Mencegah Polarisasi Politik Terulang melalui Peranan Pemilih Muda

Fadhlan Aldhifan, Peneliti InMind Institute

Di tengah hingar-bingar demokratisasi dalam kurun satu dekade terakhir, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia mengalami polarisasi politik yang pada tahap tertentu berimplikasi pada keterbelahan di tengah masyarakat. Sejalan dengan itu polarisasi yang ada kemudian mengancam institusi demokrasi dan tatanan sosial di negara ini.

Polarisasi yang terjadi pada masyarakat erat kaitannya dengan kehadiran peran elite politik dengan status sosial-ekonomi dan latar belakang orientasi sosial-keagamaan yang berbeda. Kedua faktor inilah yang menyebabkan semakin mendalamnya polarisasi masyarakat (Jati, 2022). Dengan kata lain bahwa polarisasi di akar rumput sulit dilepaskan dari faktor elite politik.

Pemilihan umum menjadi salah satu pemantik utama polarisasi yang berangkat dari perbedaan pilihan politik, termasuk dengan yang terjadi di Indonesia. Pembelajaran terpenting dari pemilu antara tahun 2014 dan 2019 adalah bahwa tingkat polarisasi mengalami eskalasi di masyarakat. Untuk itu menjelang berlangsungnya Pemilihan Umum pada 2024 mendatang, idealnya kita tidak hanya memandangnya sebagai ajang prosedural semata dalam proses distribusi kekuasaan di antara para elite politik melainkan mengokohkan konsensus bagi persatuan bangsa.

Dalam konteks polarisasi politik di Indonesia, Warburton (2020) berpandangan terdapat dua faktor yang menjelaskannya. Pertama, strategi dan kepribadian para elite politik memainkan peran kunci dalam mengaktifkan perpecahan yang masih terbengkalai di era Reformasi. Kedua, kondisi struktural yang berkaitan dengan kerentanan Indonesia terhadap populisme menyebabkan pesan-pesan politik yang terpolarisasi mendapat daya tarik yang luas di kalangan para pemilih. Seperti halnya dijelaskan sebelumnya, isu dan narasi identitas tidak menjadi faktor tunggal dalam memantik polarisasi sekalipun perannya sangat signifikan. Ketimpangan akan akses terhadap sumber daya ekonomi yang dikapitalisasi juga rentan memicu lahirnya jurang pemisah di antara masyarakat.

Kepribadian dan intrik elit yang dijelaskan di atas hanya terjadi di Indonesia, namun penyebab polarisasi di negara ini juga umum terjadi di negara-negara demokrasi lainnya. Salah satunya adalah bangkitnya populisme yang telah memperdalam polarisasi di Indonesia. Sebagaimana dikemukakan oleh Paul D. Kenny (2017), negara demokrasi patronase seperti Indonesia sangat rentan terhadap populisme karena “mobilisasi populis tumbuh subur ketika ikatan antara pemilih dan identifikasi partai politik tidak ada atau rusak.” Ketika hubungan antara pemilih dan identifikasi partai politik (Party ID) lemah, individu-individu karismatik di tingkat nasional mendapatkan ruang untuk dapat memobilisasi massa secara luas.

Kendati demikian kita perlu menatap Pemilihan Umum 2024 dengan lebih optimis bagi konsolidasi demokrasi Indonesia. KPU RI menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional untuk Pemilu 2024 sebesar 204.807.222 jiwa. Dari jumlah itu, 52 persen diantaranya merupakan pemilih muda atau 106.358.447 pemilih yang berusia kurang dari 40 tahun. Fakta bahwa pemilihan umum mendatang akan didominasi oleh partisipasi pemilih muda dapat menjadi angin segar. Karakteristik generasi muda yang berbeda dengan generasi sebelumnya diharapkan dapat mendorong lahirnya model partisipasi politik alternatif yang berorientasi pada gagasan programatik. Sehingga dengan begitu potensi kembali terjadinya polarisasi politik oleh sebab fanatisme terhadap tokoh dapat dihindari.

Kebutuhan pemilih muda akan ruang berdemokrasi yang lebih partisipatif juga di sisi lain harus cermat dimaknai oleh elite politik sebagai sarana politik akomodasi. Hal ini tentu bukan tanpa sebab mengingat kesadaran pemilih muda untuk enggan hanya sebatas dipandang sebagai komoditas politik semata. Pemahaman akan tantangan global ke depan seperti krisis iklim, akses pendidikan, layanan kesehatan, hingga kesenjangan antara penawaran dan kebutuhan dalam pasar tenaga kerja dipandang generasi muda sebagai permasalahan konkrit yang harus diselesaikan melalui proses politik yang ada.

Dengan demikian kita dapat melihat masa depan Indonesia sebagai negara yang tidak hanya menerapkan demokrasi secara prosedural, melainkan juga secara substansial mengimplementasikan nilai-nilainya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Cita-cita itulah pula sebagaimana telah menjadi napas perjuangan panjang sedari para pendiri bangsa melalui ideologi Pancasila. Konsensus bersama inilah yang selayaknya mendasari terciptanya persatuan sebagai sesama anak bangsa di tengah keniscayaan perbedaan yang ada.

Tag: #demoratisasi #Polarisasipolitik #Pemilihmuda #Pemilu2024

Referensi

Jati, Wasisto Raharjo. (2022). ‘Polarization of Indonesian Society during 2014-2020: Causes and Its Impacts toward Democracy’. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 26, Issue 2, November 2022 (152-167).

Kenny, Paul D. (2017). Populism and Patronage: Why Populists Win Elections in India, Asia, and Beyond. New York: Oxford University Press.                        

Warburton, Eve. (2020). ‘Deepening Polarization and Democratic Decline in Indonesia’ dalam Thomas Charothers dan Andrew O’Donohue (ed), Political Polarization in South and Southeast Asia: Old Divisions, New Dangers. Carnegie Endowment for International Peace.

Views: 88