Manfaat Desentralisasi bagi Daerah Menurut Meenakshisundaram

Direktur Riset dan Pusat Data InMind Institute Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P. merangkum beberapa manfaat desentralisasi menurut S.S. Meenakshisundaram dalam buku yang disunting oleh S.N. Jha dan P.C. Mathur yang berjudul Decentralization and Local Politics: Readings in Indian Government and Politics 2

Secara bahasa, desentralisasi berasal dari bahasa Latin yang memiliki makna ‘jauh dari pusat’. Bagi sejumlah kalangan, desentralisasi memiliki pengertian sebagai ‘transfer otoritas legislatif, pengadilan, atau administratif dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah.’ Jika merujuk pada Rondinelli, desentralisasi memiliki empat kategori, yakni:

1. Dekonsentrasi, memberikan beberapa otoritas administratif atau tanggung jawab kepada tingkat yang lebih rendah di bawah kementerian atau lembaga pemerintah pusat.

2. Delegasi, mentransfer tanggung jawab untuk fungsi-fungsi yang spesial kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi pusat dan dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat.

3. Devolusi, penyerahan fungsi dan otoritas dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah.

4. Privatisasi, menyerahkan seluruh tanggung jawab untuk fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi non pemerintah ataupun perusahaan swasta yang independen terhadap pemerintah.

Adapun di dalam tulisan ini istilah desentralisasi yang dipakai oleh penulis (S.S. Meenakshisundaram) merujuk pada devolusi terhadap kekuasaan yang dihasilkan dari adanya pemisahan badan (pemerintah daerah) yang diatur oleh pemerintah pusat di mana perwakilan daerah diberikan kekuasaan formal untuk menentukan permasalahan publik. Meskipun otoritasnya terbatas, hak pemerintah daerah untuk memerintah tersebut diatur dalam hukum dan hanya bisa digantikan melalui UU yang baru. 

Desentralisasi merupakan suatu proses pembagian kekuasaan, terlebih dalam hal otoritas pembuatan keputusan, di mana hal ini adalah serangkaian proses dari sentralisasi menuju otonomi penuh. Desentralisasi menjadi penting karena menurut Meenakshisundaram, hal ini dapat menyatukan masyarakat yang pluralistik. Adanya pembagian dalam pembuatan kebijakan memperkuat ikatan di antara komunitas etnis yang berbeda yang berada di dalam sebuah negara. Adapun desentralisasi yang demokratis memiliki dua kebaikan, yakni hal tersebut sesuai dengan demokrasi dan secara teknis merupakan metode yang paling efisien untuk pemerintahan daerah.

Pemerintahan Daerah

Menurut Meenakshisundaram ada peran lain yang dijalankan oleh pemerintahan daerah selain sebagai instrumen dari desentralisasi. Pertama, pemerintah daerah dapat mengumpulkan dan menjabarkan kepentingan lokal secara efektif. Kedua, pemerintah daerah dapat melayani masyarakat lebih efisien dibandingkan pemerintahan pusat. Ketiga, perencanaan yang dilakukan untuk bidang ekonomi, sosial, dan sumber daya manusia dapat lebih baik dari pemerintah pusat karena adanya pengetahuan mengenai daerah yang lebih baik. Keempat, menjamin akuntabilitas yang lebih baik karena kedekatannya dengan masyarakat. Kelima, pemerintah daerah dapat menjadi penghubung yang efektif dalam menjalin komunikasi antara pemerintah pusat dengan masyarakat. 

Meenakshisundaram juga memperbandingkan desentralisasi yang dilakukan oleh tiga negara, yakni Nigeria, India, dan China. Dari perbandingannya tersebut Meenakshisundaram mengambil kesimpulan bahwa kecepatan pemerintah daerah dalam beroperasi bergantung kepada perkembangan budaya politik, apakah sebagai hasil tekanan dari penentu kebijakan ataukah berasal dari ketidakmampuan pemerintah pusat untuk mengakomodasi kepentingan dan aspirasi masyarakat di daerah. Karena fungsi dari desentralisasi tidak hanya untuk mengembangkan daerah melainkan pula untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat lokal. Meenakshisundaram juga melihat bahwa sentralisasi hanya akan memperbesar terjadinya disintegrasi dan sebaliknya desentralisasi berfungsi efektif untuk memperkuat integrasi nasional. Akan tetapi dalam pelaksanaannya desentralisasi juga perlu dijaga untuk menjamin agar sistem ini tidak berubah menjadi sentralisasi di tingkat daerah.

Tulisan Meenakshisundaram ini memberikan perspektif yang berbeda dibandingkan tulisan lain mengenai desentralisasi. Meenakshisundaram melakukan komparasi mengenai pelaksanaan kebijakan desentralisasi di tiga negara. Dalam kesimpulan akhirnya Meenakshisundaram melihat bahwa keberhasilan pelaksanaan desentralisasi bergantung kepada budaya politik di sebuah negara. Namun sayangnya di dalam tulisanya Meenakshisundaram tidak membahas mengenai kekurangan dari desentralisasi. Meenakshisundaram seolah mengabaikan fakta-fakta di lapangan mengenai sisi lain dari desentralisasi. Dalam pengalaman di banyak negara berkembang, kebijakan desentralisasi tidak mampu menyejahterakan masyarakat sekitar. Yang terjadi malah meningkatnya jumlah korupsi yang dilakukan oleh sejumlah elit lokal.

Keadaan serupa menimpa Indonesia di masa kini. Desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia setelah Reformasi tidak mampu meningkatkan kesejahteraan di tingkat lokal secara signifikan. Integrasi nasional yang diargumentasikan oleh Meenakshisundaram dengan adanya desentralisasi justru tidak terbukti. Pasca otonomi daerah, konflik antar etnis terkadang masih muncul akibat perebutan kekuasaan antar satu suku dengan suku lainnya di daerah. Menurut data dari Kementerian Dalam Negeri, akibat pilkada yang berlangsung hingga Agustus 2013, terhitung 75 jiwa meninggal dan 256 orang luka-luka serta terdapat perusakan fasilitas umum di 156 lokasi dan perusakan kantor pemerintahan di 56 lokasi (Djohermansyah Djohan, Mengapa Kembali ke Pilkada Tidak Langsung – artikel tidak diterbitkan).

Tidak hanya konflik antar etnis yang meningkat, tingak korupsi pun ikut meningkat. Terhitung sebanyak 309 kepala daerah dari 524 kepala daerah yang ada harus berurusan dengan aparat penegak hukum terkait dengan kasus korupsi dan pidana lainnya. Pilkada sebagai salah satu kebijakan desentralisasi juga mengakibatkan tidak berjalannya pemerintahan secara efektif. Ini karena kepala daerah yang terpilih sibuk untuk mengembalikan ‘modal’ yang ia keluarkan dalam pemilihan kepala daerah (Djohermansyah Djohan, Mengapa Kembali ke Pilkada Tidak Langsung – artikel tidak diterbitkan).

Maka jika merujuk kepada buku Brian C. Smith yang berjudul Decentralization: The Territorial Dimension of The State, kebijakan desentralisasi perlu mendapat evaluasi. Sebab di banyak negara, Indonesia khususnya, kebijakan ini tidak mampu mewujudkan goal utama dari penerapan kebijakan ini yakni meningkatnya kesejahteraan masyarakat di daerah. Smith juga melihat bahwa bahwa sentralisasi dapat lebih diterima masyarakat jika ia mampu mendatangkan kesejahteraan.

Pemerintah pusat perlu terus mengevaluasi kebijakan otonomi daerah yang dilakukan. Akan tetapi ini tidak berarti harus mengembalikan Indonesia kepada kebijakan sentralisasi ketika masa Orde Baru, melainkan mengubah kebijakan-kebijakan yang ada agar disesuaikan dengan budaya politik yang dimiliki oleh daerah di Indonesia. Sebagaimana argumentasi dari Meenakshisundaram yang menyatakan bahwa budaya politik memiliki pengaruh terhadap keberhasilan desentralisasi. 

sumber gambar: https://www.lenterajabar.com/2018/09/kabag-pemerintahan-setad-jabar.html?m=1

Views: 4070