Kiprah Turki saat ini dalam hubungan internasional setidaknya merupakan kelanjutan dari proses dan dinamika yang terjadi sejak dua dekade terakhir ketika AKP memenangkan pemilu dan memerintah pada 2002. Pada periode awal AKP berkuasa (2002-2007), kebijakan Turki tetap pro-Barat seperti pada masa sebelumnya dan sangat berambisi untuk dapat bergabung dengan Uni Eropa.[1] Di masa itu juga, Ahmet Davutoglu, yang pada mulanya merupakan penasihat Erdogan dan di kemudian hari menjadi menteri luar negeri Turki, menggagas Strategic Depth (Stratejik Derinlik) sebagai pedoman bagi arah Hubungan Internasional Turki. Strategic Depth tersebut dirumuskan berdasarkan pada keunikan letak geografis dan sejarah yang dimiliki Turki. Doktrin tersebut juga mengimplikasikan perlunya Turki untuk memainkan peran utama di kawasan-kawasan sekitarnya.
Konsep utama yang dihasilkan dari Strategic Depth adalah “zero problems with neighbours”. Ini menunjukkan bahwa Turki ingin mempunyai hubungan yang baik dan juga meningkatkan kerja sama kepada negara-negara di sekelilingnya.[2] Imbasnya, jika pada masa sebelumnya hubungannya lebih dekat dengan Eropa dan negara-negara Barat, maka dengan adanya Strategic Depth, terutama Turki mulai terbuka terhadap kawasan Timur Tengah dan juga kawasan lain seperti Afrika dan Asia Pasifik.[3] Meningkatnya hubungan Turki dengan kawasan Timur Tengah ini lah menjadi ciri dari periode kedua AKP (2007-2011). Apalagi sejak Davutoglu menjadi menteri luar negeri pada tahun 2009. Turki tidak hanya terbuka kepada “state actor”, namun juga terhadap “non-state actor” seperti ketika membuka hubungan dengan Kurdistan Regional Government (KRG) Irak. Bahkan, KRG menjadi mitra yang penting dengan investasi yang digelontorkan dan hubungan kerja sama di sektor minyak.
Turki berjanji untuk berkontribusi pada keamanan, stabilitas, dan kesejahteraan kawasan di sekililingnya seperti apa yang dikatakan Davutoglu. Turki juga berperan menjadi mediator dan fasilitator untuk menyelesaikan permasalahan di kawasan tersebut.[4] Kebijakan Turki yang lebih “percaya diri” dalam memainkan peran dan pengaruhnya terutama di kawasan bekas wilayah Daulat Usmaniyyah –seperti sebagian Timur Tengah, Balkan, dan Kaukasia- menjadikan beberapa peneliti menyebutnya sebagai neo-Ottomanism. Turki bisa dibilang sukses dalam memainkan peran dan pengaruh tersebut karena terbantu dengan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonominya yang pesat.[5]
Jika pada periode kedua pemerintahan AKP Turki meningkatkan hubungan dengan Timur Tengah, maka pada periode ketiga yang ditandai dengan masa selepas Arab Spring, hubungan tersebut menjadi turun drastis. Turki juga menjaga jarak dengan negara-negara Barat, namun hubungannya dengan negara-negara Eropa Timur malah semakin menguat.[6] Dengan turunnya hubungan Turki dengan beberapa negara di Timur Tengah, doktrin “zero problems with neighbours” seakan-akan hilang memudar kemudian. Apalagi, ditambah dengan perseteruan antara Erdogan dan Davutoglu.
Pada 2014 Erdogan menjadi presiden dan Davutoglu sebagai perdana menterinya. Setelah 7 bulan semenjak pemilihan umum November 2015 yang memenangkan AKP dan menjadikan Davtoglu sebagai perdana menteri, pada 5 Mei 2016 ia mengundurkan diri dari jabatan itu. Oleh banyak kalangan, Davutoglu diduga tak hanya sekedar mundur, namun dipaksa meletakkan jabatannya oleh Erdogan setelah ada konflik antara keduanya. Perdana menteri mempunyai wewenang yang lebih luas dalam eksekutif di sistem parlementer. Erdogan melihat Davutoglu sebagai ancaman terhadap kepemimpinannya di Turki.[7] Semenjak 2016 itulah, beberapa perubahan terjadi pada karakteristik foreign policy Turki.
Blendi Lami setidaknya melihat beberapa kecenderungan yang berubah semenjak hengkangnya Davutoglu kemudian Erdogan menjadi pemegang kendali penuh atas kebijakan luar negeri Turki : dari soft power menjadi hard power, dari “zero problems with neighbours” menjadi kebijakan untuk memperoleh sekutu kembali, dari aktif dalam globalisasi melalui multilateralisme menjadi aliansi keamanan strategis, dan dari civilisationalist realism of Strategic Depth menjadi proactive moral realism.[8] Dengan tidak berlakunya lagi “zero problems with neighbours”, Turki menghadapi serentetan masalah dengan negara-negara di sekelilingnya.
Dengan Suriah tetangga terdekatnya, Turki sempat mempunyai konflik dengan Suriah hingga perjanjian Adana tahun 1998 mengakhiri perseteruan tersebut. Lalu hubungan yang pulih dan semakin membaik itu dilanjutkan pada masa AKP. Erdogan bahkan sempat mempunyai hubungan yang mesra dengan Bashar Assad sebelum akhirnya Arab Spring muncul dan Turki mendukung pihak oposisi. Kedua negara menjadi saling memusuhi kembali, bahkan kali ini diperparah dengan perang yang melibatkan kedua pihak itu. Imbasnya, hubungan Turki dengan Iran -yang sepenuhnya menyokong Assad- juga ikut terganggu. Ketegangan juga sempat terjadi dalam hubungan antara Turki dengan Arab Saudi lebih-lebih ketika kasus Kashoggi terjadi. Beberapa faktor seperti persaingan kekuatan di kawasan, kedekatan Turki dengan Qatar (dan juga Iran), sejarah perlawanan Arab Saudi terhadap Ottoman, dan Ikhwanul Muslimin membuat hubungan mereka bisa dibilang tak begitu akur.
Turki juga mempunyai hubungan yang tak begitu baik dengan Amerika Serikat dibanding pada masa-masa sebelumnya. Amerika Serikat dan Turki memang menjadi “aktor utama” di dalam koalisi dan saling bekerja sama untuk melawan rezim Assad setelah Arab Spring muncul. Namun ketika Amerika Serikat akhirnya ikut membantu SDF dalam memerangi ISIS, Turki menggelar protes terhadap keputusan tersebut namun tak digubris. Turki dan AS kemudian juga bersitegang ketika negara yang dipimpin Erdogan tersebut memilih untuk membeli S-400 dari Rusia. Tindakan tersebut ditentang AS dan negara-negara NATO lainnya. Amerika lantas membalas dengan menghentikan kerja sama “F-35 joint strike program”.[9]
Satu hal lain yang menjadikan hubungan Turki dan Amerika Serikat menjadi tegang adalah upaya pengakuan Amerika atas pembunuhan massal etnik Armenia di masa lampau sebagai genosida. Terhadap (Republik) Armenia sendiri, pada awal-awal kebijakan zero problems, Turki melakukan upaya persesuaian (raaprochement) dengan negara tersebut, selain meningkatkan hubungan dengan “seteru tradisional” lainnya, Yunani.[10] Namun dengan perubahan kebijakan luar negeri Turki, seiring juga adanya hubungan sangat erat dengan Azerbaijan yang notabene adalah “musuh abadi” Armenia, maka hubungan antara keduanya (Turki dan Armenia) berada dalam titik nadir. Apalagi Turki secara terang-terangan ikut mendukung dan membantu Azerbaijan dalam perebutan kembali wilayah Nagorno Karabakh. Dengan Yunani, hubungan kembali memanas terutama akibat saling rebut klaim atas wilayah di Laut Mediterania dan alih fungsi Hagia Sophia menjadi masjid kembali.
Selain Azerbaijan, Rusia menjadi salah satu negara yang mempunyai hubungan erat dengan Turki saat ini meskipun terkadang terdapat dinamika relasi antara keduanya. Seperti Iran, Rusia ikut menjadi “penjamin” bagi Suriah. Tentara Rusia membantu melawan pasukan pemberontak termasuk juga yang didukung Turki. Setelah SU24 Rusia ditembak oleh F-16 milik Turki pada 30 November 2015, hubungan antar keduanya sempat memburuk melalui serangkaian sanksi ekonomi yang diberikan Rusia serta beberapa larangan lainnya. Namun saling ketergantungan antara kedua negara tersebut membuat Erdogan dan Putin akhirnya sepakat untuk menormalisasi dan kemudian memiliki hubungan yang relatif baik. Lebih-lebih, Turki sangat bergantung dengan impor gas alam dari Rusia. Namun di masa mendatang, hubungan keduanya akan kembali diuji dengan persoalan-persoalan lain seperti peningkatan hubungan dan kerja sama militer antara Turki dengan Ukraina.
Turki juga menghadapi konflik dengan Mesir, Yunani, Siprus, dan Israel dalam eksplorasi energy di Laut Mediterania Timur.[11] Beberapa ketegangan dan persoalan yang dihadapi Turki tentu sangat bertolak belakang dengan konsep “zero problems”. Namun kebijakan Stategic Depth Turki dari “pengisolasian diri” menjadi terbuka dan lebih berperan aktif di kawasan-kawasan sekelilingnya masih dipertahankan dan menjadi ciri khas kepemimpinan Erdogan saat ini.
Unduh dokumen pada tautan berikut
[1] H. Tarik Oguzlu, “Turkish Foreign Policy in a Changing World Order”, All Azimuth, Vol. 9, No. 1, 2020, hal. 132
[2] Pinar Gozen Ercan, Turkish Foreign Policy: International Relations, Legality, and Global Reach, (Palgrave Macmillan, 2017), hal. 157.
[3] Eda Kusku-Sonmez, “Dynamics of Change in Turkish Foreign Policy: Evidence from High-Level Meetings of the AKP Goverment”, Turkish Studies, Vol. 20, No. 3, 2019, hal. 385.
[4] Aras Bulent, “Davutoglu Era in Turkish Foreign Policy”, SETA Policy Brief, No. 32, Mei 2009, 5.
[5] Gokturk Tuysuzoglu, “Strategic Depth: a Neo-Ottomanism Interpretation of Turkish Eurasianism”, Mediterranian Quarterly, Vol. 25, No. 2, 2014, hal. 85.
[6] Eda Kusku-Sonmez, “Dynamics of Change in Turkish Foreign Policy”, hal. 379.
[7] Jared Malsin, “Why Turkey’s Prime Minister Had No Choice But to Resign”, artikel, Time, 5 Mei 2016. dapat dilihat di https://time.com/4320036/turkey-prime-minister-ahmet-davutoglu-resign/
[8] Blendi Lami, “Recalibration of Turkish Foreign Policy During AKP Era”, Central European Journal of International and Security Studies, Vol. 12, No. 3, 2018, hal. 35.
[9], Congressional Research Service, “Turkey: Background and US Relations”, CRS Report, 9 November 2020, Hal. 27.
[10] Binnur Ozkececi-Taner, Disintegration of the “Strategic Depth” Doctrine and Turkey’s Troubles in the Middle East, Springer, Vol. 11, 2017, hal. 204.
[11] Congressional Research Service, “Turkey: Background and US Relations”, CRS Report, 9 November 2020, Hal. 18.
Views: 454