Rangkuman Gagalnya Pembangunan Indonesia Menurut Andrinof Chaniago

Direktur Riset dan Pusat Data InMind Institute Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P. merangkum gagasan inti Andrinof Achir Chaniago dalam bukunya yang berjudul Gagalnya Pembangunan.

Sejumlah pekerja menggarap proyek pembangunan jalan tol Sumatra ruas Palembang-Indralaya (Palindra) Seksi I di Kecamatan Pemulutan, Kab Ogan Ilir (OI), Sumatra Selatan, Senin (21/11). Pembangunan jalan tol Palembang-Indralaya sepanjang 22 km ini baru mencapai 35,9 persen, dan pembebasan lahan telah mencapai 83,1 persen. Jalan tol ini ditargetkan dapat beroperasi pada Februari hingga Agustus 2017. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/kye/16

Di dalam buku Gagalnya Pembangunan, Andrinof menguraikan mengenai penyebab-penyebab sesungguhnya dari terjadinya krisis ekonomi atau bahkan krisis multidimensi yang menimpa Indonesia di tahun 1997 hingga 1998. Berbeda dengan pengamatan para ekonom yang kebanyakan melihat krisis yang menimpa Indonesia secara khusus dan Asia secara umumnya akibat dari kesalahan kebijakan moneter dan liberalisasi, serts melihat secara sempit durasi penyebab krisis hanya dari skop waktu yang sempit, yakni pertengahan tahun 1997. Andrinof justru melihat penyebab krisis ekonomi tersebut lebih dari sekadar kesalahan kebijakan ekonomi dan moneter. Dia juga melihat bahwa gejala krisis sebenarnya telah dimulai semenjak tahun 1988.

Dalam pandangan Andrinof, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pada tahun 1988 telah menyebabkan Indonesia mengalami krisis terparah dibandingkan dengan Thailand, Korea Selatan, maupun Malaysia yang juga mengalami krisis pada pertengahan tahun 1997. Atas dasar asumsi ini Andrinof menolak pandangan dalam melihat krisis yang menimpa Indonesia sebagai krisis ekonomi ataupun krisis multidimensi melainkan Indonesia sesungguhnya mengalami krisis pembangunan. Krisis pembangunan tidaklah datang secara tiba-tiba, melainkan krisis yang berjalan dalam waktu yang relatif panjang sehingga pada kasus Indonesia, krisis itu sebenarnya telah berproses sepuluh tahun sebelum mencapai puncaknya pada tanggal 20 Juli 1997.

Pada awalnya Indonesia mengalami krisis moneter yang ‘ditularkan’ (contagion effect) oleh Thailand dan Malaysia. Hal tersebut merupakan pemicu dari krisis pembangunan yang telah terjadi sepuluh tahun sebelumnya karena tidak lama sesudah krisis moneter tanggal 20 juli 1997, timbul masalah-masalah sosial yang bersumber dari ketimpangan pembangunan dan ketidakpercayaan terhadap institusi, hukum, dan pemimpin. Konflik massa yang bersifat destruktif segera saja bermunculan yang tentu saja semakin mengakibatkan sulitnya pemulihan krisis ekonomi karena keadaan ini membuat khawatir para investor untuk menginvestasikan dananya. 

Selain kelompok yang melihat krisis ekonomi Indonesia akibat kesalahan moneter, terdapat kelompok pengamat yang melihat dari segi politik mengenai krisis ekonomi yang menimpa Asia. Amartya Sen secara khusus melihat krisis yang terjadi di Korea dan Indonesia karena pemerintahan yang demokratis. Sedangkan Max Corden melihat krisis bersumber dari kesalahan pengelolaan pemerintahan, korupsi, masalah transisi politik, tidak adanya rasa aman bagi etnis Cina, dan kejatuhan harga minyak. Akan tetapi Andrinof melihat bahwa argumentasi yang disampaikan pengamat asing tersebut belum mampu untuk menjelaskan dua permasalahan pokok yang menimpa Indonesia. Pertama, mengapa Indonesia mengalami krisis multidimensi yang paling parah? Dan kedua, mengapa Indonesia terkena krisis yang paling lama dan paling sulit diatasi?

Untuk menjawab pertanyaan itu, Andrinof melihat bahwa salah satu akar dari penyebab terjebaknya Indonesia dalam krisis yang paling parah adalah sikap hiperpragmatisme dari sekumpulan elit yang berkuasa dan berpengaruh dalam pembuatan kebijakan sejak akhir 1980-an. Sikap ini membiarkan terjadinya mismatch antara pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan pembangunan politik yang harusnya saling bersesuaian dengan tuntutan keadaan. Pada kenyataannya kebijakan justru diarahkan untuk mengejar target-target jangka pendek seperti pertumbuhan ekonomi, peningkatan investasi, pengumpulan pajak, dan lain sebagainya. Pembangunan sosial hanya dilakukan dalam bentuk charity dan ironisnya pembangunan politik dalam hal ini demokratisasi tidak dilakukan. 

Jika merujuk pada Thailand, Taiwan, Filipina, maupun Korea, proses demokratisasi di negara-negara tersebut telah dilakukan pada akhir 1980-an. Demokratisasi yang terjadi di Filipina pada tahun 1986 misalnya telah menyebabkan manajemen pemerintahan menjadi lebih baik, dan kebijakan ekonomi lebih berorientasi kepada kepentingan publik. Kegagalan Soeharto dan kroninya untuk melakukan transformasi politik menyebabkan berbagai kebijakan ekonomi yang digulirkan pemerintah lebih berorientasi pada kepentingan segelintir elit. Bukti konkretnya adalah banyaknya alokasi investasi dan pinjaman pada sektor “non-trade goods” yanh penuh spekulasi, yang pada akhirnya mengakibatkan gelembung hampa pada struktur ekonomi atau yang dikenal dengan the bubble economy

Perihal lain yang menjadi penyebab krisis di Indonesia secara khusus dan Asia secara keseluruhan adalah provokasi yang dibawa oleh IMF, Bank Dunia, Asian Development Bank, dan negara-negara pendukung utama lembaga-lembaga donor tersebut untuk melakukan liberalisasi dan swastanisasi secara radikal. Solusi yang diberikan setelah terjadinya krisis tetap menunjukkan ketidakpedulian mereka terhadap rapuhnya struktur ekonomi dan sosial di Indonesia. Amerika Serikat dan negara-negara donor IMF justru meminta IMF mendorong liberalisasi ekonomi hingga ke tingkat pembukaan kesempatan kepada pihak asing untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan non strategis, meningkatkan liberalisasi impor, dan meminta pemerintah mengizinkan pihak asing masuk ke berbagai sektor jasa seperti asuransi dan lain-lain. 

Suatu elemen yang dilupakan para pengamat ekonomi politik terhadap krisis yang menimpa Indonesia adalah kondisi sosial ekonomi sebagai sebuah variabel penting penyebab krisis. Pada masa itu Indonesia diliputi ketimpangan dalam berbagai bidang, yakni ekonomi antar golongan masyarakat, antara kelompok pengusaha besar dan kecil, antar wilayah, antara ekonomi perkotaan dan pedesaan, dan lain sebagainya. Jika melihat keadaan ini, untuk memulihkan krisis ekonomi dibutuhkan syarat-syarat sosial. Rekomendasi yang diberikan oleh IMF sesungguhnya menawarkan lokomotif maut yang dapat mengantarkan Indonesia ke dalam jurang krisis selanjutnya.

Untuk itu di bagian akhir bukunya Andrinof menawarkan sebuah jalan keluar bagi upaya pemulihan krisis pembangunan Indonesia. Menurut Andrinof, untuk mengeluarkan Indonesia dari krisis tidak cukup hanya dengan pemecahan-pemecahan teknis ekonomi seperti pembenahan lembaga-lembaga keuangan dan moneter tanpa mengaitkan urgensi pembangunan kelembagaan pada seluruh tahapan manajemen pembangunan. Selain itu diperlukan pula pembangunan kembali nilai-nilai sosial, kohesifitas sosial, dan struktur sosial. Dari sisi lain, perbaikan terhadap lembaga-lembaga politik dan birokrasi harus seiring dengan peningkatan fungsi lembaga-lembaga tersebut untuk melakukan rekayasa sosio-kultural. 

Menjadi sangat penting bagi Indonesia untuk memasukkan restrukturisasi ekonomi dan agenda demokratisasi ke depan. Selama Orde Baru pembangunan hanya berpusat di Jakarta sehingga menyebabkan ketimpangan pada daerah-daerah yang lain. Dengan adanya warisan ketimpangan ini, jika tanpa memasukkan agenda rekayasa spasial ke dalam grand strategy demokratisasi di Indonesia, proyek demokratisasi di Indonesia akan lebih memboroskan banyak biaya dan energi. Oleh karena itu menurut Andrinof pada bagian akhir bukunya, menjadi sangat penting jika agenda demokratisasi memasukkan reformasi spasial dan reformasi struktural dalam sistem perekonomian agar berlangsung demokrasi yang substansial. 

Buku Gagalnya Pembangunan ini mampu menghadirkan perspektif yang berbeda dalam menganalisis krisis ekonomi berkepanjangan yang menimpa Indonesia atau lebih tepatnya sesuai dengan bahasa Andrinof terjadinya krisis pembangunan di Indonesia. Jika kebanyakan kalangan lebih banyak menyoroti dimensi kebijakan ekonomi dan moneter sebagai pilar utama penyebab terjadinya krisis. Andrinof buku ini justru melihat bahwa tatanan sosial ekonomi dan politik Indonesia yang rapuhlah, yang justru menjadi penyebab utama dari parahnya krisis ini hingga baru dalam jangka waktu yang lama Indonesia kembali pulih. Berbeda dengan Korea, Filipina, Malaysia, atau Thailand yang mampu pulih dalam beberapa tahun saja.

Meski demikian, terdapat sejumlah kritik terhadap buku ini. Salah satu argumen yang diungkapkan Andrinof misalnya, bahwa gagalnya Soeharto beserta kroninya untuk melakukan transformasi politik di tahun 1988 menjadi salah satu penyebab utama krisis multidimensi yang menimpa Indonesia. Sementara pada saat yang hampir sama atau di tahun 1986 Filipina (sebagai salah negara pembanding), telah melakukan transformasi politik menuju iklim pemerintahan yang demokratis sehingga kemudian Filipina mampu pulih lebih cepat dibanding Indonesia. Tetapi dalam melihat fenomena ini, tidak dapat dilihat sesederhana itu. Tidak berlangsungnya transformasi politik pada saat itu terjadi karena konteks sosial ekonomi.

Proses menuju demokratisasi di Filipina sesungguhnya telah terjadi jauh sebelumnya yakni sekitar tahun 1973 hingga 1974 saat terjadinya oil boom. Sebagai negara pengimpor minyak hingga 90 persen, ekonomi Filipina kolaps yang kemudian mengakibatkan krisis di tahun 1986. Krisis inilah yang kemudian mengantarkan Filipina dan beberapa negara Asia lainnya menjadi rezim yang demokratis. Sementara Indonesia sebagai negara penghasil minyak, justu dihinggap ‘berkah’ dengan adanya oil boom ini. Peran negara yang sudah kuat kemudian menjadi semakin kuat dengan adanya oil boom. Dalam hal ini terjadi konteks sosial politik dan ekonomi yang berbeda antara Indonesia dengan negara Asia lainnya yang menyebabkan tidak berlangsungnya proses transformasi politik. Dibandingkan ‘menyalahkan’ tidak terjadinya proses transformasi politik di saat itu, argumen Andrinof yang lain lebih masuk akal, dimana adq mismatch kebijakan akibat dari oil boom yang menyebabkan Indonesia berperilaku seperti NKB (Negara Kaya Baru) yang menghamburkan uang pada sektor yang tidak penting dan bersifat tersier. 

Uraian jalan keluar yang coba dikemukakan Andrinof bagi krisis berkepanjangan yang menimpa Indonesia saat ini terlalu singkat. Tentu akan lebih baik jika Andrinof menguraikan langkah-langkah detail mengenai bagaimana seharusnya dilakukan reformasi struktural dan spasial. Jika tidak solusi yanh disampaikan Andrinof menjadi sangat utopis (dalam hal ini reformasi struktural). Jika melihat sejarah terbentuknya struktur elit kapitalis di Indonesia misalnya, struktur ini sudah terbentuk kokoh semenjak awal terbentuknya Orde Baru sehingga sulit untuk melakukan refomasi struktur dalam bidang. Apalagi dominasi kalangan kapitalis tidak hanya dalam bidang ekonomi tetapi mulai mendominasi sektor politik.

sumber gambar: https://geotimes.co.id/komentar/ada-apa-di-balik-pembangunan-jalan-tol-kita/

Views: 219