondisi sel juga penuh sesak dengan keadaan yang kotor (ada serangga di dalamnya) serta kurangnya penerangan di dalam ruangan. Permasalahan kesehatan tahanan maupun higenitas juga kurang diperhatikan untuk tahanan yang hamil yang merupakan pihak yang rentan.

Pembela HAM dalam Tahanan Administratif
Pembela HAM, anggota legislatif dan berbagai pemimpin perempuan Palestina juga tidak terlepas dari penangkapan yang dilakukan oleh tentara Israel. Pada 2 Juli 2017, tentara Israel menangkap Khalida Jarrar yang merupakan anggota legislatif Palestina sekaligus juga ketua Komite Federasi Perempuan Palestina. Ia ditangkap di dalam rumahnya di Ramallah, setelah dikepung oleh 35 tentara Palestina. Sebelumnya ia juga telah ditahan oleh Israel selama 15 bulan dan baru dibebaskan pada Juni 2016. Bersamaan dengan Jarrar, sekertaris jenderal Komite Federasi Perempuan Palestina, Khitam Saafin juga ditangkap di rumahnya di Beitunia.
Penangkapan kedua aktivis perempuan ini merupakan bagian dari kebijakan politik sistematis yang dilakukan oleh Israel terhadap aktivis politik, pegiat HAM dan masyarakat sipil di dalam masyarakat Palestina. Hal ini dilakukan untuk mencegah para aktivis memerankan peran mereka untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Palestina terkait hak sipil dan politik mereka. Israel menggunakan penahanan, penyiksaan, perlakuan buruk dan kekerasaan terhadap perempuan Palestina sebagai sebuah strategi untuk memecah belah struktur masyarakat Palestina dan mencegah mereka untuk melakukan perlawanan terhadap Israel.

Kekerasan yang dialami tahanan politik perempuan, hampir sama dengan kekerasan yang dialami oleh tahanan laki-laki. Pada beberapa kasus, tahanan politik perempuan Palestina disatukan dengan tahan kriminal perempuan Israel. Kriminalis ini sering melakukan kekerasan terhadap tahanan Palestina. Tidak hanya itu, tahanan politik perempuan Palestina juga mendapatkan perlakukan kasar dari petugas tahanan (baik laki-laki mapun perempuan). Beberapa kekerasan yang dialami oleh tahanan perempuan politik Palestina :

  1. Pengabaian terhadap Hak atas Tahanan Perempuan yang Hamil dan Melahirkan.
    Perempuan hamil juga tidak terlepas dari ‘incaran’ tentara Israel untuk ditahan. Ketika ditahan, para perempuan hamil tidak mendapatkan perawatan medis yang layak sebelum dan setelah melahirkan. Di tahun 2007, ada seorang perempuan Palestina yang bernama Fateema Younis yang sedang hamil beserta anaknya yang kedelapan ditangkap di titik penjagaan akibat ‘terlihat memalukan’. Selanjutnya Fateema dibawa ke Pusat Interogasi Ashkelon dan mendapatkan siksaan baik fisik maupun psikis. Sepanjang interogasi ia diikat di kursi, suhu selama interogasi juga dibuat ekstrim (sangat dingin), selama itu pula ia mengalami pukulan yang membuatnya mengeluarkan darah. Keadaannya yang hamil tidak membuatnya mendapatkan perawatan yang spesial dari tentara Israel. Keinginan Fateema agar bayi di dalam kandungannya diberikan perawatan juga ditolak oleh pihak Israel. Demikian pula dengan makanan yang diberikan di dalam penjara, tidak ada bedanya dengan tahanan lain. Ketika melahirkan di bulan Januari 2008, Fateema juga mengalami kondisi yang tidak manusiawi. Tangan dan kakinya terikat sebelum dan setelah melahirkan. Ia juga tidak mendapatkan hak dasarnya sebagai manusia untuk ditemani suami ataupun keluarga ketika proses melahirkan. Bahkan pengacaranyapun tidak diperkenankan untuk melihatnya ketika ia melahirkan. “Setelah Yousuf dilahirkan, satu tangan dan satu kaki saya diikat di kasur. Saya ditempatkan di tempat spesial untuk beberapa saat, hingga kemudian mereka memindahkan ke ruangan saya. Pada hari kedua mereka memborgol kaki saya dan membawa anak saya sehari dua kali untuk disusui.” Demikian pengakuan Fateema atas kejamnya perlakuan Israel terhadap dirinya ketika proses dan paska bersalin. Tidak hanya itu, Fateema juga kembali ditempatkan di ruangan tahanan bersama lima tahanan lainnya. Ia menderita depresi paska melahirkan dan mengalami nyeri di tulangnya. Di bulan Maret 2008 Yousuf sakit, dan baru sebulan setelahnya ia diperkenankan diperiksa oleh dokter anak. Perihal yang dialami Fateema ini sesungguhnya merupakan pelanggaran konvensi hukum internasional yang diratifikasi oleh Israel. Di artikel 12 pada Konvensi “Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan” yang diratifikasi Israel pada 3 Oktober 1981 menyatakan bahwa, “negara harus menjamin bahwa perempuan mendapatkan pelayanan yang layak berkaitan dengan kondisi kehamilan, kurungan dan periode paska melahirkan, memberikan pelayanan gratis yang dibutuhkan, ketercukupan nutrisi selama mengandung dan menyusui.”
  1. Kekerasan Verbal, Fisik hingga Seksual
    Tahanan perempuan Palestina selama di dalam mengalami berbagai macam kekerasan, dari verbal, fisik hingga seksual. Tak jarang kekerasan yang mereka terima sama seperti kekerasan yang diterima tahanan laki-laki Palestina. Berdasarkan laporan dari pengacara Addameer tahanan perempuan Palestina kerap mengalami kekerasan fisik dan seksual (baik fisik maupun verbal). Masing-masing individu mengalami penyiksaan yang beraneka ragam, namun tujuannya sama: untuk menelanjangi harkat martabat mereka sebagai manusia dan menurunkan semangat mereka. Dalam temuan Addameer, ada seorang tahanan perempuan Palestina yang dipaksa untuk telanjang di depan tentara laki-laki. Hal ini selain melanggar ketentuan hukum internasional dan menyisakan trauma dan pengalaman yang menyakitkan.
    Hal ini sering dialami oleh tahanan perempuan selama proses ‘strip search’, yakni proses untuk mencari benda-benda terlarang yang mungkin dibawa oleh tahanan. Dalam proses ini, seringkali tahanan dipaksa untuk melepaskan baju yang dipakainya, bahkan tak jarang juga pakaian dalam. Apabila mereka menolak, maka mereka akan dimasukkan ke dalam sel isolasi. Selama proses ini, seringkali tahanan perempuan Palestina mengalami kekerasan. Proses ini juga dilakukan sebagai bentuk hukuman.
    Kebijakan ‘stip search’ dilakukan sebagai bentuk hukuman dan untuk menurunkan harkat martabat para tahanan perempuan. Selama masa interogasi, mereka juga kerap menderita penyiksaan, kekurangan tidur, makanan dan air, tidak mendapatkan perawatan kesehatan dan berbagai hal lain yang ditujukan untuk meruntuhkan kondisi psikis mereka. Tidak hanya itu, seringkali mereka ditelanjangi dengan alasan untuk pemeriksaan, namun sebenarnya untuk menurunkan mental para tahanan perempuan Palestina. Kekerasan seksual juga terjadi melalui ancaman pemerkosaan dan penghinaan seksual. Hal ini merupakan upaya sistematis yang dilakukan oleh Israel untuk mengekspolitasi ketakutan tahanan perempuan Palestina. Akan tetapi karena sensitifnya isu ini, sehingga sulit untuk ditelusuri lebih jauh.
  2. Larangan Keluarga untuk Mengunjungi Tahanan Sebagai Hukuman Kolektif: Pengaruh Penahanan Perempuan Palestina terhadap Keluarga
    Penahanan yang dilakukan terhadap perempuan Palestina, tidak hanya mendatangkan trauma kepada tahanan itu sendiri, tetapi juga terhadap keluarga yang ditinggalkan. Seringkali penahanan dilakukan di depan mata anak-anak ataupun sanak keluarga mereka.
    “Kami tidak tahu kalau mereka akan membawa dia (ibu). Jika kami tahu, kami akan berbicara dengannya, menciumnya, dan menghabiskan waktu bersamanya, tetapi mereka membawa dia tiba-tiba…” (Muhammad, putra dari tahanan perempuan Palestina Qahira Saeed As Saadi). Ketika dipenjara, tahanan perempuan Palestina sulit untuk mendapatkan kunjungan dari keluarga. Pun jika diperbolehkan, antara tahanan dan keluarganya dibatasai dengan kaca tebal, sehingga jika ingin berbicara harus menggunakan telefon.

Sumber:
Annual Violations Report: Violation of Palestinian Prisoners’ Rights in Israeli (Prisons 2017), Addameer Prisoner’s Support and Human Rights Association, Ramalah, 2017.

For The Love of Palestine: Stories of Women, Imprisonment and Resistence, Diane Block dan Ann Henry (ed.), The Freedom Archieves, November, 2017.

Palestinian Women Political Prisoners: Systematical Forms of Political and Gender-Based State Violance, Op. CIt., 2010.

Sumber gambar: https://ppost24.com/post/286/israel-arrests-23-palestinians-in-west-bank-including-woman

Visits: 157