Yon Machmudi, Ph.D, Pengamat Timur Tengah

Perkembangan terakhir menunjukkan kehadiran China yang cukup masif di kawasan Timur Tengah. Ketika AS tidak lagi menjadikan Timur Tengah sebagai prioritas utama geopolitiknya maka dipastikan bahwa China menjadikan kesempatan ini untuk lebih intensif mendorong kepentingannya di kawasan ini. China dengan pendekatan lunaknya (soft approach) dianggap lebih cocok untuk kawasan Timur Tengah di masa depan.
Bagi China, Timur Tengah adalah sumber energi dan bagi Timur Tengah, China adalah pasar altenatif menggantikan AS. China juga merupakan negara yang dapat memberikan pasokan senjata bagi negara-negara di kawasan Timur Tengah dengan tidak banyak mengaitkan dengan masalah politik regional. China dalam hal ini, cenderung menghindari ikut campur dalam urusan domestik di kawasan Timur Tengah karena lebih fokus dengan pendekatan ekonomi. Berbeda dengan AS yang sering menunda kesepakatan pembelian persenjataan dengan mengaitkan dengan isu-isu tertentu yang mengganggu pihak mitra di kawasan. Ketika AS masih menjadi pemain tunggal di kawasan, negara-negara di kawasan cenderung tidak memiliki pilihan selain mengikuti, tetapi ketika AS mengurangi keterlibatannya di kawasan dan hadirnya China sebagai alternatif maka kondisinya akan berbeda.
Dalam konteks yang lebih khusus, rivalitas AS dan Tiongkok ini membawa dampak pada hubungan Israel-Arab Saudi, Arab-Saudi Iran dan Perdamaian Israel-Palestina. Ini bisa dimaklumi karena sebagaimana AS, Tiongkok juga memiliki hubungan formal dengan Israel. Jika AS menjadikan Israel sebagai aliansi utamanya di kawasan Timur Tengah maka China menjadikan Iran sebagai aliansi strategisnya. Berbeda dengan Iran yang sudah melakukan normalisasi dengan Arab Saudi karena dimediasi oleh Tiongkok sebaliknya proses normalisasi Israel dengan Arab Saudi masih mendapatkan batu ganjalan. Semangat Israel untuk menormalisasi belum memenuhi expektasi pihak Arab Saudi. Di samping Arab Saudi menginginkan kompensasi dalam bentuk proyek pertahanan dengan Amerika Serikat, Arab Saudi juga menjadikan Palestina sebagai salah satu prasyarat yang harus diperhatikan oleh Israel.
Bagaimana pengaruh rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok-Rusia dalam perbaikan hubungan Israel-Arab Saudi / Arab Saudi – Iran dan dinamika Timur tengah secara keseluruhan? – Hal apa saja yang berpengaruh bagi Indonesia dan saran mitigasi awal apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah atas apa yang terjadi di kawasan Timur Tengah?
Timur Tengah antara AS dan China
Para analis berargumentasi bahwa jika Washington memaksa kawasan ini untuk memilih antara AS atau Tiongkok, maka jawabannya adalah hal yang mudah – teman-teman AS di kawasan ini enggan memancing kemarahan negara adidaya tersebut, terutama ketika kehadiran militernya di kawasan Timur Tengah Timur masih ekspansif. Namun pada akhirnya, kawasan ini mungkin tidak punya pilihan selain mengambil keuntungan dari Tiongkok meskipun itu berarti mereka harus tunduk pada hukuman Amerika.
Ini berarti bahwa negara-negara di kawasan Timur Tengah terutama negara-negara yang tergabung dalam Gulf Countries Cooperation (GCC) akan menjadikan Tiongkok sebagai mitra masa depan menggantikan AS. Jika AS tidak mengubah pendekatannya yang cenderung menekan dan penuh ancaman (hardpower) maka bisa dipastikan lambat laun AS akan ditinggalkan dan kepentingan Israel tidak akan terlindungi dengan baik. Dalam hal ini normalisasi antara Israel dan Arab Saudi menjadi prioritas utama AS dan Israel dalam waktu dekat. Walaupun sebenarnya, Arab Saudi menyebutnya proses berjalan dengan baik dan semakin mendekati realitas tetapi tidak ada jaminan dari Arab Saudi kapan itu akan dilakukan. Arab Saudi nampak sengaja bermain dengan waktu sebelum ada sinyal yang tegas dari AS tentang proyek pengayaan nuklir yang diusulkan sebagai salah satu kondisi yang harus dijamin oleh AS. Tentu ini akan menjadi ganjalan dari Israel di samping perhatian Saudi pada masalah Palestina.
Kecenderungan negara-negara Timur Tengah untuk mulai menolak permohonan AS secara halus dapat dilihat dalam beberapa kasus berikut ini.
Anwar Gargash, seorang diplomat penasehat politik Muhammad bin Zayed Uni Emirat Arab dalam sebuah pidatonya di Forum the Arab Gulf States Institute in Washington pada Dsember 2021 bahwa yang kami khawatirkan adalah garis tipis antara persaingan ketat antara AS dan Tionkok dan Perang Dingin baru. Bagi negara kecil seperti UEA pasti akan terkena dampak negatif dari hal ini, tapi tidak akan mempunyai kemampuan apapun untuk mempengaruhi persaingan ini (CNN, 28 Des 2021).
Namun demikian, ketika dihadapkan antara pilihan kerjasama ekonomi dengan Tiongkok dan realiasi pembelian persenjataan dengan AS yang disertai persyaratan maka nampaknya UEA cenderung memilih mengikuti TIongkok.
Amerika seringkali tidak berhasil dalam upayanya untuk mendapatkan pengaruh di negara tersebut. Beberapa hari setelah pernyataan Gargash, Abu Dhabi tampaknya memutuskan untuk menghentikan dukungan kepada Amerika. Mereka menunda pembelian pesawat F-35 buatan Amerika yang bernilai miliaran dolar, yang merupakan kesepakatan pertama dengan negara Arab. AS telah menawarkan penjualan tersebut dengan syarat bahwa UEA harus mengeluarkan Huawei Technologies Co., perusahaan Tiongkok, dari jaringan telekomunikasinya. Washington berpendapat bahwa teknologi tersebut membawa risiko keamanan bagi sistem persenjataannya, terutama pesawat yang dikenal sebagai “permata mahkota” oleh AS.
Namun, Abu Dhabi memiliki pandangan yang berbeda. Seorang pejabat Emirat mengatakan bahwa keputusan mereka untuk tetap menggunakan Huawei, bahkan dengan mengorbankan F-35, didasarkan pada pertimbangan “analisis biaya/manfaat”. Mereka menunjukkan bahwa mereka tidak akan selalu patuh terhadap tuntutan AS terhadap Tiongkok dan mengabaikan ide Washington tentang kesepakatan perdagangan Tiongkok yang sebenarnya disamar-samarkan sebagai aktivitas militer rahasia.
Dalam kasus Arab Saudi dapat dilihat ketika AS meminta Arab Saudi agar menaikkan produksi minyak guna mengatasi kelangkaan dan mahalnya harga minyak karena dampak perang Rusia-Ukraina. Arab Saudi tidak memenuhi permintaan tersebut dan justru sebaliknya malah mengurangi produksi minyaknya. Tentu kebijakan ini sangat merugikan AS dan menunjukkan Arab Saudi yang dinilai lebih pro terhadap Rusia.
Tidak hanya itu saja, negara anggota eksportir minyak (OPEC+) Uni Emirat Arab mendukung sikap Arab Saudi yang menolak tunduk kepada Amerika Serikat soal pemangkasan produksi minyak. Pemerintah UEA mengungkapkan mereka mendukung upaya Saudi menstabilkan energi dan keamanan. Demikian juga negara seperti Bahrain juga memberikan dukungan kepada Arab Saudi dan mengapresiasi peran Arab Saudi saat ini dalam menstabilkan keamanan dan perdaiamain regional (CNN Indonesia, 18 oktober 2022).
Sebelumnya, Menteri Pertahanan Arab Saudi Khalid bin Salman mengungkapkan kebingungannya terkait komentar yang menduga bahwa Saudi mendukung Rusia dalam konteks keputusan OPEC+. “Kami merasa heran dengan tuduhan bahwa kerajaan mendukung Rusia dalam perang di Ukraina. Itu adalah tuduhan yang tidak benar dan dipastikan bukan berasal dari sumber resmi pemerintah Ukraina,” kata Khalid dalam sebuah pernyataan di akun Twitter-nya pada hari Minggu (16/10), seperti yang dilaporkan oleh CNN. Beberapa pejabat Amerika Serikat sebelumnya mengkritik tindakan OPEC+ yang mengurangi produksi minyak hingga dua juta barel per hari. Mereka mengkhawatirkan bahwa kebijakan tersebut dapat meningkatkan harga minyak dan memberikan dukungan finansial untuk konflik global. Bahkan Presiden AS Joe Biden mengancam untuk memberikan “konsekuensi” kepada Saudi Arabia sebagai akibat dari langkah OPEC+ ini. Tidak hanya itu, Sekretaris Pers Gedung Putih, Karine Jean-Pierre, menyatakan bahwa “dengan jelas, OPEC+ telah bersekutu dengan Rusia.”
Pada awal September 2023 yang lalu Arab Saudi juga mengumumkan kembali rencana mereka untuk mengurangi produksi minyak hingga 1 juta barel perhari dan itu dilaksanakan hingga akhir tahun 2023. Ancaman AS terhadap Saudi nampaknya tidak menyurutkan langkah Saudi dalam rangka untuk menciptakan naiknya harga minyak di pasaran. Langkah-langkah Saudi dan anggota OPEC lainnya dianggap sejalan dengan kebijakan Rusia. China sendiri mulai meningkatkan permintaan kebutuhan minyaknya kepada negara-negara penghasil minyak di kawasan.
Seiring dengan perkembangan di atas, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Iran dan Mesir pada Agustus 2024 memutuskan untuk bergabung dengan kekuatan ekonomi alternatif BRICS (Brazil, Russia, India, China, dan Afrika Selatan). Nampaknya Arab Saudi telah siap untuk memainkan perannya secara independen di kawasan Timur Tengah dengan berani mengesampingkan tekanan AS yang dalam kurun waktu cukup lama menunjukkan kekuatan hegemoni di Timur Tengah. Hanya saja Arab Saudi tentu tidak sepenuhnya menempatkan diri pada kekuatan alternatif BRICS dalam menopang program reformasi ekonominya tetapi juga tetap menjalin aliansi dengan negara-negara G20.
Hubungan Israel-Arab Saudi, Arab Saudi-Iran dan Israel-Palestina
Dalam kondisi seperti ini apakah AS masih dapat menekan Saudi dalam hal percepatan normalisasi Israel dengan Arab Saudi? Nampaknya posisi Saudi saat ini berada di atas angin dan berusaha untuk mendesakkan kepentingannya dalam hal paket pertahanan jika normalisasi itu akan terjadi.
Tentu untuk dapat menarik dukungan dari Arab Saudi AS tidak lagi dapat menggunakan tekanan yang biasa dilakukan. Tawaran-tawaran Tiongkok dalam bentuk proyek ekonomi memberikan daya tawar yang tinggi bagi Arab Saudi. Oleh karena itu apabila AS ingin dapat mengambil kembali kekuatan di kawasan Timur Tengah guna mendukung program normalisasi Israel dengan Arab Saudi maka perlu adanya upaya untuk menawarkan proyek ekonomi yang nyata maupun kemampuan untuk menjanjikan keuangan secara langsung.
AS pun mencoba untuk menawarkan rencana-rencana dalam bentuk IMEC Project yang melibatkan dua koridor ekonomi. Satu koridor yang menghubungkan India ke Teluk Arab dan koridor ekonomi lainnya yang menghubungkan Teluk Arab ke Eropa. Tawaran ekonomi ini bertujuan untuk memperkuat konektifitas ekonomi antara negara-negara di kawasan, termasuk Arab Saudi dengan Israel.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 di India pada 9 September 2023, Amerika Serikat, Uni Eropa, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Perancis, Italia, dan Jerman, menyepakati untuk membangun kerja sama ekonomi tiga kawasan, yaitu Eropa, Asia, dan Timur Tengah atau IMEC (India-Middle East-Europe Economic Corridor). Kesepakatan itu diteken oleh Presiden AS, Perdana Menteri India, Presiden Komisi Eropa, dan Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Pangeran. Dalam pandangan AS kerjasa ini dinilai sebagai prestasi besar yang akan mempengaruhi dinamika global ke depan terutama di kawasan Timur Tengah.
Pendekatan ekonomi AS menunjukkan tren yang menarik karena ada perubahan mendasar pendekatan AS yang awalnya sarat dengan intervensi militer dan tekanan politik kemudian berubah menjadi lebih lunak dengan mengedepankan insentif ekonomi yang sama persis dengan kebijakan China di kawasan Timur Tengah. Lebih detail AS membayangkan ke depannya negara-negara di kawasan Timur tengah bukan lagi sebagai sumber konflik atau krisis tetapi sebaliknya menjanjikan sebuah kerjasama internasional yang saling menguntungkan.
Koridor ekonomi yang menghubungkan Timur Tengah dan Eropa difasilitasi melalui jalur kereta api dan jalur laut yang tentunya akan melintasi Israel. Koridor ini akan diawali dari India, melalui Uni Emirat Arab, selanjutnya terhubung ke Arab Saudi dan selanjutnya terhubung ke Israel. Dari sini kemudian terkoneksi ke Eropa (Kompas, 18 September 2023).
Dalam hal hubungan Israel dan Arab Saudi ini, AS sangat percaya bahwa tawaran ekonomi ini akan memfasilitasi bertemunya kepentingan Saudi dan Israel. Ini diperkuat dengan pernyataan Putra Mahkota Arab Saudi, Muhammad bin Salman, yang menyebutkan bahwa hari demi hari hubungan Arab Saudi dan Israel semakin dekat. Peryataan MBS ini disampaikan tidak lama setelah pertemuan antara Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu dengan Presiden AS, Joe Biden yaitu pada 20 September 2023 melalui wawancara ekskusif dengan Fox TV.
Dalam hal ini apabila tuntutan dan permintaan jaminan Arab Saudi kepada AS dalam kaitannya dengan pengayaan nuklir dipenuhi maka langkah untuk menuju normalisasi itu semakin dekat. Walaupun demikian, keinginan Arab Saudi itu belum tentu disepakati oleh Israel, karena kekhawatiran Israel akan penggunaan nuklir untuk kepentingan persenjataan sebagai mana dilakukan oleh Iran. Apalagi Iran dan Saudi saat ini telah membangun kembali kerjasama melalui normalisasi hubungan kedua negara. Ini tentu akan menjadi ganjalan terhadap upaya normalisasi Arab Saudi dan Israel. Dalam pertemuan antara Biden dan MBS juga didiskusikan rencana membangun semacam pakta pertahanan seperti yang terjadi antara AS dan Jepang maupun Korsel yang melibatkan AS dan Saudi di mana ketika ada ancaman di antara salah satu negara maka mereka akan saling membantu dengan memberikan bantuan militer.
Ganjalan lain yang belum dapat diselesaikan adalah ditempatkannya prasyarat oleh Arab Saudi berkaitan dengan nasib Palestina sebelum kesepakatan normalisasi dilakukan. Dalam pernyataannya pada 20 September 2023, MBS menyebutkan bahwa normalisasi dengan Israel akan mempertimbangkan terciptanya kemudahan atau membaiknya kondisi rakyat Palestina. MBS tidak secara langsung menyebut kemerdekaan bagi Palestina tetapi suara mayoritas elit politik dan rakyatnya mengisyaratkan pentingnya kemederdekaan bagi Palestina. Normalisasi tanpa melibatkan masalah Palestina tentu akan sulit terjadi karena sikap Raja Salman sendiri dan mayoritas keluarga kerajaan masih menunjukkan dukungan yang kuat bagi kemerdekaan Palestina. Tentu Muhammad bin Salman tidak ingin mengambil resiko dengan terburu-buru mendeklarasikan normalisasi itu karena potensi penentangan dari keluarga dalam istana yang berpotensi mengancam stabilitas politik Arab Saudi. MBS belum menjadi raja maka jalan menujusu suksesi kemimpinan harus berlangsung secara baik tanpa ada resistensi dari pihak keluarga istana.
AS sendiri melalui Joe Biden dalam pertemuannya dengan Netanyahu juga menekan Israel akan mempertimbangkan masalah Palestina guna mempercepat realisasi normalisasi hubungan Israel dan Saudi. Tentu pihak Biden berkepentingan untuk menyegerakan pengesahan normalisasi itu guna memberikan insentif bagi Biden agar terpilih kembali pada pemilu AS pada 2024 nanti. Persoalan Palestina tentu menjadi ganjalan tersendiri bagi Israel mengingat pemerintah Israel yang berkoalisi dengan partai sayap kanan tidak menginginkan adanya konsensi berupa negara bagi Palestina demi melangsungkan agenda normalisasi.
Netanyahu sendiri telah menyampaikan konsen itu kepada pihak mitra koalisi. Pihak partai sayap kanan Israel hanya membatasi masalah Palestina pada pemberian insentif ekonomi pada Pemerintah Otoritas Palestina yang berbasis di Ramallah dan tidak menjanjikan adanya suatu negara. Sikap Israel ini terkonfirmasi dalam pidato 22 September 2023 Netanyahu di Sidang Umum PBB September 2023 di mana dia menampilkan peta baru Israel yang memasukkan Gaza, Tepi Barat dan Dataran Gholan dalam wilayah Israel tanpa menyebut nama Palestina. Dia menyatakan bahwa selama ini ada anggapan bahwa proses perdamaian antara negara Israel dan negara-negara Arab itu tidak akan terjadi tanpa memberikan kemerdekaan kepada Palestina. Menurutnya itu tidak benar karena Israel tidak menginginkan Negara Palestina dijadikan sebagai veto atas setiap langkah menuju normalisasi (The Times of Israel, 25 September 2023).
Sementara Otoritas Palestina dalam pembicaraannya dengan pejabat Arab Saudi dan AS telah meminta dukungan kepada AS atas kemerdekaan Palestina. Hingga saat ini sebenarnya AS memberikan kritik yang keras kepada Israel berkaitan dengan proyek pendudukan dan pemukiman baru yang dianggap menimbulkan masalah. AS juga mengkritik proses Judicial Reform di Israel yang dianggapnya dapat merusak demokrasi bagi rakyat Israel. Pertemuan antara Biden dan Netanyahu sebenarnya telah ditunda hampir 9 bulan lamanya dan baru terjadi ketika Biden membuka kesempatan bagi Netanyahu untuk bertemu di selah-selah acara Sidang Umum PBB. Pertemuan itu pun tidak dilakukan di Gedung Putih sebagai tanda ketidaknyamanan AS terhadap Israel. Walaupun demikian Netanyahu dalam pertemuan itu menekankan pentingnya normalisasi dengan Arab Saudi dan itu bisa dilakukan dengan dukungan kepemimpinan Biden (Times of Israel, 20 September 2023).
Perkembangan terakhir di kawasan Timur Tengah berkaitan dengan hubungan Israel Arab Saudi menunjukkan skor 1. Artinya negosiasi yang dilakukan oleh AS dan Arab Saudi dengan memberikan dukungan berkaitan dengan isu pertahanan, nuklir bagi Saudi dan koridor baru ekonomi menjadikan Arab Saudi sangat konfiden bahwa itu akan semakin mendekatkan Saudi dengan Israel. Walaupun ada kekhawatiran dari pihak Israel nampaknya isu nuklir bagi Saudi akan menjadi pembuka jalan menuju stabilitas yang lebih menjanjikan. Namun demikian, masalah Palestina masih menjadi sandungan yang harus diselesaikan. Untuk mengatasi hal ini AS menawarkan program insentif ekonomi dalam bentuk investasi dan pembangunan di Jalur Gaza dan Tepi Barat, yang masuk dalam dalam skema perdamaian Palestina-Israel.
Sementara dalam hal skor untuk hubungan Palestina Israel sendiri nampaknya masih pada kisaran angka minus 2. Walapun ada janji-janji perbaikan nasib rakyat Palestina ke depan tetapi Israel sendiri tidak ingin memberikan konsensi “negara” bagi Palestina dan program pemukiman baru masih terus berlangsung dan mengancam wilayah Palestina. Kondisi hubungan Palestina Israel masih tergantung dalam poin-poin kesepakatan normalisasi Israel-Saudi yaitu sejauhmana Palestina diakomodasi hak-haknya. Pejabat Presiden Palestina Mahmoud Abbas bertemu Raja Jordania Abdullah II dan Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi untuk membahas aspirasi Palestina dan mereka menekan Riyadh agar tidak meninggalkan rakyat Palestina dan hak-haknya jika rencana normalisasi itu benar-benar terjadi (Kompas, 18 September 2023).
Dalam hal hubungan Arab Saudi Iran nampaknya telah menunjukkan tren positif di mana China di pihak Iran telah berhasil mendamaikan kedua negara tersebut dan menawarkan koridor ekonomi dan investasi ekonomi yang lebih dulu dibandingkan AS. Skor stabilitas hubungan Iran-Saudi berada pada angka 3 karena dengan adanya normalisasi dan penguatan kerjasama dengan Iran potensi ancaman dan konflik di kawasan semakin tereduksi. Tren positif ketika Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Iran secara resmi menjadi anggota BRICS pada Agustus 2020.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Perkembangan terakhir di kawasan Timur Tengah pada September 2023 dapat digambarkan sebagai adanya progres yang cukup signifikan berkaitan dengan rencana normalisasi Arab Saudi dan Israel. Namun progres itu masih menunggu pemenuhan Arab Saudi terhadap AS dan pertimbangan Palestina.
Terjadi tren positif dalam hal pendekatan AS yang dulunya lebih menunjukkan sikap arogansi dan cenderung hegemonik saat ini telah mencoba untuk memberikan tawaran baru dalam bentuk insentif ekonomi yang disebut dengan IMEC. Tawaran ini tentu akan menjadi pilihan bagi negara-negara di Kawasan apakah akan menyambut secara antusias atau malah lebih condong pada program ekonomi China. Kecenderungannya negara-negara Arab akan bekerjasa dengan China yang tergabung dalam BRICS dan pada waktu yang sama juga tidak melepas kesempatan mendekat kembali ke AS melalui G20.
Bagi Indonesia, perkembangan ini perlu dicermati berkaitan dengan dinamika di kawasan di mana rivalitas AS-China dan Rusi juga mulai menguat. Kecenderungan negara-negara Arab untuk tidak mengikuti tekanan AS dalam hal penambahan jumlah produksi minyak tentu akan berdampak ke Indonesia. Mulai September 2023 hingga akhir tahun Saudi justru akan mengurangi produksi minyak hingga 1 juta barel perhari. Peningkatan harga minyak dunia hingga akhir tahun masih potensi persoalan dunia ke depan.
Dalam menyikapi kemungkinan terjadinya normalisasi Israel dan Saudi, perlu kehati-hatian dengan tetap menunjukkan sikap menghormati kebijakan Arab Saudi dan konsisten dengan mendukung realisasi Two States Solution bagi negara Palestina. Indonesia hendaknya tidak terbawa situasi gencarnya AS dan Israel dalam mempromosikan normalisasi Israel dengan negara-negara Arab dan Muslim di dunia tanpa memperhatikan komitmen pada Palestina. Indonesia tidak memiliki kepentingan Geopolitik dalam kaitannya konflik Israel-Palestina dan dukungan Palestina semata-mata sebagai tanggung jawab warga dunia untuk memastikan hak-hak Palestina tidak dikorbankan.
[1] Disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Kajian Urgen dan Cepat (Jurpat 18) Ditjian Idiologi dan Politik Debidjianstrat Lemhanas RI tahun 2023 di Jakarta, 26 September 2023.
Views: 106