Moskow, Washington, dan Akhir Kepemimpinan Bashar al-Assad

Penulis: Hardianto Widyo Priohutomo, S.I.P., M.I.P. (Direktur Kajian dan Pelatihan InMind Institute)

Pelarian Presiden Suriah Bashar al-Assad dari Damaskus pada 8 Desember 2024, menandai sebuah babak baru dalam sejarah politik Timur Tengah yang telah lama dilanda konflik. Kejadian ini bukan hanya merupakan titik akhir dari kekuasaan Assad yang telah berlangsung selama lebih dari dua dekade, tetapi juga menciptakan gelombang perubahan yang akan mempengaruhi stabilitas politik di kawasan tersebut. Dalam konteks yang lebih luas, pelarian Assad mencerminkan dinamika kompleks yang melibatkan berbagai aktor regional dan internasional, serta dampaknya terhadap peta politik Timur Tengah.Sejak dimulainya konflik Suriah pada tahun 2011, negara ini telah menjadi pusat perhatian dunia, dengan berbagai kekuatan asing terlibat dalam upaya untuk mempengaruhi hasil akhir dari perang saudara yang brutal ini.

Dalam perjalanan konflik, Assad, yang didukung oleh sekutu-sekutu kuat seperti Rusia dan Iran, berhasil mempertahankan kekuasaannya meskipun menghadapi tantangan besar dari kelompok oposisi. Namun, dengan serangan kilat oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang berhasil merebut Damaskus, situasi mulai berubah dengan cepat.Pelarian Assad ke Moskow tidak hanya menandakan keruntuhan rezimnya tetapi juga membuka peluang bagi kelompok-kelompok oposisi untuk mengambil alih kekuasaan dan memulai proses transisi politik di Suriah. Hal ini membawa implikasi penting bagi peta politik Timur Tengah, di mana kekuatan-kekuatan regional seperti Turki dan Iran berusaha untuk mengisi kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh Assad. Selain itu, peran Rusia sebagai pendukung utama rezim Assad selama ini juga harus dipertimbangkan dalam konteks baru ini. Dengan pelarian Assad, Rusia kini harus menavigasi hubungan baru dengan kelompok-kelompok oposisi dan mempertahankan kepentingan strategisnya di wilayah tersebut. Tulisan ini mencoba mengeksplorasi lebih dalam tentang peristiwa pelarian Bashar al-Assad dan dampaknya terhadap politik domestik Suriah serta peta politik Timur Tengah serta menganalisis peran Rusia dalam situasi ini dan bagaimana Moskow berusaha untuk mempertahankan pengaruhnya di kawasan meskipun menghadapi tantangan baru.

Sejarah Awal Konflik

Konflik Suriah dimulai pada tahun 2011 sebagai bagian dari gelombang Arab Spring, ketika rakyat Suriah menuntut reformasi politik dan kebebasan dari pemerintahan otoriter Assad. Sejak saat itu, konflik ini berkembang menjadi perang saudara yang melibatkan berbagai kelompok bersenjata, termasuk pasukan pemerintah, kelompok oposisi, dan milisi asing. Rusia dan Iran menjadi pendukung utama rezim Assad, memberikan dukungan militer dan logistik yang signifikan.

Selama bertahun-tahun, meskipun Assad berhasil mempertahankan kekuasaannya di sebagian besar wilayah Suriah dengan bantuan sekutunya, ketidakpuasan masyarakat terus meningkat. Ekonomi yang hancur akibat perang, pengungsi yang terus bertambah, dan pelanggaran hak asasi manusia menjadi isu utama yang terus memicu kemarahan rakyat.

Puncak ketidakpuasan ini terjadi pada Maret 2011 ketika sekelompok remaja di kota Daraa ditangkap dan disiksa karena menulis grafiti anti-pemerintah. Insiden ini memicu protes besar-besaran di seluruh negeri, dengan demonstran menuntut pembebasan tahanan politik, penghapusan undang-undang darurat, dan reformasi demokrasi. Namun, alih-alih merespons tuntutan rakyat dengan dialog, pemerintah Assad memilih untuk menggunakan kekuatan militer untuk menekan protes. Tindakan represif ini menyebabkan ribuan kematian dan penangkapan massal, memperburuk situasi dan mendorong lebih banyak orang untuk bergabung dalam gerakan oposisi.

Seiring berjalannya waktu, konflik ini berkembang menjadi perang saudara yang melibatkan berbagai kelompok bersenjata. Tentara Pembebasan Suriah (FSA), yang dibentuk oleh para oposisi dari angkatan bersenjata Assad, menjadi salah satu kekuatan utama dalam perjuangan melawan rezim. Namun, seiring dengan munculnya kelompok-kelompok ekstremis seperti ISIS dan Jabhat al-Nusra (sekarang bagian dari HTS), dinamika konflik semakin rumit. Banyak faksi oposisi yang awalnya berjuang untuk reformasi demokratis kini terpecah menjadi kelompok-kelompok dengan ideologi yang berbeda, membuat upaya untuk mencapai kesepakatan politik semakin sulit.

Intervensi internasional, utamanya Rusia dan Amerika Serikat, juga memainkan peran penting dalam memperburuk konflik. Rusia dan Iran memberikan dukungan militer dan logistik kepada Assad, sementara negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan negara-negara Teluk mendukung kelompok-kelompok oposisi. Intervensi ini mendorong ekskalasi konflik dan menjadikan Suriah sebagai arena pertarungan bagi kepentingan geopolitik kedua kubu.

Krisis kemanusiaan akibat konflik Suriah sangat parah. Menurut data PBB, lebih dari 500.000 orang tewas akibat perang ini, sementara jutaan lainnya terpaksa mengungsi baik di dalam maupun luar negeri. Kota-kota besar seperti Aleppo dan Homs hancur total akibat pertempuran yang berkepanjangan, meninggalkan infrastruktur yang rusak parah dan peningkatan jumlah pengungsi yang mencari perlindungan di negara-negara tetangga.

Pelarian Assad

Pelarian Bashar al-Assad ke Moskow terjadi pada saat yang kritis. Pada 8 Desember 2024, pasukan oposisi HTS melancarkan serangan kilat ke Damaskus setelah berhasil merebut beberapa kota strategis lainnya. Dalam situasi yang semakin tidak menguntungkan, Assad memilih untuk meninggalkan negara tersebut dengan pesawat menuju Rusia. Menurut laporan resmi Kremlin, Rusia memberikan suaka kepada Assad atas dasar kemanusiaan.

Keputusan untuk melarikan diri menunjukkan betapa rapuhnya posisi Assad saat itu. Selama bertahun-tahun, ia telah mengandalkan kekuatan militer untuk mempertahankan kekuasaan, tetapi dengan meningkatnya serangan dari kelompok oposisi dan kehilangan dukungan dari beberapa sekutu, situasi menjadi semakin sulit bagi rezimnya.

Pelarian Assad juga memiliki implikasi luas bagi peta politik Timur Tengah secara keseluruhan. Negara-negara tetangga seperti Turki dan Iran akan berusaha untuk mengisi kekosongan kekuasaan di Suriah sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Selain itu, peran Rusia sebagai pendukung utama rezim Assad akan menjadi semakin kompleks dalam menghadapi realitas baru setelah pelarian tersebut.

Respon Rusia dan AS atas Pelarian Assad

Pelarian Presiden Bashar al-Assad dari Damaskus pada 8 Desember 2024, setelah serangan kilat oleh kelompok oposisi Hayat Tahrir al-Sham (HTS), menandai akhir dari rezim yang telah berkuasa selama lebih dari dua dekade dan menjadi titik balik dalam konflik Suriah yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade. Kejadian ini tidak hanya berdampak pada situasi politik di Suriah tetapi juga memiliki implikasi yang luas bagi peta politik Timur Tengah, terutama terkait dengan kepentingan Rusia dan Amerika Serikat.

Dengan jatuhnya rezim Assad, Suriah menghadapi kekosongan kekuasaan. Hal ini menciptakan peluang bagi kelompok-kelompok oposisi untuk mengambil alih kendali dan memulai proses transisi politik. Namun, tanpa kepemimpinan yang terlegitimasi dan proses transisi yang terencana, negara ini berisiko terjebak dalam ketidakstabilan lebih lanjut. Oposisi yang dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS) kini berada dalam posisi untuk mempengaruhi arah politik Suriah ke depan. Sikap HTS yang segera memastikan keamanan fasilitas Rusia disana jelas membuka ruang bagi Internasional untuk menjalin relasi dan hubungan diplomatik.

Kedua, pergeseran kekuasaan ini dapat memicu perubahan dinamika geopolitik di kawasan. Rusia sebagai pendukung utama Assad kini harus beradaptasi dengan realitas baru dan mencari cara untuk bernegosiasi dengan kelompok-kelompok oposisi yang kini berkuasa di Damaskus. Hal ini juga dapat mempengaruhi hubungan Rusia dengan Iran, yang selama ini merupakan sekutu dekat Assad. Sikap Putin yang memberikan ruang suaka bagi Assad perlu dicermati dan berpotensi menghadapi resistensi dengan HTS yang menguasai Suriah secara penuh.

Ketiga, pelarian Assad mungkin mendorong munculnya gerakan-gerakan pro-demokrasi baru di Suriah. Rakyat Suriah yang selama ini tertekan mungkin merasa terinspirasi oleh perubahan ini untuk menuntut hak-hak mereka dan terlibat dalam proses politik yang lebih inklusif. Dalam hal ini, kekuatan Regional dimana Turki mendominasi, akan menjadi sebuah kesempatan emas untuk memberikan warna demokrasi Turki di Suriah. Perhitungan Turki dengan mampu menjalin kekuatan dengan Suriah dapat meningkatkan daya tawar Turki di Internasional dan NATO.

Keempat, pasca transisi kekuasaan dari Biden ke Trump membuat Amerika menghadapi tantangan baru. Salah satu tujuan utama AS adalah mengurangi pengaruh Iran di Suriah dan kawasan Timur Tengah sepenuhnya. Dengan jatuhnya rezim Assad, AS berharap dapat mengurangi kemampuan Teheran untuk mendukung kelompok-kelompok proksi seperti Hizbullah dan memperluas pengaruhnya di wilayah tersebut. Disisi lain, Trump tidak ingin konfrontasi dengan Moskow sehingga kemungkinan besar Trump akan mendukung Ankara untuk membuka ruang transisi demokrasi di Suriah dengan tetap menjaga relasi dengan Moskow.

Potensi Reaksi Internasional

Kemenangan HTS atas Rezim Assad membuat negara-negara Barat cenderung bersikap menyambut baik kepergian Assad sebagai langkah positif menuju penyelesaian konflik di Suriah. Mereka melihat ini sebagai kesempatan untuk mendorong proses rekonsiliasi nasional dan membantu rakyat Suriah membangun kembali negara mereka setelah bertahun-tahun perang.

Disisi lain, kekhawatiran bahwa kekosongan kekuasaan dapat menyebabkan ketidakstabilan lebih lanjut di kawasan. Penulis melihat potensi ancaman bahwa tanpa adanya kepemimpinan yang jelas dan transisi politik yang terencana, Suriah bisa terjebak dalam kekacauan lebih lanjut seperti halnya Libya. Sementara itu, Rusia berusaha untuk menjaga posisinya sebagai pemain kunci dalam penyelesaian krisis Suriah. Dengan memberikan suaka kepada Assad, Rusia menunjukkan komitmennya untuk tetap terlibat dalam proses politik di Suriah meskipun rezim lamanya telah runtuh.

Referensi:

BBC Indonesia. 2024. Pemberontak HTS kuasai Damaskus, rumah Assad dijarah warga – Apa yang terjadi di Suriah?. Diakses melalui https://www.bbc.com/indonesia/articles/cx2vv9rp3dlo

BBC Indonesia. 2024. Assad Kabur ke Moskow, Apa yang Terjadi di Suriah?. Diakses melalui https://news.detik.com/bbc-world/d-7677505/assad-kabur-ke-moskow-apa-yang-terjadi-di-suriah

CNBC Indonesia. 2024. Terungkap ke Mana Presiden Suriah Bashar Al-Assad Kabur, Ini Lokasinya. Diakses melalui https://www.cnbcindonesia.com/news/20241209062755-4-594311/terungkap-ke-mana-presiden-suriah-bashar-al-assad-kabur-ini-lokasinya

Sadat, Anwar dan Natalia Longdong. 2024. Melarikan Diri dari Suriah, Presiden al-Assad dan Keluarganya Kabur ke Rusia. Diakses melalui https://www.viva.co.id/berita/dunia/1779392-melarikan-diri-dari-suriah-presiden-al-assad-dan-keluarganya-kabur-ke-rusia

Sorongan, Tommy Patrio. 2024. Update Rezim Suriah Jatuh: Assad Kabur ke Rusia hingga Reaksi Dunia. Diakses melalui https://www.cnbcindonesia.com/news/20241209074116-4-594321/update-rezim-suriah-jatuh-assad-kabur-ke-rusia-hingga-reaksi-dunia

TEMPO. 2024. Profil Bashar al-Assad Pemimpin Suriah yang Kabur dari Damaskus. Diakses melalui https://www.tempo.co/foto/arsip/profil-bashar-al-assad-pemimpin-suriah-yang-kabur-dari-damaskus-1178921

Views: 45