Penulis: Fadhlan Aldhifan (Peneliti InMind Institute)
Penetapan hasil pemilihan umum oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang menyatakan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih menjadi akhir dari proses demokrasi elektoral tahun 2024. Seluruh elemen yang turut mewarnainya mulai bergerak cepat membuka lembaran baru dalam menata kembali peta politik untuk periode yang akan datang. Prabowo Subianto bersama elite Partai Gerindra langsung bertandang ke Kantor DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Kantor DPP Partai Nasdem yang merupakan partai politik pengusung pasangan calon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Pertemuan tersebut menjadi sinyal ancang-ancang bergabungnya kedua partai politik ini ke dalam koalisi pemerintahan mendatang. Partai Nasdem terlihat lebih gamblang dalam menyatakan dukungan dan langkahnya untuk berada di dalam pemerintahan.
Sementara itu, baik PKB maupun PKS masih melakukan penjajakan dan terkesan malu-malu untuk mengambil keputusan yang tidak populer tersebut. Perlu diakui bahwa peta politik dapat terus berubah hingga pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada 20 Oktober 2024. Berbeda halnya dengan sikap yang dinyatakan oleh Ganjar Pranowo selaku mantan Calon Presiden pada Pemilu 2024. Sebagai individu, ia menegaskan bahwa akan berkomitmen untuk menjadi oposisi dengan tidak bergabung ke kabinet Prabowo-Gibran kelak. Kendati PDI Perjuangan, institusi partai politik yang menaungi Ganjar Pranowo, baru akan mengeluarkan pernyataan resminya pada Rakernas akhir Mei 2024 yang akan datang.
Wacana Tanpa Oposisi
Wacana koalisi besar terus digulirkan oleh Prabowo Subianto dan partai politik pendukungnya guna memuluskan jalannya pemerintahan. Maklum, segudang program prioritas menanti untuk ditunaikan. Bersamaan dengan itu narasi yang mendiskreditkan kekuatan oposisi politik di Indonesia juga terus berkembang. Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar, berpandangan bahwa sebaiknya seluruh partai politik bergabung dalam pemerintahan dan tidak ada satupun yang menjadi oposisi. Pernyataan itu juga disusul dengan harapan agar suasana politik menjadi kondusif sehingga mendukung suasana bisnis yang kondusif pula.
“Ya kalau saya secara pribadi, saya ingin semua partai bergabung dalam koalisi pemerintah nggak ada yang di luar, sehingga suasana politik kondusif, bisnis jadi enak. Ini temen-temen pebisnis sangat mengharapkan adanya situasi politik yang kondusif.”
(Bambang Soesatyo-Ketua MPR RI dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar; Kutipan dalam detikNews; 2 April 2024)
Pandangan dan argumentasi yang dikemukakan oleh Bambang Soesatyo juga berlindung di balik dalih bahwa filosofi demokrasi Indonesia yang berakar pada Pancasila mengedepankan gotong royong dan musyawarah mufakat. Sehingga merujuk pada landasan tersebut, baginya demokrasi Indonesia tidak mengenal kelompok oposisi. Untuk itu, Bambang Soesatyo mengajak seluruh elemen berperan dalam jalannya pemerintahan.
“Artinya kalau bisa nggak perlu ada oposisi lah, ngapain, kita bisa musyawarah mufakat, itu kan filosofi demokrasi kita, nggak dikenal namanya oposisi.”
(Bambang Soesatyo-Ketua MPR RI dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar; Kutipan dalam detikNews; 2 April 2024)
Berkenalan dengan Oposisi
Pemahaman memandang oposisi dalam kerangka negara demokrasi menjadi penting untuk kembali diluruskan. Tulisan ini dibuat untuk membantah pandangan bahwa oposisi tidak diperlukan dalam demokrasi Indonesia. Oposisi harus diakui adalah keniscayaan dan keharusan dalam demokrasi yang berakar pada prinsip kontrol dan perimbangan (checks and balances) antar lembaga negara. Kontrol dan perimbangan yang dilakukan baik dalam legislatif maupun eksekutif diperlukan untuk memastikan jalannya pemerintahan sesuai dengan kehendak rakyat. Kekuatan yang melakukan kontol dan penyeimbangan ini diperankan oleh oposisi bagi pemerintah yang berkuasa. Kendati penerapan checks and balances dapat lebih terlihat dalam sistem parlementer, kehadiran oposisi yang efektif juga tentu terjadi dalam sistem presidensial yang dalam istilah Lijphart (1999) disebut sebagai demokrasi konsensus.
Terbentuknya kelompok oposisi oleh karenanya perlu dipahami dengan menyesuaikan model sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu negara. Sistem presidensial yang dianut Indonesia memiliki faktor yang membedakan peran dan kedudukan oposisi dibanding negara parlementer. Presiden atau lembaga eksekutif pada negara presidensial memiliki kewenangan utuh dalam menjalankan fungsinya sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan. Model peran oposisi yang dijalankan pun menitikberatkan pada bentuk check and balances dengan tujuan agar kebijakan dapat dinegosiasikan untuk kepentingan nasional. Maka keberlangsungan checks and balances terkait erat pada peran dan kedudukan parlemen sebagai lembaga legislatif dalam berhadapan dengan lembaga eksekutif. Untuk itu, pemahaman akan kewenangan dan kekuasaan lembaga negara yang demikian membuat pola hubungan yang terjadi adalah relasi antara eksekutif dan legislatif (Morgenstern et al, 2008).
Partai politik yang mengisi kursi parlemen lantas menjadi krusial. Parlemen yang terdiri dari partai politik oposisi diharapkan dapat menjalankan prinsip checks and balances terhadap jalannya pemerintahan. Hal yang tentunya tidak dapat ditemui jika seluruh partai politik yang ada di parlemen bergabung dalam koalisi pemerintahan. Kehadiran partai politik dalam kerangka demokrasi merupakan elemen penting sebagai infrastruktur politik yang menjadi penghubung antara negara dan warga negara dengan tidak hanya semata untuk membentuk pemerintahan tetapi juga membangun oposisi yang efektif (Diamond, 1999). Maka dalam kaitannya dengan penerapan nilai dan norma demokrasi tidak cukup pada penerimaan atas keberadaan pemerintahan yang dipilih melalui mekanisme yang demokratis namun juga harus menerima kehadiran oposisi sebagai bagian yang melekat pada sistem demokrasi. Oleh karena itu, pada hakikatnya keberadaan oposisi erat dan tidak dapat dipisahkan kaitannya dengan keberadaan demokrasi.
Berkaca pada yang Lalu
Perjalanan demokrasi Indonesia sendiri telah mengakui keberadaan partai politik oposisi sebagai kunci dalam memastikan jalannya pemerintahan demokratis hingga menjaga tidak terjadinya penyelewengan kekuasaan oleh penguasa. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pernah menjalankannya pada rezim Orde Baru dan dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004 hingga 2014. Hal yang sama juga dilakukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo tahun 2014 sampai dengan 2024. Peran sebagai kekuatan penyeimbang dan pembanding ini justru perlu diperkuat dan bukannya dihilangkan dengan merangkul seluruh partai politik ke dalam koalisi pemerintahan. Pengalaman bergabungnya Prabowo Subianto ke dalam kabinet Presiden Joko Widodo pada 2019 silam sudah sepantasnya menjadi preseden buruk yang sekaligus menegasikan fungsi pemilihan umum sebagai sarana distribusi kekuasaan antara yang menang dan kalah.
Keadaan partai politik oposisi di parlemen yang lemah menjadi awal dari kesewenang-wenangan rezim mengelola negara. Masih segar dalam ingatan betapa mudahnya proses legislasi atau pembentukan peraturan perundang-undangan yang tidak berpihak pada kehendak rakyat ditempuh seperti Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Ibu Kota Negara pada kurun 2019-2024. Upaya menghadirkan alternatif kebijakan tidak memiliki pengaruh yang signifikan mengingat parlemen dikuasai oleh hampir seluruh partai politik koalisi pemerintah. Berkaca dari pengalaman yang tidak sejalan dengan upaya penguatan demokrasi Indonesia tersebut, sudah selayaknya wacana koalisi besar ditentang dan pemahaman akan kehadiran oposisi dalam demokrasi dikenalkan lagi.
Views: 30