Lessons Learned From Turkey: Perspektif Sosial Politik, Budaya dan Global – Pelajaran dari Kebijakan Terkait Budaya di Turki: Akomodasi Islam dan Sekularisme di Turki

Hagia Sophia (SHUTTERSTOCK)

Muslim Sekuler Turki

Republik Turki merupakan negara yang memiliki karakteristik khas dan terkait erat dengan sejarah Turki pada era Ottoman hingga berdirinya Republik Turki modern. Model sekularisme yang berkembang di Turki pada era Erdoğan dapat ditarik hingga masa Süleyman Demirel. Meminjam istilah dari Ahmet Kuru, bentuk sekularisme yang terjadi di Turki saat ini adalah sekularisme pasif. Mereka mempraktekkan bentuk-bentuk kesalehan, tetapi cukup pada ranah pribadi. Pada ranah publik, mereka tidak mempraktekkan bentuk-bentuk kesalehan yang dipahami secara umum oleh masyarakat Indonesia. Misalnya, secara atribusi, istri mantan Presiden Turgut Özal, tokoh sentral transformasi ekonomi Islam di Turki dan politiknya berhaluan Islam, tidaklah menggunakan jilbab. Begitu juga dengan istri mantan Presiden Süleyman Demirel. Dalam pandangan ilmuwan sosial seperti Ihsan Yilmaz, apa yang saat ini sedang terjadi di Turki bukanlah Islamisme yang disebut secara umum. Namun, yang terjadi adalah muslim secularism, yaitu orang-orang muslim yang berpolitik secara sekuler. Hal ini seringkali disebut sebagai muslim exceptionalism atau Turkish exceptionalism. Namun, jika tidak ingin menyebut muslim secularism, sejatinya yang terjadi di Turki adalah para muslim demokrat, yaitu muslim yang mengikuti logika-logika demokrasi yang telah pasti.

Kebangkitan keislaman atau kebangkitan kesadaran Islami di Turki banyak didorong oleh gerakan sufi bernama Nakşibendi atau Naqsyabandiyah. Hakan Yavuz dalam bukunya bahkan menuliskan dua bab tersendiri mengenai pergerakan Islamisasi Turki hingga ke era Necmettin Erbakan yang seluruhnya berdasarkan dengan gerakan sufisme atau tasawuf. Ia membuktikan bahwa Adnan Menderes, Turgut Özal, hingga Süleyman Gündoğdu Demirel seluruhnya terkait dengan pergerakan Nakşibendi dan variasi-variasinya. Pada masa awal berdirinya Republik Turki, gerakan sufisme bersama dengan Nurcu yang dipatroni oleh Said Nursi pernah melakukan konfrontasi bersenjata dengan pasukan Mustafa Kemal. Namun, hasilnya adalah kekalahan di pihak gerakan sufisme. Hakan Yavuz menyebut faset tersebut sebagai confontration. Ia membagi periodesasi yang terjadi di Turki menjadi confontration, withdrawal, accommodation, dan integration. Pada masa withdrawal atau di sekitar tahun 30 hingga 50an, Muslim Turki bukan memisahkan diri dari masyarakat, tetapi nilai-nilai Islam yang tadinya diperjuangkan untuk menjadi nilai negara, kemudian diminiaturisasi ke dalam rumah-rumah dan ruang- ruang personal.

Pada tahap ketiga, perjuangan keislaman tersebut lebih bersifat state-oriented dan konstitusional. Perjuangan mereka pun cenderung lebih akomodatif dengan merangkul orang banyak bukan hanya kepentingan kelompoknya saja. Fase terakhir, yaitu integration. Pada tahapan ini pergerakan keislaman telah menyatu dalam masyarakat. AKP yang masuk ke parlemen telah memasuki fase keempat dalam empat fase Hakan Yavuz. AKP tidak dapat secara sederhana didefinisikan sebagai partai Islam atau sekuler pada tahapan integration ini. Namun, ia telah menjelma menjadi partai yang dapat merangkul seluruh kalangan baik sekularis, liberalis, islamis, dll. Berikut adalah berbagai capaian pengalaman AKP maupun Erdoğan di Turki yang mengubah sendi-sendi sosio kultural di Turki.

1.         Membuka Pintu Kebebasan Beragama di Ruang Publik

Berbagai kebijakan yang dibuat oleh Erdoğan, seorang yang seringkali dilabeli sebagai Islamis, dalam prakteknya justru seringkali beririsan dengan secular situation atau kondisi-kondisi sekuler yang membuatnya harus melakukan kompromi. Sementara itu, kebijakan-kebijakan rezim Turki yang berhaluan Kemalis, domiman dengan bentuk sekularisme asertif. Berbagai kebijakan terkait Islam yang dilakukan oleh Erdoğan banyak menjadi game changer bagi elektabilitas dirinya maupun partai AKP. Misalnya, pelarangan penggunaan hijab di kampus-kampus Turki. Pada rezim sebelumnya, ketika perempuan berjilbab hendak masuk kampus atau gedung-gedung pemerintahan, ia harus melepaskan hijabnya terlebih dahulu. Erdoğan yang lebih banyak menampilkan diri sebagai seorang sekularis pasif tampil secara lebih demokratik dengan menghapus pelarangan hijab. Ia membuka ruang bagi keyakinan agama yang berkembang. Memori traumatik akan kebebasan itu menjadi modal penting bagi Erdoğan untuk menarik simpati masyarakat Turki ketika ia membuka keran kebebasan beragama di ruang publik.

2.         Menaruh perhatian terhadap institusi keagamaan untuk melakukan kaderisasi

Institusi-institusi kegamaan di Turki diberikan kebebasan dan perhatian oleh Erdoğan untuk melakukan proses “Islamisasi” terhadap masyarakat Turki. Suara-suara kelompok ini menjadi basis bagi terus bertahannya Erdoğan di beberapa wilayah. Erdoğan turut membangun sekolah-sekolah Imam Hafizh di Turki. Di Indonesia, institusi-institusi tersebut sepadan dengan madrasah, baik Madrasah Aliyah ataupun Madrasah Tsanawiyah. Sekolah-sekolah tersebut dibangun atau dibuka Kembali oleh Erdoğan. Basis-basis madrasah ini menjadi salah satu cara bagi Erdoğan untuk tetap menarik dukungan dari konstituen Turki yang relijius.

3.         Membuka Ruang Kreasi Kultural-Historis bagi Imajinasi Konstituen

Hakan Yavuz dalam “Nostalgia for the Empire, The Politics of Neo-Ottomanism” menyebut bahwa salah satu keberhasilan yang dilakukan oleh Erdoğan adalah adanya ruang imajinasi yang ia tawarkan kepada siapapun. Erdoğan memberikan ruang imajinasi kepada pendukung nostalgia kejayaan Turki Ottoman. Ia juga membuka imajinasi kepada orang-orang yang menginginkan Turki menjadi superpower di Eropa. Begitu juga dengan orang-orang yang berimajinasi bahwa Turki akan mengayomi orang-orang miskin melalui usaha filantropi. Maka, yang sesungguhnya sedang dibangun oleh Erdoğan bukan selalu identik dengan Ottomanism atau neo-Ottomanism. Akan tetapi, hal itu hanya salah satu dari imajinasi yang Erdoğan buka bagi para konstituennya. AK Parti sebagai partai politik menyocokkan sedemikian rupa frekuensinya agar sama dengan para pemilihnya. Sejarah dan imajinasi akan Turki itu akan disesuaikan hingga seberapa jauh hal tersebut dapat menjadi lebih banyak diterima oleh konstituen Turki.

4.         Menanggalkan Baju Islam Ideologis

Republik Turki yang sekuler memiliki sejarah perjalanan gerakan Islam yang tidak terlalu baik. Sebelum AK Parti berkuasa, terdapat Partai Refah yang kental dengan jargon keislamannya. Namun, jargon-jargon tersebut diramu dalam bahasa-bahasa yang modern. Misalnya, mereka menawarkan konsep zero inflation dengan menawarkan emas atau perak sebagai mata uang. Hal tersebut sebenarnya berasal dari ekonomi Islam, tetapi diracik dengan term ekonomi Barat. Pada tahun 80an, Refah menuai sukses yang besar. Melalui jaringan Tarikat yang dibangunnya, mereka membangun basis ideologis yang kuat di berbagai daerah. Bahkan, mereka membangun sel kerja hingga ke tingkat keluruhan dan RT. Setiap anggota masyarakat yang memiliki kesulitan, mereka datangi dan tawarkan bantuan. Bahkan, mereka membuka berbagai pelatihan-pelatihan keterampilan bagi para migran dari desa di kota seperti menjahit, montir, dsb.

Hal itu menuai kesuksesan yang besar karena pada saat itu belum ada partai yang melakukan hal serupa Refah. Refah yang dipimpin oleh Ebarkan menjadi salah satu pionir yang membawa muslim di Turki dengan identitas kemusliman masuk ke dalam politik. Namun, yang menjadi masalah dari situasi politik saat itu adalah masih dominannya sekularisme dan Kemalisme. Pendukung utama Kemalisme banyak berada di militer, birokrat, dan hakim. Oleh karena itu, ketika Erbakan bersikukuh dengan menggunakan pendekatan yang “Islamis”, hal tersebut menjadi sinyal bagi militer, birokrat, dan para hakim untuk mengatakan ini sudah melenceng dari garis Kemal. Maka, dengan mudah saja, pada tahun Februari 1997 Erbakan dipaksa mundur. Peristiwa itu membuat tokoh-tokoh muda Refah, seperti Abdullah Gül dan Erdoğan, itu berpikir bahwa sebuah partai meskipun menang dalam Pemilu, tetapi tetap bertahan dengan jargon-jargon Islam atau kebijakan yang kental keislamannya, maka nasibnya tidak akan panjang.

Oleh karena itu, demi melakukan kompromi dengan sekularisme yang amat dominan dalam struktur negara di Turki, tokoh-tokoh muda tersebut bersiasat untuk terus berpolitik, tetapi menanggalkan simbol-simbol dan kampanye-kampanye yang bernada Islam. Kedekatan dengan Islam yang terlalu kental akan rentan terhadap masuknya militer dan ketidaksukaan dari kalangan sekularis yang pada waktu itu masih sangat kuat. Namun, dialog yang mereka lakukan dengan Erbakan menemui kegagalan sehingga mereka mendirikan AK Parti sebagai partai yang benar-benar menjadi “sekuler”. Erdoğan telah menanggalkan baju politik Islamnya dengan baju yang baru. AK Parti pun menjelma menjadi bukan partai Islam, tetapi sebagai partai bagi orang Muslim yang berpolitik. AK Parti berupaya melakukan moderasi garis ideologi dengan meninggalkan ideologi Islam dalam aktivitas politik mereka.

5.         Memulihkan Masyarakat Islam Tanpa Membawa Narasi Keislaman

Ketika pemimpin-pemimpin atau kepala daerah dari AK Parti membuat kebijakan yang terkait dengan Islam, mereka tidak membawa argumentasi Islam seperti ayat Alquran sebagai legitimasi kebijakannya. Namun, mereka menggunakan cara-cara yang seperti lazim dilakukan di Eropa. Misalnya, dalam pelarangan minuman beralkohol mereka menggunakan argumentasi lebih banyak keburukan yang ditimbulkan oleh alkohol dibandingkan dengan yang baiknya. Begitu pun dengan pencabutan larangan berjilbanb di universitas. Argumentasi yang digunakan adalah setiap warga Turki memiliki hak untuk bersekolah dan memakai jilbab atau berekspresi secara keagamaan. Akhirnya dalil tersebut pun menjadi sulit untuk dibantah.

Meskipun begitu, kita perlu sedikit mengecek kembali ketika Erdoğan sedang sangat terlihat dukungannya terhadap Islam, apakah ia sedang mengalami kesulitan atau tidak. Terkadang hal itu digunakan untuk membangun kembali dukungan dari orang-orang atau kalangan pendukungnya yang mulai melemah atau mulai ragu dari kalangan relijius. Misalnya, pembukaan Hagia Sofia menjadi masjid. Kita dapat berpikir lebih kritis mengapa Hagia Sofia baru dibuka menjadi masjid beberapa waktu lalu, bukan ketika Erdoğan pertama kali terpilih menjadi Perdana Menteri atau Presiden. Bagi orang-orang yang skeptis, mereka akan melihat bahwa “kartu” Hagia Sofia akan dikeluarkan pada saatnya dan tidak dikeluarkan kapan saja. Terdapat perhitungannya dan Erdoğan sangat pintar dengan hal itu.

Unduh dokumen pada tautan berikut

Views: 236