Penulis: Peneliti InMind Institute Zainal C Airlangga, S.Hum., M.I.P. yang juga penulis buku Raja Tanpa Mahkota: Sebuah Biografi Pemikiran Tjokroaminoto
”Badannya sedikit kurus, tetapi matanya bersinar. Kumisnya melenting ke atas. Badannya tegak dan sikapnya penuh keagungan, sehingga walaupun beliau telah tidak mempedulikan lagi titel ”Raden Mas” yang tersunting di depan namanya, namun masuknya ke dalam majelis tetap membawa kebesaran dan kehormatan sehingga segala wajah mesti tunduk kepadanya, tunduk penuh cinta.”
Itulah gambaran Buya Hamka mengenai Tjokroaminoto, seorang tokoh keturunan kiyai dan priyayi yang dijuluki oleh kolonial Belanda sebagai ”De Ongekroonde van Java” (Raja Jawa Tanpa Mahkota). Ia memilih “bunuh diri kelas” dengan menempuh jalan yang berbeda dari ayah dan kakeknya yang menempati posisi tinggi dalam pemerintahan.
Sempat tujuh tahun (1900 – 1907) bekerja di pemerintahan, Tjokroaminoto memutuskan berhenti karena muak dengan kolonialisme dan tradisi sembah jongkok berbau feodal. Di kepalanya, muncul Jalaluddin al-Afgani, Gandhi, dan Marx secara bersamaan. Namun, ia menemukan Islam sebagai ideologi dan alat perjuangan membawa bangsanya “hijrah” dari keterjajahan menuju ke kemerdekaan.
Salah satu pidatonya di Bandung tahun 1916, begitu menyentak pemerintah Belanda. Dengan lantang Tjokroaminoto mengatakan, “Tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang diberi makan hanya disebabkan oleh susunya. Tidaklah pada tempatnya untuk menganggap negeri ini sebagai sebuah tempat di mana orang datang dengan maksud mengambil hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat dipertanggungjawabkan bahwa penduduknya, terutama penduduk pribumi tidak mempunyai hak untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik yang menyangkut nasibnya sendiri….”
Tjokroaminoto dilahirkan di Bakur, Madiun (Jawa Timur), pada tanggal 16 Agustus 1882. Dia adalah seorang tokoh pergerakan, pemikir, dan pemimpin organisasi politik terbesar yang sangat berpengaruh di tanah Hindia Belanda pada awal abad ke-20, yaitu Sarekat Islam. Ia diakui sebagai pelopor gerakan kebangsaan yang paling awal, dan guru para pendiri bangsa. Dialah orator ulung yang oleh sebagian peneliti disebut sebagai “Bapak Nasionalisme Indonesia”.
Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu, sebersih-bersih tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan. Dari berbagai muridnya yang paling ia sukai adalah Soekarno hingga ia menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri pertama Soekarno. Pesannya kepada Para murid-muridnya ialah “Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.”
Sebagai trah “kiyai” (Kasan Basari dari Pesantren Tegalsari) dan “priyayi” (keturunan Susuhunan Pakubuwono III), sikap dan pemikiran Tjokroaminoto jelas menggambarkan kombinasi kedua unsur tersebut: menegakkan marwah agama dan negara ibarat satu helaan nafas (Nasionalisme Islam). Dalam Kongres Central Sarekat Islam (CSI) di Bandung (1916), Tjokroaminoto mengatakan bahwa, ”Kita cinta bangsa sendiri dengan kekuatan ajaran agama kita, agama Islam, kita berusaha untuk mempersatukan seluruh bangsa kita, atau sebagian besar dari bangsa kita. Kita cinta tanah air, dimana kita dilahirkan…..”
Tjokroaminoto memilih Islam sebagai dasar fundamental hidupnya dengan memakai khazanah Barat sebagai peralatan metodologis untuk menyimak dan menafsirkan realitas. Kedua unsur tersebut telah menempatkan dirinya sebagai pemikir politik kebangsaan sekaligus seorang teologis. Beberapa intisari gagasan Nasionalisme Islam Tjokroaminoto yang tersebar dalam pidato dan tulisannya, antara lain: konsep negara merdeka yang demokratis, Sosialisme Islam sebagai perlawanan terhadap kapitalisme dan kolonialisme, Pan Islamisme sebagai perluasan dari cita-cita kebangsaan Indonesia, serta pendidikan kebangsaan.
Tjokro juga melakukan gerakan relasional aktif, yaitu menyampaikan Mosi Tjokroaminoto di Volksraad (Dewan Daerah) bersama Politieke Concentratie, membentuk gerakan kebudayaan Jawa Dwipa, gerakan Islam melalui Tentara Kanjeng Nabi Muhammad, membidani federasi nasional Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada tahun 1927. Di tingkat internasional, Tjokro menjadi ketua Kongres Al Islam pada tahun 1922. Kemudian diundang mengikuti Kongres Umat Islam Sedunia di Mekah pada tahun 1922 bersama KH Mas Mansyur.
Dari keseluruhan pemikiran dan ketokohannya itu, telah membawa pengaruh bagi kepolitikan Indonesia dan alam pikiran para pendiri republik, utamanya: Soekarno yang beraliran nasionalis murni, lalu Moeso, Semaoen, dan Alimin (nasionalis-komunis), dan Kartosoewirjo, Hamka, Abikusno Tjokorosoejoso, Agus Salim, Abdoel Moeis, dan Hamka (nasionalis-Islam). Tak heran, dalam konstruksi sejarah Indonesia, pemilik nama lengkap Haji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto ini selalu ditempatkan sebagai “godfather” dari para founding father negeri ini.
Beberapa murid Tjokroaminoto
Lantas, bagaimana cara Tjokroaminoto “mengkader” para muridnya itu? Secara rinci memang belum ditemukan arsip ataupun catatan sejarah soal pola pengaderan yang diterapkan Tjokro kepada murid-muridnya. Pun, tak banyak buku yang mengulas perihal tersebut. Karena itu, untuk mengulik cara pengkaderan (pendidikan) Tjokroaminoto dapat ditelusuri lewat penuturan beberapa muridnya dan sedikit ulasan yang tercecer dari para penulis asing.
Pengaderan Politik Tjokroaminoto
Semua berawal dari rumah Tjokroaminoto. Di rumah yang pengap dan kampung yang padat di Gang Peneleh 7 no 29-31 Surabaya inilah pemuda Soekarno, Alimin, Moeso, dan anak-anak muda yang tinggal di sana menemukan dunianya. Para pelajar tersebut tidak kesulitan mencari macam-macam bacaan dari corak “paling kiri” hingga “ujung kanan” mengingat tak jauh dari rumah Tjokro terdapat toko buku bersejarah: ”Toko Buku Paneleh”.
Rumah Tjokraominoto di Gang Peneleh 7 nomor 29-31, Surabaya. Di rumah inilah Soekarno, dan dua puluh pemuda lainnya termasuk Semaun, Kartosowerijo, Moeso, Darsono, dan Abikoesno menempa keindonesiaan bersama Tjokroaminoto
Para pelajar yang jumlahnya sekitar 20 orang tersebut tidak hanya makan dan tidur di rumah Tjokroaminoto, tetapi juga berdiskusi baik dengan teman atau dengan Tjokroaminoto sendiri. Diskusi seperti itulah yang menempa pola pikir Soekarno, Moeso, Kartosoewirjo, Semaoen, dan sebagainya. Dalam sejarah Indonesia, Soekarno yang kemudian menjadi presiden RI dan mendirikan PNI, Kartosoewirjo yang beraliran membentuk DI/TII, serta Moeso, Alimin, Semaoen, dan Darsono yang menjadi tokoh komunis (PKI), terlibat perseteruan dan saling berhadap-hadapan. Hal ini menunjukkan Tjokroaminoto memiliki ”kekayaan” yang diserap dan ditafsirkan berbeda oleh murid-muridnya.
Selain menjadi tempat indekost para pelajar dan sekaligus tempat ”magang politik” bagi mereka, rumah Paneleh menjadi tempat melakukan aktivitas sehari-hari Tjokro, seperti menerima tamu dari kalangan biasa sampai tokoh-tokoh utama negeri yang nantinya bernama Indonesia. Di rumah itu juga, tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti KH Ahmad Dahlan dan KH Mas Mansyur sering bertukar pikiran. Pendek kata, rumah Paneleh menjadi tempat diskursus ideologi, diskursus masalah kontekstual negeri, dan tempat merumuskan rencana-rencana besar emansipasi kebangsaan yang digerakkan oleh Tjokro.
Ketika para tokoh beragam corak ini berdiskusi di rumah Tjokroaminoto, Soekarno mengenang, dia duduk bersimpuh di lantai dan menyimak pembicaraan mereka. Ia pernah melontarkan pertanyaan: “Berapa banyak yang diambil kolonial Belanda dari negeri ini?” Tjokroaminoto menjawab, “Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mencuri 1.800 juta gulden setiap tahun dari tanah air ini.” Lalu Alimin menyergah, “Petani kita yang memeras keringat harus menahan lapar dengan dua setengah sen per hari.” Alimin inilah, menurut pengakuan Soekarno, yang memperkenalkannya kepada buku-buku kiri.
Dari obrolan itu, Soekarno kemudian paham mengapa Tjokroaminoto mendirikan Sarekat Islam dan mengapa Alimin bersusah payah menyatukan buruh dan tani dalam perkumpulan-perkumpulan. Hal tersebut membuat Soekarno cepat matang dari usianya. Tjokroaminoto sebagai gurunya dengan sabar dan tekun menerangkan pentingnya aktifitas politik dan mencurahkan seluruh pengetahuannya tentang berbagai macam politik. Bagi Soekarno, Tjokroaminoto bukan saja berperan sebagai tokoh politik, dapur tempat penggodokan nasionalisme, tetapi juga pemikir masalah-masalah keislaman dan tempat bertemunya berbagai aliran pemikiran.
Lewat buku Sukarno An Autobiography yang ditulis Cindy Adam, Soekarno juga menuliskan penuturannya mengenai cara Tjokroaminoto mendidik dirinya: “Oemar Said Tjokroaminoto sudah berusia 33 tahun ketika aku tiba di Surabaya. Tjokroaminoto mengajarkan siapa dia sesungguhnya, bukan apa yang dia tahu dan bukan pula seharusnya aku menjadi apa. Dia adalah orang yang penuh daya cipta dan bercita-cita tinggi, seorang pejuang yang sangat mencintai negerinya. Tjokroaminoto adalah pujaan dan impianku. Dan aku adalah seorang muridnya.”
“….Aku hampir tiap malam menghabiskan waktuku untuk belajar kepada Pak Tjokro. Ke manapun ia pergi aku tetap mengikutinya. Dan aku hanya duduk di sana sambil belajar dengan mengamat-ngamatinya. Dia memiliki wibawa yang besar sekali terhadap rakyat. …. Aku tidak pernah membaca buku-buku bacaan yang murah tentang menjadi seorang ahli pidato di rapat-rapat umum, juga aku tidak pernah mempraktikkannya di depan sebuah cermin. Bukan karena aku tidak cukup bangga untuk berlagak di depan sebuah cermin, tetapi karena aku memang tidak pernah melakukannya. Cerminku hanya Tjokroaminoto. Aku memperhatikan sungguh-sungguh gayanya ia berpidato. Aku belajar banyak dari pak Tjokro dan aku mempraktikannya…”
Sedangkan dalam urusan menanamkan kedisiplinan kepada dirinya dan para pelajar lain, Tjokroaminoto dibantu istrinya yaitu Soeharsikin atau Bu Tjokro. Soekarno menulis, “Bu Tjokro sendiri yang mengumpulkan uang makan kami setiap minggu. Dia membuat peraturan seperti makan malam jam sembilan dan yang terlambat tidak akan dapat makan, anak sekolah sudah harus ada di kamarnya jam 10 malam, anak sekolah harus bangun jam 4 pagi untuk belajar, dan main-main dengan anak gadis dilarang.”
Tjokroaminoto bersama istri (Soeharsikin)
Selain itu, pola pengaderan Tjokro juga dilakukan melalui “praktik lapangan”. Soekarno dan Abikoesno Tjokroseojoso (adik Tjokroaminoto) bahkan sering diajak Tjokroaminoto dalam menangani kegiatan Sarekat Islam maupun pertemuan-pertemuan politik. Akibatnya Soekarno dan Abikoesno sangat memahami bagaimana cita-cita politik Tjokroaminoto dan gaya orasinya. Tak heran, kemampuan orasi Soekarno sedikit banyak terpengaruh dari Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto juga menjadi rujukan pergerakan bagi tokoh komunis Semaoen pada masa-masa awal ketika dirinya masih menjadi anggota Sarekat Islam. Dalam An Age in Motion: Popular Radicalism in Java 1912 – 1926, Takashi Siraishi mengungkap bahwa Semaoen yang komunis belajar politik dan cara menjadi agitator kepada Tjokroaminoto. Akan tetapi, dia bukan satu-satunya guru dari Semaoen. Tak hanya itu, tokoh sosialis-komunis lain seperti Tan Malaka, mengakui ketokohan Tjokro. Ia kagum dengan konsep Sosialis-Islam yang digagas olehnya. Tan menilai, Sarekat Islam yang dipimpin Tjokro adalah satu-satunya organisasi yang disebut partai massa.
Kartosoewirjo, pendiri DI/TII yang kelak ditumpas pemerintahan Soekarno, pun mulanya pernah tinggal serumah di Paneleh dan berguru pada Tjokro. Ia begitu mengagumi dan terpesona dengan Tjokroaminoto yang sering berpidato dalam berbagai pertemuan. Akhirnya, Kartosoewirjo memutuskan untuk melamar menjadi murid dan mulai mondok di rumah Ketua Sarekat Islam itu. Untuk membayar uang pondokan, Kartosoewirjo bekerja di surat kabar Fadjar Asia milik Tjokroaminoto. Ketekunan dan kecerdasan membuatnya menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto.
Buya Hamka juga tercatat sebagai murid Tjokroaminoto. Awalnya, ia begitu terkesan dengan Tjokroaminoto sehingga membuatnya meninggalkan Sumatera ke Jawa pada usia belia (16 tahun) untuk sekadar bertemu dan belajar dengan Tjokro. Hamka mendeskripsikan kenangannya tentang Tjokroaminoto ketika menjadi murid kursus Sarekat Islam yang dilangsungkan di Pakualaman Yogyakarta.
“Berblangkon, berkain dan slop, kulitnya putih kuning agak pucat, agak kurus seperti ayahku. Kumisnya melentik ke atas. Badannya tegak dan sikapnya penuh keagungan, matanya tajam laksana burung elang rajawali. H.O.S. Tjokroaminoto memberikan pelajaran dengan berkeliling dalam kelas. Dengan asyik dia menerangkan sosialisme dari segi Islam, berdasarkan ayat dengan menuliskan nomor-nomor ayat, berdasar hadis dengan arti dan perawinya.”
Tjokroaminoto melihat ada wajah baru, lalu meminta Hamka memperkenalkan diri. Hamka lalu menyebutkan namanya, “Abdul Malik Amrullah bin Haji Abdul Karim Amrullah gelar Haji Rasul dari Maninjau”. Tjokroaminoto pun terkejut, “Subhanallah, ananda putra Haji Rasul pendiri Sumatera Thawalib itu?”. “Jauh sekali langkahmu mencari ilmu, Nak”, ujar Tjokro.
Hamka, menambah deretan tokoh berdarah Minangkabau yang lebih dulu merapat ke Sarekat Islam dan sehaluan dengan Tjokroaminoto seperti Haji Agus Salim dan Abdoel Moeis. Hamka mengakui bahwa Tjokroaminotolah guru yang membukakan matanya. Menurutnya, ayah dan guru-gurunya di Sumatera telah memberi dasar hidup sebagai seorang Islam, tetapi Tjokroaminoto telah membuka matanya untuk Islam yang hidup. “Jiwa saya diisi ayah, dan mata saya dibukakan Pak Tjokro”.
Masih banyak tokoh-tokoh lain yang terpengaruh dengan pengaruh pemikiran dan perjuangan Tjokroaminoto. Selain Soekarno, Moeso, Alimin, Semaun, Darsono, Tan Malaka, Hamka, Abikoesno, Kartosoewirjo, Abdoel Moeis, juga ada Sangadjie, Moh. Roem, Muhammad Natsir, Kasman, Prawoto, dan tentu saja anak-anaknya, seperti Anwar dan Harsono. Pengaruh ini muncul akibat adanya interaksi langsung dengan Tjokroaminoto baik melalui diskusi dan magang politik (pendidikan informal) maupun dalam kapasitasnya sebagai tokoh besar yang menginspirasi.
sumber gambar: https://jv.m.wikipedia.org/wiki/Oemar_Said_Tjokroaminoto
Views: 1327