Sinergisme Negara-Negara OKI Versus Genosida Israel di Palestina – Bagian 1

Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani, S.I.P., M.Si. (Direktur Jaringan Strategis dan Kerja Sama InMind Institute)

Gratis Foto stok gratis demonstrasi, isu sosial, kerumunan orang Foto Stok
https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-orang-masyarakat-rakyat-manusia-18709049/

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-15 Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) atau Organization of Islamic Cooperation (OIC) telah berlangsung pada 4-5 Mei 2024 di kota Banjul, ibu kota Republik Gambia. KTT ini menghasilkan sejumlah resolusi terkait aksi genosida, yaitu teror negara dan invasi militer Israel (Israel Defence Forces / IDF) di Jalur Gaza dan Tepi Barat, Palestina.

Seperti dikutip dari media ‘Agence France-Presse (AFP)’ pada 5 Mei 2024, terdapat tiga poin utama terkait Resolusi KTT Ke-15 OKI terhadap Palestina, yakni:

Pertama, OKI menyerukan kepada negara-negara anggotanya untuk memberlakukan sanksi terhadap Israel, sang penjajah, serta menghentikan ekspor senjata dan amunisi yang digunakan militer ‘Negeri Zionis’ itu untuk melakukan genosida di Jalur Gaza.

Kedua, OKI mendesak negara-negara anggotanya untuk melakukan tekanan diplomatis, politik, dan hukum dalam upaya menghentikan kejahatan pendudukan Israel dan genosida yang dilakukan terhadap warga Palestina.

Ketiga, OKI menyerukan untuk segera diadakan gencatan senjata yang permanen dan tanpa kondisi.

“Tiga poin utama Resolusi KTT Ke-15 OKI di Gambia ini seiring sejalan dengan dukungan kuat, teguh dan tanpa pamrih bangsa Indonesia dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina secara menyeluruh. Itu sebabnya hingga kini, pemerintah Republik Indonesia (RI) tidak pernah membuka hubungan diplomatik dengan rezim zionis Israel, sang penjajah, yang terus-menerus menindas bangsa Palestina,” jelas Wakil Sekretaris Pusat Dakwah dan Perbaikan Akhlak Bangsa (PD PAB) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammad Ibrahim Hamdani.

Sikap Tegas OKI terhadap Israel

Pernyataan tegas pun diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) OKI, H.E. Hissein Brahim Taha, pada 5 Mei 2024 di Banjul, Gambia, seperti dikutip dari media ‘Anadolu Agency’.

Menurutnya, dalam KTT Ke-15 OKI di Banjul, Gambia, 57 negara anggota OKI telah menyepakati “Resolusi Mendukung Palestina untuk Mendapatkan Status Anggota Tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)”.

Sekjen Hissein Brahim Taha pun menegaskan konsensus OKI mengenai hak rakyat di Jalur Gaza, Palestina, atas bantuan kemanusiaan, serta hak rakyat Palestina atas negara yang diakui oleh PBB atau ‘United Nations’ dengan Jerusalem sebagai ibu kotanya. Lebih lanjut, ungkapnya, 57 negara anggota OKI juga menggarisbawahi perlunya meminta pertanggungjawaban Israel atas tindakan mereka di Jalur Gaza, Palestina, berdasarkan hukum internasional.

OKI juga sepakat untuk tetap mendukung Badan PBB untuk Pengungsi Palestina atau ‘United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA). “Jadi UNRWA dapat terus memainkan peran pentingnya di Gaza,” paparnya.

“Dengan demikian, Resolusi KTT Ke-15 OKI di Gambia semakin memperkuat sikap dan langkah tegas sejumlah negara anggota OKI dalam melawan tindakan Teror, Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat, dan Genosida Israel terhadap warga sipil di Tepi Barat dan Jalur Gaza, Palestina,” ujar Anggota Dewan Pakar OIC Youth Indonesia, Muhammad Ibrahim Hamdani.

Sikap tegas dan langkah nyata OKI terhadap rezim zionis Israel, jelasnya, juga menjadi akumulasi dari tindakan cepat dan respon darurat sejumlah negara anggota OKI dalam melawan penjajahan dan penindasan tentara Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat, Palestina.

Sikap Republik Turkiye

Menurutnya, salah satu negara OKI yang telah bersikap dan bertindak tegas melawan pendudukan dan penjajahan rezim zionis Israel terhadap Jalur Gaza dan Tepi Barat di Palestina ialah Republik Turkiye.

“Di bawah kepemimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan, Pemerintah Turkiye telah memutuskan hubungan dagang dengan Israel sejak Kamis, 2 Mei 2024, sebagai akibat agresi militer Israel di Jalur Gaza, Palestina,” ungkap Muhammad Ibrahim Hamdani yang juga Peneliti Center for Strategic Policy Studies (CSPS) Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indoneia (UI) itu. Sikap Pemerintah Turkiye ini, lanjutnya, sangat wajar sebagai respon cepat dan tanggapan tegas terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat, Teror serta Genosida Israel di Jalur Gaza, Palestina.

Seperti dikutip dari Reuters, tercatat Pemerintah Turki mengumumkan bahwa sejak Jumat, 3 Mei 2024, mereka tidak akan melanjutkan perdagangan dengan Israel yang bernilai US$ 7 miliar per tahun. Kebijakan ini berlaku hingga gencatan senjata permanen dan bantuan kemanusiaan dapat terjamin di Jalur Gaza.

Menteri Perdagangan Turki, Omer Bolat menegaskan bahwa langkah itu diambil akibat sikap Israel yang tanpa kompormi dan memburuknya situasi di wilayah Rafah, Jalur Gaza. Sebelumnya pada Kamis, 2 Mei 2024, seperti dilansir New York Times, Pemerintah Turki mengumumkan bahwa mereka telah menghentikan semua perdagangan dengan Israel sampai bantuan kemanusiaan yang memadai dan tidak terputus diizinkan masuk ke Jalur Gaza.

Menurut Direktur Jaringan Strategis dan Kerjasama – Institut Inisiatif Moderasi Indonesia (InMind Institute), Muhammad Ibrahim Hamdani, sikap tegas Turki terhadap rezim zionis Israel berpengaruh besar atas pandangan dunia internasional. Penyebabnya ada beberapa faktor. Pertama, Turki telah sejak lama memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, bersama-sama dengan Kerajaan Hasyimiyah Yordania, dan Republik Arab Mesir. Namun sejak Sabtu, 4 November 2023, Pemerintah Turkiye telah memanggil pulang Duta Besarnya untuk Negara Israel, Sakir Ozkan Torunlar guna berkonsultasi.

Menurut Kementerian Luar Negeri Turkiye, seperti dilansir dari Voice of America (VoA) Indonesia pada Sabtu, 4 November 2023, konsultasi dengan Duta Besar Sakir Ozkan Torunlar dilakukan karena mengingat tragedi kemanusiaan yang terjadi di Gaza, yang disebabkan oleh serangan terus-menerus oleh Israel terhadap warga sipil, dan penolakan Israel (untuk menerima usulan) gencatan senjata.

“Faktor Kedua, Turkiye merupakan satu-satunya negara anggota OKI yang juga menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization). Sebagai sekutu dekat Amerika Serikat (AS) di NATO, Turkiye tentu memiliki pengaruh besar dalam percaturan politik global. Posisi strategis ini, ungkapnya, tidak dimiliki oleh Kerajaan Arab Saudi, Republik Arab Mesir, maupun Kerajaan Hasyimiyah Yordania yang juga sekutu dekat AS di Timur Tengah.

“Faktor Ketiga, Turkiye juga menjadi negara anggota ‘Group of 20 (G-20)’ bersama-sama dengan Republik Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi. Hal ini menunjukkan bahwa Turkiye memiliki kekuatan ekonomi yang berskala besar di dunia internasional,” jelas Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Rumah Produktif Indonesia (RPI) itu.

Sikap Kerajaan Hasyimiyah Yordania

Kerajaan Hasyimiyah Yordania melakukan diplomasi ulang-alik untuk meyakinkan pemerintah AS dalam menolak invasi militer dan penjajahan rezim zionis Israel di Rafah, Jalur Gaza, Palestina.

Mengutip dari Reuters pada Senin, 6 Mei 2024 tertulis bahwa Raja Yordania, Abdullah II bin Al-Hussein, telah bertemu dan makan siang bersama dengan Presiden AS, Joseph Robinette Biden Jr. (Joe Biden) di Gedung Putih, Washington D.C. Dalam pertemuan pribadi itu, Raja Abdullah II menegaskan bahwa serangan Israel di Rafah dapat menyebabkan pembantaian baru terhadap warga sipil Palestina. Yordania pun mendesak komunitas internasional untuk mengambil tindakan segera.

“Raja memperingatkan dampak serangan darat Israel di Rafah, yang dapat menyebabkan konflik regional,” kata pernyataan resmi dari istana kerajaan Yordania. Menurut Raja Abdullah II, Rafah merupakan tempat bagi 1,4 juta warga Palestina menjadi pengungsi internal akibat perang di Gaza.

“Serangan Israel di Rafah dapat mengancam dan mengarah pada pembantaian baru. Yang Mulia (Raja Abdullah II) menekankan pentingnya semua upaya untuk segera mencapai gencatan senjata di Gaza,” ungkap pernyataan resmi Istana Kerajaan Hasyimiyah Yordania. Raja dan presiden AS, lanjutnya, telah menegaskan komitmen mereka untuk berupaya mencapai gencatan senjata yang berkelanjutan di Gaza.

“Kedua pemimpin menekankan pentingnya memfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan yang berkelanjutan ke Jalur Gaza mengingat kebutuhan yang sangat mendesak,” jelasnya.

Menurut Direktur Bidang Media, Komunikasi dan Informasi Pimpinan Pusat (PP) Perhimpunan Remaja Masjid (PRIMA) Dewan Masjid Indonesia (DMI), Muhammad Ibrahim Hamdani, Raja Yordania, Abdullah II, merupakan salah seorang pemimpin Arab dan Timur Tengah yang secara konsisten melakukan diplomasi dan lobi-lobi politik tingkat tinggi dengan pemerintah AS, guna mencari solusi permasalahan di Palestina.

“Sebagai sekutu dekat pemerintah AS di Timur Tengah, Raja Yordania, Abdullah II, pun menekan Israel secara diplomatik. Buktinya, sejak Rabu, 1 November 2023, Kerajaan Hasyimiyah Yordania telah menarik Duta Besarnya dari Tel Aviv, Israel. Alasannya, Pemerintah Yordania secara resmi menyampaikan protes dan kecaman atas masih berlanjutnya agresi Israel ke Jalur Gaza,” paparnya.

Seperti dikutip dari Republika pada Rabu, 1 November 2023, Menteri Luar Negeri (Menlu) Kerajaan Hasyimiyah Yordania, Ayman Safadi, menyatakan bahwa Pemerintah Yordania telah menarik duta besarnya untuk Israel. Langkah ini diambil sebagai bentuk protes dan kecaman atas masih berlanjutnya agresi Israel ke Jalur Gaza.

“Ini (penarikan duta besar) untuk mengungkapkan sikap Yordania yang menolak dan mengutuk perang Israel di Gaza yang membunuh orang-orang tak berdosa serta menyebabkan bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya,” tegas Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi, pada Rabu, 1 November 2023. Menurutnya, tindakan Israel memblokade bantuan, termasuk makanan, air minum, dan obat-obatan, telah memperkuat keputusan Yordania untuk menarik duta besarnya dari negara tersebut. Duta Besar Yordania, lanjutnya, hanya akan kembali ke Tel Aviv jika Israel telah menghentikan perangnya di Gaza serta krisis kemanusiaan yang ditimbulkannya.

“Sebagai salah satu negara yang telah lama menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, tindakan Yordania terhadap Israel tentu berpengaruh besar dalam lanskap geopolitik regional di Timur Tengah. Misalnya melalui pembatalan kerja sama energi dengan Israel sejak Kamis, 16 November 2023,” jelas Muhammad Ibrahim Hamdani.

Seperti dikutip dari Al-Jazeera pada Kamis, 16 November 2023, tertulis bahwa pemerintah Yordania tidak akan menandatangani perjanjian kerja sama dengan Israel, meskipun kesepakatan itu baru saja diratifikasi sebulan sebelumnya, Oktober 2023. Pembatalan kerja sama energi itu terjadi karena Pemerintah Yordania mengecam keras agresi Israel ke Jalur Gaza, Palestina, yang terus berlangsung sejak 7 Oktober 2023.

“Kami (Yordania dan Israel) telah menjalin dialog terkait proyek-proyek regional. Kami sudah memikirkan semua ini….. dan perang terjadi, kami tidak akan melanjutkannya,” ucap Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi, pada Kamis, 16 November 2023.

Kami, ungkapnya, tidak akan meneken perjanjian (kerja sama ini) lagi. Bisa Anda bayangkan, seorang menteri Yordania duduk (di) sebelah menteri Israel untuk meneken kerja sama pertukaran energi ketika Israel terus menerus membunuh anak-anak di Gaza.

Sebelumnya pada Kamis, 2 Mei 2024, seperti dilansir New York Times, Pemerintah Turki mengumumkan bahwa mereka telah menghentikan semua perdagangan dengan Israel sampai bantuan kemanusiaan yang memadai dan tidak terputus diizinkan masuk ke Jalur Gaza.

Menurut Direktur Jaringan Strategis dan Kerjasama – Institut Inisiatif Moderasi Indonesia (InMind Institute), Muhammad Ibrahim Hamdani, sikap tegas Turki terhadap rezim zionis Israel berpengaruh besar atas pandangan dunia internasional.

Penyebabnya ada beberapa faktor. Pertama, Turki telah sejak lama memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, bersama-sama dengan Kerajaan Hasyimiyah Yordania, dan Republik Arab Mesir. Namun sejak Sabtu, 4 November 2023, Pemerintah Turkiye telah memanggil pulang Duta Besarnya untuk Negara Israel, Sakir Ozkan Torunlar, guna berkonsultasi.

Menurut Kementerian Luar Negeri Turkiye, seperti dilansir dari Voice of America (VoA) Indonesia pada Sabtu, 4 November 2023, konsultasi dengan Duta Besar Sakir Ozkan Torunlar dilakukan karena mengingat tragedi kemanusiaan yang terjadi di Gaza, yang disebabkan oleh serangan terus-menerus oleh Israel terhadap warga sipil, dan penolakan Israel (untuk menerima usulan) gencatan senjata.

“Faktor Kedua, Turkiye merupakan satu-satunya negara anggota OKI yang juga menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization). Sebagai sekutu dekat Amerika Serikat (AS) di NATO, Turkiye tentu memiliki pengaruh besar dalam percaturan politik global. Posisi strategis ini, ungkapnya, tidak dimiliki oleh Kerajaan Arab Saudi, Republik Arab Mesir, maupun Kerajaan Hasyimiyah Yordania yang juga sekutu dekat AS di Timur Tengah.

“Faktor Ketiga, Turkiye juga menjadi negara anggota ‘Group of 20 (G-20)’ bersama-sama dengan Republik Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi. Hal ini menunjukkan bahwa Turkiye memiliki kekuatan ekonomi yang berskala besar di dunia internasional,” jelas Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Rumah Produktif Indonesia (RPI) itu.

“Ini (penarikan duta besar) untuk mengungkapkan sikap Yordania yang menolak dan mengutuk perang Israel di Gaza yang membunuh orang-orang tak berdosa serta menyebabkan bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya,” tegas Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi, pada Rabu, 1 November 2023.

Menurutnya, tindakan Israel memblokade bantuan, termasuk makanan, air minum, dan obat-obatan, telah memperkuat keputusan Yordania untuk menarik duta besarnya dari negara tersebut.

Duta Besar Yordania, lanjutnya, hanya akan kembali ke Tel Aviv jika Israel telah menghentikan perangnya di Gaza serta krisis kemanusiaan yang ditimbulkannya.

“Sebagai salah satu negara yang telah lama menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, tindakan Yordania terhadap Israel tentu berpengaruh besar dalam lanskap geopolitik regional di Timur Tengah. Misalnya melalui pembatalan kerja sama energi dengan Israel sejak Kamis, 16 November 2023,” jelas Muhammad Ibrahim Hamdani.

Seperti dikutip dari Al-Jazeera pada Kamis, 16 November 2023, tertulis bahwa pemerintah Yordania tidak akan menandatangani perjanjian kerja sama dengan Israel, meskipun kesepakatan itu baru saja diratifikasi sebulan sebelumnya, Oktober 2023.

Pembatalan kerja sama energi itu terjadi karena Pemerintah Yordania mengecam keras agresi Israel ke Jalur Gaza, Palestina, yang terus berlangsung sejak 7 Oktober 2023.

“Kami (Yordania dan Israel) telah menjalin dialog terkait proyek-proyek regional. Kami sudah memikirkan semua ini….. dan perang terjadi, kami tidak akan melanjutkannya,” ucap Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi, pada Kamis, 16 November 2023.

Kami, ungkapnya, tidak akan meneken perjanjian (kerja sama ini) lagi. Bisa anda bayangkan, seorang menteri Yordania duduk (di) sebelah menteri Israel untuk meneken kerja sama pertukaran energi ketika Israel terus menerus membunuh anak-anak di Gaza.

Views: 48