Direktur Riset dan Pusat Data InMind Institute Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P. merangkum pemikiran politik Montesquieu

Charles Louis de Secondat, Baron de la Brede et de Montesquieu atau dikenal dengan Montesquieu merupakan pribadi yang membingungkan di dalam sejarah teori politik. Hal ini menurut Mc Donald, dikarenakan meskipun ia adalah pemikir di zaman pencerahan, tetapi tidak dapat dikategorikan pemikir pencerahan. Meski ia diidentifikasikan sebagai seorang filsuf atau pemikir, tetapi ia juga tidak dapat dimasukkan ke dalamnya. Dia merupakan perpaduan antara pemikir kuno dengan sosiolog modern. Sedangkan Sabine melihat Montequieu sebagai ahli falsafah politik di abad ke 18 dikarenakan ia memiliki konsepsi yang jelas mengenai falsafah sosial. Sabine juga sama seperti Mc Donald melihat kompleksitas dalam diri Montesquieu di mana menurut Sabine (salah satu kontradiksinya) di satu sisi Montesquieu menulis mengenai falsafah politik yang menurutnya dapat digunakan untuk melihat keadaan secara luas namun falsafah itu ditulis hanya berdasarkan kasus-kasus di negeri Perancis sehingga kemudian menjadi kurang relevan untuk dipakai secara luas.
Montesquieu dilahirkan di tahun 1989 dari kalangan keluarga bangsawan La Brede di Bordeaux. Ibunya meninggal di saat usianya masih 7 tahun. Ia dikenal sebagai pribadi yang pemalu dan penyendiri meski demikian ia adalah anak yang cerdas. Di tahun 1716 pamannya meninggal dan ia mewarisi jabatan presiden parlemen di Bordeaux. Di masa itu kursi parlemen diperoleh dari warisan. Kekuasaan parlemen saat itu juga sangat terhormat dan kuat bahkan lebih kuat dari kalangan bangsawan dan gereja dengan sistem pemerintahannya kala itu adalah monarki absolut, hal yang selalu dilawan oleh Montesquieu.
Tulisan-tulisan Montesquieu
Selama hidupnya Montesquieu menulis banyak tulisan. Di tahun 1721 ia menulis Les Lettres Persanes atau The Persian Letters. Isi buku tersebut adalah kritiknya terhadap pemerintahan dan masyarakat Perancis. Pada awalnya ia tidak mencantumkan dirinya sebagai pengarang buku tersebut akan tetapi ketika kemudian ia diketahui sebagai pengarangnya, Montesquieu menjadi terkenal.
Setelah melakukan perjalanan jauh keliling Eropa di tahun 1734 ia kembali membuat buku mengenai penyebab kejayaan dan kemunduran Roma yang berjudul Consideration on The Greatness dan Decline of Rome. Di tahun 1748 ia kembali menulis buku yang kemudian menjadi sangat fenomenal yakni L’esprit des lois atau The Spirit of Laws. Buku ini sangat berpengaruh besar terhadap metode penulisan sejarah dan studi sosiologi, khususnya bentuk-bentuk dasar pemerintahan. Tidak berapa lama setelah terbitnya The Spirit of Laws, Montequieu meninggal dunia di Paris.
Inti Buku L’esprit des lois (The Spirit of Laws)
Keseluruhan dari tulisan Mc Donald mengenai Montesquieu hanya membahas secara spesifik mengena beberapa bagian dari buku The Spirit of Laws yang dianggapnya penting dan memiliki signifikansi terhadap masa kini. Jika merujuk pada Sabine, buku The Spirit of Laws yang terdiri dari 31 jilid itu mengemukakan dua masalah pokok, yakni pertama, Montesquieu mencoba mengembangkan teori pemerintahan yang bersifat sosiologis dan hukum yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungan (iklim) di mana pemerintahan itu berada. Kedua, ketakutan terhadap sistem monarki absolut yang pernah dialaminya di Perancis. Fenomena serupa yang terjadi di Turki dan Rusia membuatnya menulis sejumlah konsepsi untuk menghindari masalah ini di mana ia banyak merujuk kepada keadaan pemerintahan di Inggris.
Des Lois
Di dalam jilid pertama dari The Spirit of Laws yang berjudul “Des lois,” Montesquieu menguraikan mengenai hukum alamiah sebelum terbentuknya sebuah negara (state of nature). Menurutnya manusia ketika itu diatur oleh sejumlah hukum namun sebagai makhluk yang diberikan intelegensi manusia melupakan hukum-hukum agama yang diberikan Tuhan. Manusia melupakan pengetahuan yang dimilikinya karena ada banyaknya keinginan dalam dirinya hingga kemudian manusia juga melupakan teman-temannya. Ada tiga hukum yang dimaksudkan oleh Montesquieu di sini, yakni hukum fisik, hukum agama, dan hukum moral. Kemudian adanya hukum politik dan sipil yang dibuat oleh legislator menempatkan manusia kembali kepada kewajibannya.
Anteseden dari ketiga hukum ini adalah manusia di dalam keadaan alamiah. Dalam menggambarkan manusia di dalam keadaan alamiah, Montesquieu memiliki pandangan yang senada dengan Hobbes, di mana dalam keadaan itu yang dipikirkan manusia hanya penjagaan terhadap dirinya sendiri atau self-preservation. Perang baru terjadi ketika manusia membentuk sebuah society. Sebelum terbentuknya masyarakat, manusia terisolasi dan menganggap dirinya inferior atau rendah.
L’esprit
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, L’esprit memiliki sejumlah definisi yakni, wit, mind, intellect, character, dan spirit tetapi Mc Donald secara lugas mengungkapkan bahwa ia tidak mengetahui makna L’esprit yang sesungguhnya yang dimaksudkan dalam pandangan Montequieu. Mc Donald melihat bahwa L’esprit merupakan kata yang mampu menggambarkan sebuah paradoks.
Iklim dan Pengaruhnya
Montesquieu merupakan pemikir pertama yang mencoba mengkaitkan antara iklim dengan kehidupan sosial. Menurutnya, iklim yang dingin membuat manusia berani, berfikir bebas, dan mampu untuk menahan luka namun sisi negatifnya manusia menjadi mudah untuk melakukan bunuh diri. Di iklim utara seseorang membutuhkan minuman keras sebab jika tidak maka darahnya akan membeku namun di iklim selatan, darah manusia lebih cair sehingga inilah yang menurut Montesquieu menjelaskan mengapa aturan di dalam Islam mengharamkan minuman keras.
Tidak hanya karakter seseorang saja yang dipengaruhi oleh iklim dalam pandangan Montesquieu, perihal kecenderungan seseorang monogomi atau poligami dan kedewasaan seseorang juga dipengaruhi iklim. Selain itu sistem pemerintahan juga dipengaruhi hal tersebut. Dalam pandangannya monarki lebih sering muncul di negeri yang subur. Montesquieu juga berpendapat bahwa agama Islam kondusif bagi terbentuknya pemerintahan despotis sedangkan agama Katolik kondusif untuk monarki dan protestan kondusif untuk pemerintahan republik.
Bentuk-bentuk Pemerintahan
Montesquieu membagi tiga bentuk dasar pemerintahan, yakni republik, monarki dan despotik. Republik merupakan sebuah sistem yang menempatkan kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Monarki merupakan pemerintahan dengan hukum yang tetap. Sedangkan negara despotis merupakan pemerintahan yang diatur oleh satu orang dengan aturan yang tidak jelas sesuai dengan kehendaknya. Sehingga kemudian nilai-nilai yang ada di dalam ketiga pemerintahan ini juga berbeda.
Pada pemerintahan republik yang identik pada demokrasi, rakyat berpegang kepada kebajikan (virtue), yakni nilai-nilai kejujuran, patriotisme dan cinta terhadap persamaan (egaliter) sedangkan pada sistem monarki, kehormatan yang menjadi acuan dan pada pemerintahan despotis rasa takutlah yang menjadi komando rakyat. Jika merujuk pada Suhelmi, negara despotisme ini memiliki ciri-ciri yang mirip dengan negera Leviathan dimana negara merupakan lembaga politik yang ganas dan menakutkan. Penguasa juga tidak takut kepada siapa saja, dalam pandangan Montesquieu, kecuali terhadap pemuka agama. Sebab agama menjadi faktor yang diperhitungkan oleh penguasa.
Pemisahan Kekuasaan
Lusinan jilid di dalam buku The Spirit of Law pada intinya menekankan keharusan pemisahan kekuasaan (separation of power) di dalam pemerintahan. Pemisahan kekuasaan ini diilhami dari perjalannya ke Inggris dan juga latar belakang kehidupannya di bawah pemerintahan monarki absolut yang merugikan rakyat. Menurut Montesquieu, di dalam sebuah pemerintahan kekuasaan harus dibagi menjadi tiga, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pembagian kekuasaan ini ditujukan untuk menjamin kebebasan. Dalam pandangan Montesquieu: “Apabila kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada tangan yang sama ataupun badan penguasa-penguasa yang sama tidak mungkin terdapat kemerdekaan… Juga tidak akan dapat ditegakkan kemerdekaan itu bila kekuasaan mengadili tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan eksekutif. Apabila kekuasaan mengadili digabungkan dengan pada kekuasaan legislatif, kehidupan dan kemerdekaan kaula-negara akan dikuasai oleh pengawasan suka-hati… Apabila kekuasaan mengadili digabungkan dengan eksekutif, hakim itu akan bersikap dan bertindak dengan kekerasan dan penindasan…”
Lebih dalam mengenai pembagian kekuasaan ini dalam pandangan Montequieu, jika merujuk Deliar Noer, kekuasaan legislatif harus terletak pada seluruh rakyat namun dengan menggunakan sistem perwakilan. Akan tetapi sistem perwakilan ini tidak satu jenis saja. Montesquieu yang seorang bangsawan memandang bahwa perlu kamar perwakilan tersendiri untuk kaum bangsawan sehingga di dalam kekuasaan legislatif terdapat dua kamar perwakilan, yakni kaum bangsawan dan rakyat di mana keduanya memiliki kekuatan yang sama dan masing-masing kamar memiliki hak veto terhadap kekuasaan kamar lainnya.
Kritik terhadap Montesquieu
Secara umum gagasan-gagasan yang dimiliki Montesquieu adalah sangat brilian bagi ukuran pemikir-pemikir semasanya di mana pada beberapa pemikiran seperti keterkaitan iklim dengan perilaku manusia, merupakan sebuah konsepsi yang baru. Seringkali pemikiran-pemikiran yang brilian ini diikuti dengan konsepsi-konsepsi yang subjektif dan bahkan tidak ilmiah. Kontradiksi pemikiraan inilah yang mungkin menyebabkan Mc Donald dan para ahli lainnya sulit untuk mengkategorisasikan Montesquieu sebagai seorang pemikir ilmiah.
Kecenderungan Montesquieu untuk melihat iklim sebagai satu-satunya faktor yang signifikan terhadap berbagai hal, seperti kepribadian manusia, moral, agama, bahkan bentuk negara membuat ide awal Montequieu yang terlihat brilian menjadi tidak rasional. Tanpa bisa kita pungkiri memang iklim memberikan pengaruh terhadap terbentuknya karakter manusia tetapi itu tidak serta merta memberikan pengaruh terhadap agama, bahkan bentuk pemerintahan.
Montesquieu juga dapat dibilang pemikir yang terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan. Ini dapat dilihat misalnya ketika Montesquieu melihat sebuah pemerintahan despotis dibawah kerajaan Islam dengan serta merta Montesquieu mengambil generalisasi bahwa agama Islam kondusif bagi terbentuknya nagara despotis. Montesquieu tampaknya alpa, bahwa di beberapa negara Eropa di masa kegelapan juga banyak terdapat pemerintahan despotis yang berlandaskan agama Katolik.
Dalam tulisan The Persian Letters juga dapat didapati generalisasi yang diambil sembrono oleh Montesquieu. Di dalam karyanya itu disebutkan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan despotisme seksual karena memperbolehkan poligami di dalam ajarannya. Tradisi Harem (poligami) menurutnya adalah sebuah kejahatan despotis karena mendiskriminasi hak-hak perempuan dan menindas mereka. Perempuan tidak memiliki kebebasan sebagaimana laki-laki. Oleh Suhelmi, pandangan Montesquieu semacam ini dikarenakan dirinya terpengaruh sikap xenophobia abad pertengahan terhadap Islam sebagaimana pemikir lainnya yang tentu saja menandakan keterburu-buruan Montesquieu untuk merumuskan sebuah hipotesis.
Daftar Pustaka
Losco, Joseph. 2005. Political Theory, Kajian Klasik dan Kontemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Noor, Deliar. 1982. Pemikiran Politik di Negara Barat. Jakarta: PT. Rajawali Press.
Mc Donald, Lee Cameron. 1968. Western Political Theory: From its Origins to the Present. New York: Harcout, Brace & World, inc.
Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sabine, George H. 1964. Teori-teori Politik (2): Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya. Bandung: Binacipta.
Sumber gambar: https://commons.m.wikimedia.org/wiki/File:Bordeaux_-Statue_Montesquieu(1).JPG
Views: 11882