Penulis: Fitriyah Nur Fadilah (Direktur Riset dan Pusat Data InMind Institute)
Selebrasi Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina memang telah usai pada 29 November lalu. UN pun telah menyampaikan pesan solidaritasnya pada dunia, lewat pertemuan tahunan setiap 1 Desember. Tetapi seolah tak bergaung dan menggema, kekerasan terhadap penduduk Palestina masih berlangsung. Dilansir dari laman berita Al Jazeera pada 5 Desember lalu, tak lama setelah hari solidaritas ini, seorang anak terbunuh hanya karena mengikuti aksi damai menentang pemukiman illegal. Namun tak banyak pemberitaan di media global, atau bahkan sekedar kecaman. Akibatnya kisah Ali -nama sang anak- tidak akan menjadi kisah terakhir kalinya. Masih terbuka kemungkinan adanya Ali-ali yang lain. Akhirnya, tanpa adanya langkah nyata, “Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina” hanya akan sekedar menjadi ungkapan solidaritas. Perayaannyapun menjadi sekedar selebrasi basa-basi.
Dibalik 29 November
Dipilihnya tanggal 29 November sebagai Hari Solidaritas untuk Rakyat Palestina oleh UN karena hari tersebut merupakan hari terkelam bagi rakyat Palestina. Bagaimana tidak, di tanggal yang sama pada tahun 1947, UN mengeluarkan resolusi no. 181 yang membagi Palestina menjadi dua wilayah. Sebanyak 55 persen untuk negara Yahudi dan sisanya 45 persen untuk negara Arab atau Palestina, dengan Yerusalem sebagai wilayah corpus separatum dibawah kewenangan internasional. Populasi yahudi yang saat itu hanya berjumlah 7 persen, namun mendapatkan tanah yang lebih banyak dari bangsa Palestina. Meski secara populasi jumlah warga Palestina lebih banyak dan telah mendiami tanah tersebut selama ratusan tahun bahkan berbilang abad.
Hari tersebut menjadi hari terkelam, karena kita semua tahu bagaimana sejarah rakyat Palestina kesudahannya. Tanah yang ratusan tahun sebelumnya dihuni oleh nenek moyang mereka, namun atas nama resolusi, kini harus terbagi. Tidak hanya itu, resolusi ini juga tidak bisa dilepaskan dari terjadinya Hari Nakba (Disaster) pada 15 Mei 1948 di mana jutaan rakyat Palestina terusir dari negeri kelahirannya. Bagi mereka yang memilih berdiam di Palestinapun banyak yang menjadi korban jiwa serangan militer Israel. Seorang akademisi Palestina, Elias Sanbar, menggambarkan tahun 1948 sebagai tahun di mana negara dan rakyatnya hilang dari peta dan kamus sehingga rakyat Palestina kemudian menjadi ‘tiada’. Ini tentunya bertentangan dengan klaim zionis tentang Palestina sebagai “a land without people for people without land.” Lantas siapakah orang-orang terusir dengan datangnya Israel saat itu.
Bagi UN, urgensi adanya hari ini adalah sebagai pengingat bagi dunia tentang belum usainya permasalahan Palestina hingga saat ini. Hingga kini, jutaan rakyat Palestina masih ‘terlunta-lunta’ di berbagai penjuru dunia karena mengalami nasib sebagai ‘pengungsi’. Bagi mereka yang masih bertahan di dalam negeri juga tak kalah menderitanya. Rakyat Palestina yang menempati wilayah Gaza harus terpenjara di tanah sendiri akibat blokade yang ditetapkan Israel selama 15 tahun belakangan ini. Sedangkan bagi rakyat Tepi Barat, mereka seperti menjadi tamu di negaranya sendiri karena kerap mendapat intervensi. Apalagi mereka yang memilih tetap tinggal di wilayah yang saat ini diklaim sebagai Israel, harus menerima nasib sebagai second citizen jika masih tetap mau mendiami tanah di mana mereka dan nenek moyang mereka dilahirkan.
Mempertanyakan Urgensi Hari Solidaritas
Namun pertanyaan selanjutnya adalah apa urgensi peringatan hari ini, jika tak ada perlawanan yang berarti dari dunia terhadap okupasi yang terjadi. Apalah arti dari tahunan seremoni solidaritas, jika penderitaan Palestina tetap dibiarkan terjadi. Berjilid-jilid resolusi berjudul ‘perdamaian’ telah diterbitkan. Berpuluh-puluh tahun upaya perdamaian terlah diberlangsungkan. Mengapa kata damai tak kunjung datang? Ironisnya, Israel justru leluasa melakukan pelanggaran hukum internasional terhadap Palestina. Mengacu pada HRW (Human Right Watch), Israel hingga kini melakukan lima kategori utama pelanggaran terhadap Hukum Humaniter Internasional berupa pembunuhan yang melanggar hukum, penahanan yang kejam, blokade terhadap Gaza dan pendirian pemukiman yang diikuti denga kebijakan yang diskriminatif yang merugikan rakyat Palestina. Kini bahkan Netanyahu malah digadang-gadang sebagai calon penerima nobel perdamaian.
Momen Hari Solidaritas Internasional di tahun ini harus dijadikan sebagai sebuah momentum untuk menghasilkan sebuah solusi perdamaian yang mampu menjadi jawaban. Palestina menunggu aksi nyata dunia. Menurut pendapat penulis, ada beberapa hal yang harus dilakukan terlebih dahulu untuk tercapainya resolusi damai. Jika tanpa langkah-langkah ini, maka resolusi yang terbentuk hanya akan bernasib sama seperti berjilid-jilid resolusi di masa lampau.
Pertama, mendudukkan sejarah Palestina secara benar. Kita tahu bahwa sejarah okupasi Israel terhadap Palestina tidak dimulai dari tahun 1967, melainkan di tahun 1948. Okupasi dimulai di tahun yang sama ketika Israel mendekralasikan negaranya. Namun dunia, dalam hal ini melalui UN menutup mata dan mengambil garis sejarah penjajahan di tahun 1967.
Pengabaian terhadap fakta sejarah ini tentu akan menyebabkan perjanjian damai akan mandeg dan muncul persoalan baru. Semisal, bagaimana dengan nasib pengungsi di tahun 1948 yang terpaksa berpindah tempat karena ‘diusir paksa’. Bagaimana nasib ‘hak untuk kepulangan kembali’ yang dimiliki oleh pengungsi di masa ini dapat diimplementasikan, jika status mereka sebagai pengungsi di tahun 1948 diabaikan.
Kedua, menempatkan kedua pihak baik Palestina dan Israel dalam posisi yang seimbang, sama suara, sama kekuatan, dan ikut terlibat aktif dalam resolusi perdamaian. Jika menilik sejarah resolusi perdamaian Palestina – Israel yang selama ini telah dibentuk, Palestina seringkali mendapatkan posisi yang marjinal. Palestina tidak diberikan posisi yang sama dengan Israel. Perjanjian-perjanjian yang terbentuk hanya sekedar ‘konsesi lahan’ agar Israel mendapatkan tanah lebih banyak lagi. Dalam ‘Deal of Century’ yang digawangi AS, Palestina bahkan tidak diajak untuk merumuskan bersama, dan kemudian dipaksa untuk menerima isi perjanjian.
Ketiga, menindak tegas pelaku HAM atas kejahatan kemanusiaan di Palestina. Selama ini pelaku-pelaku pelanggar HAM atas kejahatan yang dilakukan di Palestina selalu dapat ‘berkeliaran bebas’ ketika hendak diseret ke mahkamah internasional. Berbagai resolusi UN juga kandas karena kekuatan ‘sakti’ hak veto yang dilakukan AS untuk menyelamatkan Israel dari upaya tuntutan pengadilan internasional atas kejahatan kemanusiaannya. Kondisi ini tentu tidak akan membawa perdamaian, sebab bagaimana kepercayaan rakyat Palestina akan terbangun jika para pelaku pembersihan etnis bangsanya masih berkeliaran bebas.
Keempat, terbuka pada seluruh opsi perdamaian. Israel bersama sekutunya kerap memaksakan bahwa opsi solusi dua negara bersifat final. Tidak ada allternatif terhadap opsi lain. Adapun opsi satu negara hanya diterima jika satu negara itu adalah Israel, bukan Palestina. Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh INN (Institute for National Security Studies) mengenai dukungan ide dua negara, baik masyarakat Palestina maupun Israel telah kehilangan kepercayaan satu sama lain tentang ide pendirian dua negara. Dukungan solusi ini dari tahun ke tahun menurun secara drastis. Keadaan ini harus membuat dunia dan publik lebih terbuka lagi terhadap ide solusi satu negara seperti yang pernah digagas oleh Edward Said di tahun 1999 atau oleh Nathan Brown pada 2018 lalu.
Pada masa yang lebih lampau, akademi kenamaan Yahudi Michel Buber menyatakan bahwa semangat yahudisme yang telah digantikan dengan dominasi melalui kekuasaan telah menyebabkan Zionisme kehilangan substansi spiritual sehingga konsekuensinya ia tidak memiliki hak sebagai representasi dari Yahudi. Pertanyaannya jika demikian, Zionisme Israel merepresentasikan siapa?
Dunia harus lebih serius dalam mewujudkan perdamaian bagi Palestina. Rakyat Palestina tidak butuh sekedar selebrasi basa-basi.
Views: 90