Rangkuman Pemikiran Politik Rousseau

Direktur Riset dan Pusat Data InMind Institute Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P. merangkum pemikiran politik Jean-Jacques Rousseau.

Jean-Jacques Rousseau bagi Mc Donald, merupakan karakter yang mempesona. Akan tetapi antara kehidupannya dengan tulisan-tulisannya sangat berkebalikan. Sebab di satu sisi hidupnya amoral, namun di sisi lain tulisan-tulisannya memaparkan perihal moralitas. Rousseau dilahirkan di Genewa, Swiss tahun 1712. Ibunya wafat ketika melahirkan dirinya. Ayahnya yang seorang pembuat jam, setiap malam membacakan cerita-cerita romance dewasa kepadanya. Inilah yang mungkin memberikannya pengaruh terhadap tingkah laku-nya yang amoral, dan di sisi lainnya tulisannya penuh dengan ide-ide moral.

Di usia 10 tahun, ayahnya meninggalkannya. Ini kemudian membuatnya terseret dari Jenewa ke Perancis dengan menerima berbagai pekerjaan, yang bahkan menuntutnya harus berbohong dan mencuri. Keadaan ini juga menyebabkannya menjalin pertemanan dengan berbagai orang. Salah satunya adalah de Warrens yang mengajaknya tinggal di rumahnya di Chambery. Selama tinggal di rumahnya, Rosseau mempelajari buku-buku yang ada di perpustakaan Mme de Warrens, inilah salah satu masa yang sangat penting terhadap pertumbuhan intelektual Rousseau. Namun kemudian di tahun 1742, karena sebuah perselisihan, ia meninggalkan Paris.

Tulisan-tulisan Rousseau

Karirnya sebagai seorang pemikir dimulai saat ia mengikuti sebuah perlombaan menulis essay yang bertema, “Has the Restoration of the Sciences and Arts Tended to Purify Morals?” Dengan pemikiran yang berbeda dengan para pemikir sezamannya, tulisan First Discourse milik Rousseau keluar sebagai pemenang. Di tahun 1754 Rosseau juga menulis untuk kontes yang serupa untuk akademi Dijon, yang berjudul Second Discourse, “On the Origin of Inequality.” Meski tulisannya ini tidak keluar sebagai pemenang namun tulisannya lebih terkenal dibandingkan tulisan sebelumnya.

Tahun-tahun kesudahannya ia menulis berbagai buku. Di tahun 1762 tulisannya yang berjudul Emile dan Social Contract diterbitkan. Di dalam Emile, Rosseau menuliskan mengenai risalah pendidikan di mana Rosseau melihat bahwa untuk menumbuhkembangkan bakat seorang anak, maka hendaknya membebaskannya sesuai dengan keinginannnya. Rousseau menolak pembelajaran melalui buku. Sedangkan Social Contract, yang merupakan karyanya yang paling fenomenal yang berisikan teori pemerintahan yang diartikulasikan dalam Second Discourse.  Di tahun 1770 ia kembali ke Paris dan menulis sejumlah karya, yakni Rosseau juge de Jean-JacquesDialoguesthe Reveries d’un promeneur solitaire, dan the Considerations sur le gouverment de Pologne. Ia kemudian meninggal di tahun 1778.

Keadaan Alamiah dan Masyarakat

Dalam menggambarkan manusia di keadaan alamiah, Rousseau mengatakan bahwa dalam keadaan alamiah, manusia tidaklah bisa dikatakan baik ataupun buruk, ia menulis:

“… manusia dalam keadaan alami, tidak memiliki hubungan-hubungan moral atau kewajiban-kewajiban tertentu satu sama lain, tidaklah mungkin bersifat baik atau buruk, luhur atau tercela… tercela apabila bisa merugikan penjagaan kelangsungan dirinya… ia akan dinilai paling luhur apabila paling sedikit menghambat dorongan-dorongan murni dari alam.”

Ia secara tegas menolak konsepsi Hobbes yang melihat bahwa manusia dalam keadaan alamiah adalah jahat dan tercela. Menurut Rousseau, dikarenakan penjagaan diri yang ingin dilakukan manusia dalam keadaan alamiah, maka manusia berusaha untuk melakukan penjagaan dirinya terhadap orang lain. Sehingga konsekuensi dari perilaku tersebut, tercipta kedamaian pada keadaan alami. Berbeda dengan Hobbes bahwa penjagaan diri yang dilakukan manusia justru mengakibatkan terjadinya penindasan antara satu individu terhadap individu lainnya. Rosseau mengungkapkan dalam tulisannya, bahwa bahkan binatang sekalipun enggan melompati tubuh-tubuh hidup. Maka dari itu merujuk pada Fable of the Bees, Rousseau mengutarakan bahwa manusia adalah mahkluk penyayang dan berperasaan. Dengan kasih sayang inilah yang membedakan antara manusia dengan monster lainnya.

Akan tetapi kemudian manusia alamiah menjadi berubah perilakunya dikarenakan masyarakat dan peradaban di sekitarnya. Masyarakat dan peradaban modern telah mengubah perilaku manusia yang tadinya luhur menjadi jahat. Karena itulah Rousseau membedakan konsepsi nature dan society. Baginya, nature (keadaan alamiah) memang membuat manusia bahagia, akan tetapi masyarakatlah (society) yang membuat manusia rusak dan buruk. Di dalam Contract Social buku pertama ia menulis, “Manusia terlahir bebas dan di mana-mana ia mengenakan rantai.” Kemerdekaan manusia terampas dikarenakan adanya berbagai konvensi, adat istiadat, pembatasan-pembatasan yang melibatkan lembaga-lembaga ekonomi dan politk. Pada intinya struktur sosial yang berkembang di dalam masyarakat telah menyebabkan terpenjaranya individu-individu.

Keadaan ini mengakibatkan manusia kehilangan kebebasannya. Sehingga kemudian berulangkali di dalam Contract Social Rousseau berulangkali mengungkapkan pentingnya kebebasan. Adapun kebebasan dalam definisi Rousseau adalah, “to obey a law which we prescribe for ourselves.” Kebebasan di mana manusia terbebas dari rasa takut akan penaklukan manusia lain terhadap dirinya. Kebebasan di sini mengandung makna ditegakkannya keadilan, sehingga masing-masing individu menghargai hak individu lainnya. Kebebasan di sini berbeda dengan versi Hobbes, kebebasan tidak boleh menjadikan manusia anarki. Kebebasan menyebabkan manusia patuh terhadap hukum, tetapi tidak menjadikan ia sebagai budak.

Kontrak Sosial

Meskipun pada keadaan alamiah manusia pada hakikatnya memiliki karakter yang baik, namun sebaik apapun keadaan alamiah tetap rentan mengakibatkan perang antar manusia. Dan menurut Rousseau, “pertempuran, peperangan dan duel individual adalah tindakan-tindakan yang tidak dapat membentuk sebuah negara…” Oleh karenanya Rousseau, kondisi primitif ini harus segera diakhiri, jika tidak manusia akan segera kehilangan rasnya. Dikarenakan manusia tidak dapat menumbuhkan kekuatan baru, maka yang bisa dilakukan manusia adalah mempersatukan kekuatannya. Gabungan kekuatan ini merupakan instrumen utama bagi terciptanya penjagaan diri, dan hal ini hanya bisa dicapai dengan melaksanakan kontrak sosial.

Secara khusus menurut Rousseau, ketika melakukan kontrak sosial, manusia menyerahkan dirinya kepada seluruh orang dan tidak hanya kepada satu orang, sebagaimana konsepsi Hobbes. Sehingga kemudia atas kehilangannya ini, ia memperoleh satu ekuivalen atas apa yang hilang dari dirinya dan juga mendapatkan satu peningkatan penjagaan terhadap apa yang dimilikinya. Secara khusus Rousseau menuliskan esensi dari kesepakatan sosial, yakni:

“Masing-masing dari kita meletakkan diri dan seluruh kekuatan secara bersama di bawah arahan tertinggi kehendak umum dan dalam kapasitas gabungan kita, kita menerima setiap anggota sebagai satu bagian tak terpisahkan dari keutuhan.”

Oleh karenanya kemudian ketika manusia menggabungkan dirinya dalam sebuah kontrak sosial, maka ia terikat dalam sebuah kapasitas ganda, yakni sebagai anggota kedaulatan ia terikat pada individu-individu dan sebagai anggota negara ia terikat kepada kedaulatan. Dalam pandangan Rousseau, kehendak umum merupakan sebuah hal yang bersifat absolut, ini ditujukan agar perjanjian sosial tidak sekedar rumusan kosong dan keberadaannya diakui dan ditaati. Untuk itu bagi tiap individu yang menolak kehendak umum, dapat dipaksa untuk melakukannya.

Adapun negara atau sistem pemerintahan ideal menurut Rousseau adalah dalam bentuk demokrasi langsung, di mana setiap masyarakat memiliki hak langsung untuk membuat keputusan. Sebab sistem perwakilan dianggap sebagai salah satu bentuk kemalasan manusia untuk memecahkan permasalahan secara bersama-sama. Penyertaan masyarakat secara langsung di dalam pemerintahan juga merupakan salah satu bentuk dari manusia yang merdeka. Sehingga konsekuensi dari pandangan ini adalah mengenai luas negara, yang menurut Rousseau, tidak terlalu besar dan kecil, seperti bentuk negara kota di masa Romawi. 

Legislator dan Agama Masyarakat

Meskipun dalam konsepsi kontrak sosial, Rousseau memandang bahwa masyarakat memiliki hak dan kedudukan yang sama, namun untuk menghindari terjadinya faksi-faksi di dalam masyarakat dan juga menjaga manusia dari “the seducing voice of private wills”, maka dibutuhkan seseorang yang superior, yakni seorang legislator. Konsepsi legislator ini mirip dengan konsepsi Plato mengenai Philosopher King, di mana legislator menurut Rousseau adalah orang yang memiliki kecerdasan yang lebih daripada manusia lainnya. Akan tetapi berbeda dengan Philosopher King, legislator hanya berfungsi untuk merumuskan atau menyusun hukum, bukan untuk memimpin masyarakat dan juga tidak memiliki tujuan pribadi. Sebab yang menjadi pemimpin tertinggi pada masyarakat tetaplah kehendak umum.

Rousseau bersikap terbuka dengan seluruh agama akan tetapi ia mensyaratkan bahwa agama yang dianut masyarakat haruslah agama yang memerdekakan individu, dan bukan memperbudak mereka dengan segala ajarannya. Agama juga diperbolehkan selama dogma-dogma yang ada di dalam agama tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban warga negara atau dengan kata lain tidak bertentangan dengan kehendak umum. Sehingga dengan konsepsi ini jelas-jelas bahwa Rousseau menolak agama Kristen yang memiliki dogma bahwa tidak ada keselamatan selain di luar gereja. Sebab konsepsi ini memanipulasi manusia, seolah-olah ia dalam keadaan bebas, namun pada hakikatnya ia tidak bebas.

Kritik Terhadap Rousseau

Tidak berlebihan jika banyak ahli yang mengatakan bahwa Rousseau memiliki pemikiran yang paradoks. Sebab pada beberapa pemikirannya dapat kita ketemukan, di satu sisi sangat menjujung kebebasan namun di sisi lain karena untuk menjamin tercapainya kebebasan itu, malah dapat mengakibatkan terciptanya pengekangan. Sabine menyebut keadaan ini sebagai paradoks kebebasan.

Paradoks pemikiran Rousseau ini dapat dilihat misalnya dalam pernyataannya mengenai kehendak umum, di mana jika seseorang menolak terhadap isi perjanjian sosial atau kehendak umum, maka orang tersebut dapat dipaksa untuk tetap tunduk terhadap aturan tersebut. Sebab justru dengan paksaan tersebut, ia dipaksa untuk menjadi bebas. Cara berfikir bahwa dengan pemaksaan-lah akan terbentuk kebebasan, ini merupakan cara yang keliru. Sebab, bisa saja maksud Rousseau ini diungkapkan dalam bentuk lain yang lebih halus dan tidak mengandung pemaksaan, seperti bahwa hanya dengan membatasi kebebasan masing-masing individu dan menghormati individu, dengan mematuhi aturan kehendak umum yang menjamin kebebasan setiap individu, manusia harus tunduk pada kehendak umum. Namun dalam konsepsi Rousseau yang memperbolehkan adanya pemaksaan dengan dalil demi tercipta kebebasan, maka akan mendatangkan sebuah keadaan totaliter. Di mana kehendak umum akan selalu dijadikan acuan untuk memaksakan kehendak seluruh individu. 

Paradoks pemikiran Rousseau juga dapat dilihat dari konsepsinya terhadap agama. Di mana di satu sisi ia sangat toleran dan terbuka untuk setiap agama, dan di satu sisi ia melarang agama yang bertentangan dengan kehendak umum. Ia juga menentang agama yang menjadikan penganutnya menjadi budak. Pertanyaan selanjutnya adalah, pada tingkatan apa seseorang penganut agama dikatakan sebagai budak. Sebab agama dianut oleh penganutnya merupakan salah satu bentuk kecintaannya terhadap Tuhan dan salah satu bentuk komunikasinya terhadap Tuhan. 

Oleh karena itu, jika seorang penganut agama berdoa siang dan malam, melakukan segala perbuatan yang diatur oleh agamanya dapatkah dikatakan sebuah bentuk perbudakan atau justru sebaliknya simbol kecintaan kepada Tuhan. Sebuah kecintaan kepada Tuhan ini yang bagi manusia yang menjalaninya adalah bentuk kemerdekaan untuk mengekspresikan cintanya kepada Tuhan. Sehingga kemudian ketika Rousseau memberi batasan bahwa agama yang diperbolehkan adalah agama yang tidak menjadikan penganutnya sebagai budak, ini merupakan sebuah paradoks dari konsepsi Rousseau terhadap kemerdekaan. 

Daftar Pustaka

Losco, Joseph. 2005. Political Theory, Kajian Klasik dan Kontemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Noor, Deliar. 1982. Pemikiran Politik di Negara Barat. Jakarta: PT. Rajawali Press.

Mc Donald, Lee Cameron. 1968. Western Political Theory: From its Origins to the Present.  New York: Harcout, Brace & World, inc.

Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat.  Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sabine, George H. 1964. Teori-teori Politik (2): Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya. Bandung: Binacipta. 

Sumber gambar: https://en.m.wikipedia.org/wiki/File:Maurice_Quentin_de_La_Tour_-Portrait_of_Jean-Jacques_Rousseau-_adjusted.jpg  

Views: 7088