Farhan Abdul Majiid, Peneliti InMind Institute
Mahasiswa Pascasarjana School of Transnational Governance, European University Institute, Italia
Semangat Reformasi 1998 tidak sekadar bertumpu pada demokratisasi seluas-luasnya. Lebih daripada itu, Reformasi 1998 juga mengamanatkan desentralisasi otoritas kekuasaan. Hari ini, kita melihat ada dua fenomena yang bergerak pada arah yang berlainan. Teknologi informasi memungkinkan demokratisasi yang lebih luas, sementara kekuasaan berada pada kecenderungan berputar arah menuju resentralisasi.
Berkenaan dengan peringatan seperempat abad Reformasi sekaligus menyongsong pemilu serempak di tahun depan, penting kiranya merefleksikan kembali perjalanan Reformasi. Terlebih, banyak ahli telah mengingatkan, bahwa ancaman terbesar demokrasi sejatinya bukan dari serangan negara lain. Melainkan berasal dari aktor-aktor di dalam sistem demokrasi, yang mereka dipilih secara demokratis, namun menjalankan upaya sistematis untuk melemahkan demokrasi itu sendiri (Levitsky & Ziblatt, 2018)
Arah Kemajuan
Semangat reformasi untuk meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi kekuasaan terbantu oleh hadirnya media sosial. Terungkapnya kasus korupsi di Kementerian Keuangan yang disusul dengan kritik tajam atas kinerja gubernur Lampung menunjukkan benang merah yang menarik. Keduanya terekspose ke publik akibat dentuman keras di media sosial.
Media sosial telah membantu memasifkan dan memperluas jangkauan demokratisasi. Kritikan kepada pemerintah tidak lagi disalurkan melalui jalur-jalur terkurasi semata, seperti media massa ataupun posko pengaduan pemerintah. Kini, siapapun dapat menuangkan kritik kepada pemerintah. Mereka cukup mengunggahnya di akun media sosial masing-masing, dan jika algoritma mendukung, apa yang mereka adukan akan ikut terangkat ke permukaan.
Situasi ini mendobrak media konvensional yang acapkali dikritik karena terlampau mengurasi kritik secara berlebih, memiliki ruang publikasi terbatas, dan konsentrasi sirkulasi di Jakarta. Dengan media sosial, tulisan seperti apapun dapat dilontarkan ke ruang publik, dengan panjang dan format kritikan yang tidak terbatas, dan tersirkulasi secara luas ke seluruh penjuru dunia.
Disrupsi media sosial atas media konvensional ini dapat kita katakan sebagai perluasan dan pendalaman proses demokratisasi. Semakin banyak aspirasi rakyat yang bisa disuarakan ke ruang-ruang publik. Masyarakat pun semakin kritis terhadap kebijakan pemerintah. Ketika ada ketidakberesan yang hadir di depan kepala mereka, mulai dari jalan rusak hingga kesewenangan oknum pejabat, mereka dapat melaporkan secara langsung pada publik.
Arah Kemunduran
Di tengah gerak yang mengindikasikan kemajuan, sayangnya kita juga menemukan adanya gerak yang berusaha membalikkan arah semangat reformasi. Salah satu kekeliruan mendasar dari Orde Baru yang berusaha dibalikkan oleh Reformasi adalah desentralisasi kekuasaan. Perjalanan sejarah membuktikan kekuasaan yang terkonsentrasi di segelintir elit merapuhkan pondasi cita-cita kerakyatan bangsa Indonesia.
Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan adanya upaya untuk melakukan resentralisasi kekuasaan. Memang belum semasif masa orde baru, akan tetapi indikasi yang ada sudah cukup mengkhawatirkan.
Pelucutan independensi KPK dalam UU hasil revisi menunjukkan adanya upaya politis dalam pelemahan pemberantasan korupsi. Perlu diakui, praktik pemberantasan korupsi oleh KPK selama ini juga cukup kental nuansa politisnya (Juwono, 2016). Walau demikian, menempatkannya sebagai bagian dari eksekutif adalah upaya yang kontraproduktif dan semakin menguatkan masuknya kekuasaan politis dalam proses pemberantasan korupsi.
Keberadaan Omnibus Law dalam bidang ketenagakerjaan, dan yang kini sedang ramai dibicarakan, dalam bidang kesehatan, memperlihatkan adanya upaya untuk resentralisasi otoritas di tingkat pusat. Kebijakan-kebijakan yang sebelumnya ada dalam lingkup wewenang daerah diambil alih oleh pusat demi menarik arus investasi.
Di kekuasaan Yudikatif, kita perlu menaruh perhatian ekstra pada MK. Ketua MK yang kembali terpilih untuk periode 2023-2028 merupakan saudara ipar dari presiden menimbulkan bahaya etis. Apalagi, MK memiliki poisisi sentral dalam penentuan konstitusionalitas atas sebuah produk legislatif. Jika tidak diawasi dengan serius, bukan tidak mungkin akan muncul berbagai keputusan yang kontroversial, seperti perpanjangan masa pimpinan KPK dan desas-desus pengembalian sistem proporsional tertutup dalam pemilu legislatif.
Sementara itu, partai politik juga belum menjalankan amanat demokrasi secara bertanggungjawab. Pengakuan terbuka salah satu anggota dewan yang menyebut bahwa lobi kebijakan sebaiknya ditujukan pada ketua umum menunjukkan ketergantungan tinggi legislator pada sikap individu ketua umum.
Politik berbiaya tinggi juga membuat mereka berupaya sekuat tenaga untuk berada di pemerintahan. Ironisnya, bukan untuk tujuan ideologis dan programatik yang acapkali absen dari debat di ruang publik. Akan tetapi bertujuan untuk bisa mendekat pada sumber daya modal. Akibatnya, tidak ada kontrol serius dari lembaga legislatif terhadap eksekutif.
Konsentrasi sumber daya kekuasaan politik dan modal inilah yang sering kita dengan sebagai kekuasaan oligarkis. Mereka mengonsolidasikan kuasa politik dan ekonomi sehingga menguntungkan bagi segelintir individu, sementara akibat praktis dari kebijakannya akan merugikan warga negara kebanyakan.
Simpang Arah Masa Depan
Perbedaan mendasar dari dua gerak yang berlainan arah ini ada pada institusi. Semarak suara masyarakat di media sosial tidak terkonsolidasi dalam sebuah institusi. Sementara itu, resentralisasi kekuasaan bergerak dalam ruang-ruang institusi resmi negara. Ini perlu kita khawatirkan.
Ditambah lagi, platform media sosial juga rentan terhadap penyensoran atas dasar permohonan pemerintah. Dalam pemilu Turki lalu, Twitter melakukan pembatasan konten terkait pemilu beberapa hari jelang pemilihan. Ancaman lainnya adalah penyebaran misinformasi yang memanfaatkan algoritma media sosial, sebagaimana yang terjadi di pemilu AS 2016 lalu. Berbagai masalah ini bukan tidak mungkin akan hadir, mengingat suasana politik yang semakin memanas jelang pemilu di tahun depan.
Untuk itu, kawalan kita terhadap semangat reformasi menjadi krusial. Kita perlu memanfaatkan seluas-luasnya ruang publik yang ada, baik di dunia nyata maupun maya, untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan. Sikap kritis kita akan membantu menahan laju arah kemunduran, dan bahkan lebih dari itu, mengembalikan semangat reformasi ke arah yang dicita-citakan.
Di kalangan pemuda, usia 25 tahun sering dianggap rentan terhadap quarter life crisis. Sebuah kondisi ketika usia semakin bertambah sementara berhadapan dengan rentetan ketidakpastian kehidupan. Akibatnya, timbullah tekanan psikologis yang memaksa untuk mendewasa.
Barangkali, ini yang juga terjadi pada reformasi kita hari ini. Semangat reformasi mulai memudar sementara dunia sedang berada dalam ketidakpastian. Tekanan eksternal dan internal itu mendera para pemangku kekuasaan. Di situlah komitmen reformasi kita diuji, akankah mendewasa menuju kesejahteraan dan kebebasan, ataukah mati di usia dini berbalik arah pada akumulasi kesejahteraan pada penguasa dan pembatasan kebebasan oleh kekuasaan. Inilah ujian sejarah bagi reformasi kita di usia 25 tahun ini.
Views: 191