Penulis: Muchammad Chasif Ascha, S.Sos., M.Si. (Peneliti InMind Institute & Dosen UPN Veteran Jawa Timur)
Sudah sebulan lebih Rezim Bashar Assad telah tumbang di Suriah. Transisi pergantian kekuasaan tergolong mulus, tidak melalui peperangan yang panjang dan banyak memakan korban. Hay’at Tahrir Syam (HTS) sebagai kelompok utama pasukan pemberontak mampu menguasai satu persatu kekuasaan Assad di Aleppo, Hama, dan kemudian menaklukkan Damaskus dalam hitungan hari saja. Bendera merah putih hitam berbintang dua segera digantikan bendera hijau putih hitam berbintang tiga. Gegap gempita pun segera merebak tidak hanya di Suriah saja, namun juga di seluruh dunia, terutama bagi yang mendukung perlawanan terhadap Assad sejak dimulainya perang saudara di negara itu.
HTS segera membentuk pemerintahan transisi yang dikomandoi oleh Ahmad al-Syara’ sebagai pemimpin de facto dan Mohammad Al-Bashir sebagai perdana menteri. Segera perwakilan dari berbagai negara datang dan membuka komunikasinya dengan Suriah di era barunya. Namun bukan berarti Suriah kini telah tenang dan damai. Di sebelah utara, suku Kurdi masih harus berjibaku dalam mempertahankan wilayahnya dari serangan yang dilakukan oleh SNA (Syria National Army) dan pasukan bekingan Turki lainnya.
Di masa Bashar Assad, Suku Kurdi mendapat diskriminasi, seperti tak dianggap sebagai warga negara dan perlakuan tidak mengenakkan lainnya. Setelah pecah perang saudara tahun 2011, kelompok Kurdi yang tergabung dalam People’s Defense Units (YPG) berhasil menguasai wilayah utara Suriah yang dikenal sebagai Rojava. Pada 2015, YPG sebagai komponen utama dan kelompok-kelompok bersenjata kecil lainnya membentuk unit milter yang disebut Syrian Democratic Forces (SDF). Pembentukan SDF itu difasilitasi oleh Amerika Serikat (AS) terutamanya untuk melawan ISIS.
Sementara itu, Turki menganggap SDF (yang didominasi YPG) sebagai cabang dari PKK, kelompok militan Kurdi yang dianggap teroris di negeri itu. Oleh karenanya, Erdogan berusaha sekuat mungkin agar SDF dilemahkan atau bahkan dihancurkan. Pada 2018 dan 2019, melalui Operation Olive Branch dan Operation Peace Spring, Turki melakukan operasi untuk merebut sebagian wilayah Rojava untuk menciptakan zona penyangga/buffer zone. Setelahnya, situasi di Rojava cenderung tak berubah hingga akhirnya pemerintahan Assad tumbang, dam kemudian SNA menyerang kembali wilayah-wilayah yang dikuasai SDF seperti di area Manbij dan sekitarnya.
SDF sendiri melalui komandannya Mazloum Abdi menyambut gembira dengan jatuhnya Assad, namun nasib SDF di pemerintahan baru Suriah masih dalam tanda tanya. SDF dan HTS telah bertempur satu sama lain di masa sebelumnya. Selain karena perbedaan etnis, HTS didominasi Arab sedangkan SDF dikuasai YPG sebagai kelompok Kurdi, HTS yang “islamis” tentu menolak keberadaan SDF yang sekuler. HTS juga menolak konsep negara federal yang disuarakan SDF selama ini. Lewat konsep democratic confederalism, SDF menginginkan pembentukan Suriah yang terdesentralisasi. Sedangkan Ahmad al-Syara’ menolak “pembagian” Suriah dengan cara apa saja. Selain itu, Ahmad al-Syara’ juga menentang keberadaan PKK di negeri itu. Walaupun pada 1 Januari 2025 dilaporkan telah terjadi pertemuan antara Ahmad al-Syara’ dengan perwakilan SDF, namun hingga kini belum diputuskan nasib Kurdi kedepannya.
Pada 16 Januari 2025, Mazloum Abdi bertemu dengan Masoud Barzani, bekas pemimpin Kurdistan Regional Government (KRG) Irak. Padahal, hubungan SDF dan KRG selama ini cenderung kurang baik, terutama karena SDF membatasi kegiatan politik kelompok Kurdi yang berafiliasi dengan KRG di Rojava. Pertemuan dua tokoh itu bisa dilihat sebagai cara SDF untuk mendapatkan dukungan politik dari kelompok dan masyarakat Kurdi di luar Suriah. Di tengah tekanan dari Turki dan pasukan afiliasinya, serta ketidakjelasan nasib mereka di Suriah, SDF merasa perlu untuk meraih dukungan sebanyak-banyaknya. Selain itu, sekali lagi, sentimen Kurdayeti atau perasaan solidaritas sesama Kurdi kembali menguat ketika kelompok Kurdi mendapat ancaman dari luar. Sebelumya, hal itu terjadi saat Kurdi berperang melawan ISIS. Seperti yang diberitakan Al-Arabiya, selama ini telah dilakukan upaya diplomatik antara Amerika Serikat, Turki, dan Suriah dalam membicarakan nasib Kurdi, namun perundingan itu belum mencapai titik terang.
Namun yang pasti, Trump yang baru saja dilantik sebagai presiden AS akan menentukan nasib SDF dan Kurdi di Suriah selanjutnya. Jika ia menghentikan dukungan AS kepada SDF, maka SDF dan Kurdi akan menentukan nasibnya sendiri di Suriah. Bila AS tetap melihat adanya kepentingan mereka terhadap SDF, maka keberadaan dan penguasaan SDF di Rojava akan berusaha dipertahankan. Hal itu pasti akan menyebabkan ketegangan antara AS dengan Turki semakin memanas. Kecuali, jika Trump berhasil “memaksa” Turki untuk berunding dan melakukan kompromi politik dengan SDF. Bukan tidak mungkin hal itu terjadi, seperti ketika AS ikut bantu mengukuhkan keberadaan KRG di Irak selepas jatuhnya Saddam. Hanya waktu yang akan mampu menjawab semuanya.
Views: 26