Kapitalis Cina dalam Kapitalisme Semu di Indonesia dan Asia Tenggara

Direktur Riset dan Pusat Data InMind Institute Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P. merangkum konsep dan pemaparan tentang kapitalisme semu yang dilakukan oleh kapitalis Cina di Asia Tenggara yang dikemukakan oleh Yoshihara Kunio dalam bukunya yang berjudul Kapitalisme Semu Asia Tenggara.

Di dalam buku Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Yosihara Kunio secara keseluruhan menjelaskan secara historis mengenai awal kemunculan kapitalisme semu atau Erzast Capitalism di Asia Tenggara, hingga kemudian bagaimana peranan kapitalisme semu tersebut terhadap ekonomi negara-negara di Asia Tenggara. Di dalam analisis Yoshihara Kunio, kemunculan kapitalisme semu sebagai pemburu rente yang melakukan nepotisme dengan elit pemerintahan, telah menyebabkan kerugian negara. Selain itu, dalam keadaan situasi ekonomi di kurun waktu 1998-an, para kapitalisme semu ini juga menerbangkan sejumlah modal ke luar negeri (capital flight) untuk mengamankan asset dan modal mereka. Inilah yang kemudian memperburuk perekonomian negara-negara di Asia Tenggara.

Pada bab pendahuluan bukunya, Yoshihara Kunio menjelaskan mengenai definisi kapitalisme yang ia maksudkan di dalam buku ini. Ia membedakan kapitalis dengan wirausaha, di mana istilah kapitalis biasanya dihindari penggunaannya pada masyarakat Asia Tenggara. Ini karena konotasi negatif yang melekat pada kapitalis, sehingga kapitalis sering disebut wirausaha. Namun menurutnya, wirausaha hanya menjalankan bisnis dalam lingkup kecil dengan modal yang terbatas pula. Sedangkan kapitalisme, merujuk pada Fernand Braudel, merupakan kegiatan ekonomi yang skala operasinya besar dengan modal yang besar pula. Kunio juga menggunakan definisi kapitalisme konvensional untuk memperjelas kapitalisme yang ia maksudkan di dalam bukunya. Menurutnya, definisi kapitalisme konvensional mengandung penekanan adanya kepemilikan usaha pribadi dan usaha bebas. Mengacu pada prasyarat kepemilikan pribadi ini, perusahaan negara tidak dapat dikategorikan sebagai lembaga kapitalis.

Adapun yang dimaksudkan dengan kapitalisme semu menurut kebanyakan pendapat adalah kemunculan kapitalisme di Asia Tenggara yang didominasi oleh modal asing. Akan tetapi menurut Kunio, sifat semu dalam kapitalisme Asia Tenggara berasal dari fakta bahwa perkembangan kapital Asia Tenggara terbatas pada sektor tersier. Akan tetapi pengaruh modal asing juga tidak berarti bermain pada sektor yang bukan tersier. Modal asing secara umum dapat dikatakan tidak begitu signifikan di negara-negara Asia Tenggara, dengan Singapura sebagai pengecualian. Menurut kaum fundamentalisme Islam, kapitalisme Asia Tenggara disebut semu karena didominasi oleh kapitalis Cina. Sedangkan bagi ekonom leissez-faire kapitalisme bersifat semu di Asia Tenggara karena kapitalisme di negara-negara inididominasi oleh pemburu rente (rent seekers). Di mana mereka tidak hanya memburu proteksi dari pemerintah, melainkan pula konsesi, lisensi, dan hak monopoli, sehingga dalam prakteknya kapitalisme yang dijalankan menimbulkan berbagai bentuk penyelewengan.

Pada bab selanjutnya, Kunio memaparkan mengenai sejarah awal tumbuhnya kapitalisme di Asia Tenggara. Menurutnya, kemunculan kapitalisme di Asia Tenggara diawali dengan masuknya sejumlah modal asing pada negara-negara tersebut. Berdasarkan sejarah, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagni) milik Belanda dan EEC (English East India Company) merupakan lembaga-lembaga kapitalis pertama yang masuk ke Asia Tenggara. Modal Barat pada awalnya bergerak pada produksi primer, di mana gula merupakan ekspor pertama pada masa itu. Setelah itu timah dan karet diekspor. Setelah berkembang banyak produksi primer, perusahaan manufaktur pun bermunculan. Selain itu fasilitas perbankan yang dibutuhkan untuk meningkatkan volume perdagangan juga meningkatkan timbulnya berbagai bank milik asing. 

Akan tetapi kemerdekaan politik yang terjadi setelah perang dunia di berbagai negara Asia Tenggara mengubah konstelasi bisnis modal Barat. Di Indonesia, Filipina, dan Malaysia misalnya, setelah terjadinya kemerdekaan tidak banyak perusahaan Barat yang bertahan. Pada kasus Indonesia, perusahaan-perusahaan Belanda dinasionalisasi. Sedangkan di Filipina, perusahaan Amerika mengalihkan kepemilikannya kepada orang-orang Filipina di tahun 1960-an. Sehingga pada periode pasca perang dapat dikatakan bahwa hanya terdapat sejumlah kecil perusahaan Barat yang masih beroperasi di kawasan Asia Tenggara, jika dibandingkan dengan periode sebelum terjadinya perang. Setelah terjadinya perang, modal Jepang masuk ke Asia Tenggara menggantikan modal Barat. Meskipun demikian, perusahaan Jepang tidak memiliki keleluasaan di dalam berinvestasi dibandingkan sebelum perang. Perusahaan Jepang hanya diberikan keleluasaan pada sejumlah bidang tertentu yang membutuhkan teknologi tinggi yang tidak dimiliki oleh negara-negara Asia Tenggara ataupun yang membutuhkan jaringan ke pihak Barat, yang hanya dimiliki oleh Jepang.

Di bab tiga, Kunio secara spesifik memaparkan mengenai modal Cina, yang merupakan cikal bakal adanya kapitalisme semu di Asia Tenggara. Menurutnya, asal muasal berdirinya lembaga-lembaga kapitalis Cina merupakan bentukan dari para imigran Cina dan keturunannya sekitar tahun 1910-an. Sebenarnya jauh sebelumnya atau sekitar abad ke 16, banyak saudagar Cina sudah datang ke tanah Asia Tenggara namun perdagangan yang dilakukan dalam skala kecil. Kemudian mereka merambah usaha sebagai buruh, produsen kecil, ataupun perantara bagi pemerintah kolonial dan para saudagar Barat. Ketika jumlah mereka membesar, mereka akhirnya mendominasi perekonomian di kawasan tersebut. Adanya depresi besar di tahun 1929 banyak menghentikan modal Barat, meski sebagian pemodal Cina ikut terkena dampaknya, namun secara umum kejadian tersebut justru memperkuat kapitalis Cina di Asia Tenggara. 

Meskipun negara-negara di Asia Tenggara paska kemerdekaannya telah melakukan nasionalisasi perusahaan dan kebijakan ekonomi yang pro pribumi, namun hal itu tidak menyurutkan jumlah pengusaha Cina. Justru banyak kebijakan ekonomi pro pribumi yang ikut dinikmati oleh pengusaha Cina. Di Indonesia misalnya, kebijakan Benteng yang dikeluarkan untuk memunculkan pengusaha pribumi,  justru banyak diambil alih oleh pengusaha Cina. Pengusaha Indonesia banyak menjual lisensi ataupun permodalan yang diberikan kepadanya untuk dijalankan kembali oleh kapitalis Cina.

Jika menurut Yoshihara Kunio, keadaan ini disebabkan oleh beberapa keunggulan yang dimiliki oleh kapitalis Cina yang tidak dimiliki oleh pengusaha pribumi. Pertama, kapitalis Cina memiliki jaringan yang ekstensif dan struktur yang baik. Orang Cina di Sumatera dapat terhubungan dengan jaringan Cina di Ambon, bahkan jaringan etnis ini dapat dihubungkan dengan jaringan inernasional. Kedua, terdapat kendala-kendala kelembagaan. Di Thailand misalnya, para pribumi tidak dapat melakukan bisnis dikarenakan adanya kewajiban kerja rodi yang harus mereka lakukan sedangkan para imigran China dikenakan peraturan yang lebih longgar. Juga dalam perihal pajak, para imigran Cina dikenakan pajak yang lebih rendah dibandingkan orang Thai. Faktor lainnya menurut Kunio adalah watak penduduk pribumi yang lebih mengutamakan hidup senang berbeda jauh dengan watak orang Cina yang lebih dinamis dan tanggap dalam perihal bisnis.

Dominasi kapitalis Cina di Asia Tenggara pada akhirnya mengundang sejumlah reaksi pemerintah di negara-negara tersebut. Di Thailand pada tahun 1930 – 1950 pemerintah mengintervensi ekonomi dengan mengurangi ketergantungan terhadap modal asing (termasuk Cina). Di Filipina, pemerintah membatasi alokasi devisa bagi orang Cina dan menghalangi orang Cina memasuki bisnis di sektor-sektor tertentu. Di Indonesia, pada tahun 1950 pemerintah mengeluarkan kebijakan Benteng. Kemudian di tahun 1959, pemerintah menerbitkan peraturan yang melarang pedagang Cina melakukan usaha di pedesaan. Sedangkan di Malaysia, pemerintahnya menerbitkan Kebijakan Ekonomi Baru (KEB) yang menetapkan munculnya pengusaha pribumi sebanyak 30 persen. Akan tetapi kemudian kebijakan diskriminasi anti Cina ini tidak berlangsung lama. Beberapa negara kemudian pada tahun-tahun selanjutnya mencabut kebijakan tersebut.

Keberhasilan para kapitalis Cina di negara-negara Asia Tenggara tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa mereka merupakan pemburu rente dan spekulator. Menurut Kunio, pemburu rente (rent seekers) adalah para kapitalis yang menjalankan bisnisnya ataupun mendapat peluang bisnis karena kedekatannya dengan pemerintah. Ada berbagai model-model hubungan antara kapitalis ini dengan pemerintah. Di Filipina misalnya, ada jenis kapitalis konco (crony capitalism) yakni usahawan sektor swasta yang mendapatkan keuntungan sangat besar dari hubungan eratnya dengan kepala negara. Contohnya hubungan Liem Sioe Liong dengan Soeharto ataupun Bob Hasan dengan Soeharto. Adapula kapitalis birokrat yakni pejabat birokrat yang menggunakan jabatannya untuk mengakumulasi modal awal mereka. Di Indonesia hal ini seperti Ibnu Sutowo yang memimpin Pertamina. 

Adapun spekulator adalah orang yang mengambil resiko besar demi memperoleh keuntungan yang besar. Pada bagian ini menurut Kunio, kebanyakan para kapitalis Cina juga merupakan spekulator, baik di meja judi ataupun bursa saham. Seringkali akibat dari aktifitas ini mereka mengalami kerugian besar namun karena usaha yang mereka lakukan mendapatkan jaminan dari pemerintah, akibatnya seirngkali kerugian mereka juga ikut ditanggung oleh pemerintah. Sebagai contoh akibat dari tindakan spekulasi adalah ketika banyaknya spekulator yang berinvestasi di bidang real estate ataupun hotel namun di tahun 1970-an terjadi resesi ekonomi akibat melorotnya harga minyak telah menjadikan nilai properti setengah dari harga puncaknya. Keadaan ini kemudian membuat bankrut para spekulator, beberapa diantaranya melarikan diri atau mangkir dari kewajiban. Aset yang disita negara juga tidak setara dengan jumlah nominal yang mereka pinjam karena melorotnya nilai properti tersebut.

Kondisi yang menumbuh suburkan fenomena ini adalah lingkungan sosial politik di negara tersebut. Pada pemerintahan yang diktator, pemburu rente tumbuh subur karena tidak adanya pengawasan yang efektif. Hal ini seperti yang terjadi di Filipina pada era Marcos atau Indonesia pada zaman Orde Baru. Meski demikian, pada rezim demokrasi juga tidak menjamin ketiadaan para pemburu rente. Seperti di Malaysia di bawah KEB dan Filipina di era Aquino, tetap muncul para pemburu rente, meskipun tidak mencolok seperti pada rezim otoriter. 

Pada bab akhir di bukunya, Yoshihara Kunio menyimpulkan bahwa kapitalisme yang timbul di Asia Tenggara memiliki beberapa masalah. Di antaranya adalah rendahnya tingkat teknologi sehingga keadaan ini melahirkan kapitalis-kapitalis yang bergantung kepada kapitalis komprador dan memungkinkan masuknya kapital asing untuk mengatasi kekurangan teknologinya padahal menurut Kunio, modal asing hanya dibutuhkan ketika krisis. Setelah krisis berlalu, maka pemerintah harus secepatnya menyingkirkan modal tersebut. Selain itu intervensi dari pemerintah terhadap perekonomian dalam negeri termasuk rendah. 

Merujuk pada Jepang, Korea, dan Taiwan, kemajuan ketiga negara ini dikarenakan intervensi pemerintah yang telah mempercepat pembangunan. Rendahnya intervensi telah mengakibatkan terjadinya inefisiensi ekonomi dan sejumlah besar pemburu rente. Selain itu, masalah yang tidak kalah pentingnya adalah masalah Cina. Timbulnya sejumlah kebijakan diskriminasi terhadap Cina dan adanya perasaan anti-Cina menyebabkan beban biaya yang besar terhadap perekonomian. Dalam pandangan Kunio, langkah-langkah anti-Cina yang berlaku saat ini telah menjadikan kapitalis pribumi menjadi pemburu rente dan juga mendesak orang Cina untuk menjadi pemburu rente yang spekulatif dalam mendapatkan keuntungan yang besar untuk kemudian diinvestasikan di tempat-tempat yang aman di luar negeri (capital flight). Permasalahan inilah yang menurut Kunio berbeda dengan kapitalisme Barat ataupun Jepang, di mana kemunculan kapitalisme mampu mempelopori pembangunan ekonomi. Kebergantungan kapitalisme terhadap perekonomian pasar dan pemerintah membuat Kunio mengklasifikasikan kapitalisme di Asia Tenggara dalam jenis baru: kapitalisme semu.

Secara keseluruhan, Yoshihara Kunio memberikan pemarapan yang komprehensif dan baik mengenai kemunculan kapitalisme semu di Asia Tenggara. Secara rinci Kunio menjabarkan perusahaan-perusahaan yang muncul di Asia Tenggara juga hubungan-hubungan khusus mereka dengan sejumlah pejabat tinggi negara, bahkan presiden, yang menyebabkan perusahan mereka mampu berekspansi secara besar-besaran. Meski demikian, dalam menguraikan argumentasinya, Kunio tidak memberikan alur yang runut antara satu bab dengan bab lainnya. Sehingga terkesan seperti melompat-lompat. Pembaca akhirnya ‘dipaksa’ untuk menguraikan sendiri keterkaitan antara satu bab dengan bab lain atau antara sebuah sub bab dengan sub bab lainnya.

Di samping itu, Kunio juga tidak mengkaitkan pengaruh dari kolonialisasi terhadap kemunculan pengusaha Cina sebab adanya kolonialisasi telah menyebabkan munculnya pengusaha Cina dan melemahnya pengusaha pribumi. Di Indonesia misalnya, untuk mengurangi dominasi pengusaha Cina, muncul asosiasi pengusaha pribumi yakni Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) yang memiliki jaringan hingga ke seluruh Indonesia, tanpa melihat etnis melainkan berdasarkan keagamaan (Islam).

Pada bab penutup Yoshihara berpendapat bahwa kebijakan diskriminasi anti-Cina mengakibatkan pengusaha Cina akan menjadi pemburu rente, namun fakta sejarah memaparkan, di Indonesia khususnya, pengusaha Cina telah jauh menjadi pemburu rente di masa kolonial di mana melalui peran sebagai perantara tersebut, kapitalis Cina telah menjadi pemburu rente terhadap pemerintah kolonial. Meski sempat terhenti pada masa Soekarno, namun di masa Soeharto, peran kapitalis Cina sebagai pemburu rente semakin dominan. Memang dari segi politik orang Cina dibatasi peranannya, namun dari segi ekonomi, mereka jauh lebih mengalami kebebasan dibandingkan orang pribumi.

sumber gambar: https://m.solopos.com/liem-sioe-liong-lebih-fasih-bahasa-jawa-dan-mandarin-ketimbang-bahasa-indonesia-192757/amp

Visits: 1248