Penulis: Meilia Irawan, Peneliti dan Direktur Hubungan Masyarakat dan Media InMind Institute

Tampaknya ini menjadi sebuah catatan penting dalam memperbaiki pola moderasi beragama agar efektif dan tidak hanya bergulir di permukaan.
Beberapa forum bertema dialog antar agama konflik dan rekonsiliasi agama-agama Ibrahim, Islam masih menjadi isu sentral dalam diskusi. Sayangnya pandangan mengenai Islam sebagai sumber kekerasan, mengilhami peperangan dan situasi buruk di berbagai negara. Pandangan negatif atau Islamofobia tampaknya tidak hanya terjadi di masyarakat Eropa sekuler, tetapi juga masuk di ruang-ruang keagamaan, di tempat-tempat suci, serta berafiliasi dengan para pemuka agama. Sebagian dari para pemuka agama beranggapan doktrin Islam menyebabkan umatnya melakukan teror dan intoleransi, bahkan sosok Muhammad tidak luput dari cap seorang Nabi yang ambisius, politis yang menguasai kekuasaan wilayah Kristen dan Yahudi sebagai tujuan politik ketimbang menebar keindahan Islam.
Setidaknya persepsi itu yang masih mengakar di benak – benak ribuan para pemuka agama. Ada gap yang tinggi dan persoalan yang kompleks jika kita menelusuri relasi antar agama. Akar masalah yang belum terselesaikan yang mungkin dapat dibantu dengan memperbaiki cara memahami dimensi agama orang lain melalui pemahaman the way of thinking, yaitu bagaimana cara agama itu bekerja.
Kasus sentimen anti-Muslim merupakan pemberitaan secara tidak berimbang. Media menjadi propaganda yang membuat citra Islam terpojokan dan tidak dikenali secara gamblang. Chris Allen dalam bukunya Islamophobia menggambarkan bagaimana Islam dan Muslim diilustrasikan oleh media sebagai sumber kekerasan, terorisme, misogini, primitif yang mengaburkan nilai-nilai Islam yang sebenarnya. Menurut Allen, hal ini diperparah dengan tidak adanya pemeriksaan silang sehingga cenderung menyesatkan dan mengakibatkan posisi Islam semakin buruk.
Pada dasarnya, Islam dan Muslim telah menjadi musuh global di abad ke-21, meskipun secara historis sentimen terhadap Islam telah muncul sejak abad ke-20 melalui propaganda anti-Muslim di Spanyol dengan istilah limpieza de sangre atau “kesucian darah” yang telah menyebarkan gerakan anti Yahudi dan anti Islam. Limpieza de sangre adalah julukan yang digunakan oleh Kekaisaran Spanyol dan Portugis selama periode modern awal untuk merujuk pada mereka yang dianggap sebagai Orang Kristen Lama dengan dasar tidak memiliki leluhur Muslim atau Yahudi. Di masa kedua kekaisaran, istilah tersebut memainkan peran utama untuk melakukan diskriminasi terhadap tersangka kripto – Yahudi atau kripto – Muslim. Kripto Muslim merupakan julukan bagi Muslim Spanyol yang mempraktikkan Islam secara diam diam, yang secara lahiriannya mengikuti agama lain. Hal ini karena kondisi saat itu dimana terjadi inkuisisi yang mengharuskan mereka menjadi bagian dari agama Kristen.
Benturan sejarah dari abad ke abad inilah berakar pinak yang tidak mudah diurai dan perlu ke-legowoan untuk mengakui ada benang kusut yang harus diurai. Meskipun demikian gerakan moderasi yang baru dimulai pada sepuluh tahun terakhir mempunyai peran signifikan dalam memperbaiki mutual co-existence, hidup berdampingan yang damai dan saling menghormati.
Meski Islamophobia masih terbilang tinggi, dialog antar agama sudah mulai meredam eskalasi ini. Ada andil besar segelintir intelektual Muslim dalam sepuluh tahun terakhir. Mereka melakukan gerakan awareness, suatu penyadaran akan keindahan Islam dan besarnya kontribusi Islam utamanya di abad pertengahan. Guat Kwee See misalnya dalam Muslim – Christian Dialogue: Signs of Hope mengutip pandangan Jean Claude Basset menuliskan apresiasinya mengenai ruang moderasi. Menurutnya lebih dari lima puluh tahun tidak banyak diskusi antara Muslim-Kristen. Namun ada sekelompok kecil cendekiawan yang mencoba membuka dialog tersebut dan berarti ini memecah kesunyian dalam hubungan kedua agama Ibrahim tersebut.
Di lain sisi, beberapa peneliti lain cenderung skeptis mengenai kegiatan moderasi semacam ini. Sikap skeptis tersebut tidak hanya datang dari Muslim tetapi juga dari kalangan Kristiani. Beberapa pihak menganggap bahwa ruang moderasi tidak masuk ke dalam esensi hanya pada tataran permukaan yang terkadang bias makna atau sekedar lips service. Kontra narasi bisa ditemukan dalam berbagai artikel akademik lainnya yang beranggapan bahwa dialog antar agama dianggap gagal. Beberapa faktor melatarbelakangi kegagalan ini adalah dialog ini diprakarsai oleh kalangan Kristiani dan umat Islam selalu menjadi ‘tamu’ yang diundang. Akibatnya hak untuk menyampaikan pendapat tidak sebebas pihak penyelenggara. Ditambah lagi dengan representasi Muslim yang terkadang tidak mewakili Islam secara keseluruhan, minim pengetahuan secara teologikal maupun kesejarahan.
The way of thinking atau bagaimana suatu agama itu bekerja rasanya perlu menjadi saran dalam perbaikan skema moderasi. Bagaimana agar mulai membangun mutual recognition bahwa memang kita berbeda yang perlu dihormati dan dipahami bagaimana cara agama itu bekerja bagi umatnya. Mutual recognition atau bersepakat dalam perbedaan di dalam Islam sendiri adalah rahmat. Doktrin Islam dalam berbagai kasus mengakui perbedaan melalui Surat al-Hujurat [49]: 13 yang menekankan pada penghormatan.
Wahai manusia! Sesungguhnya kami telah menciptakan kalian menjadi laki-laki dan perempuan, dan (dengan menciptakan manusia berpasangan) kami telah jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling bertakwa diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.
Islam sendiri mengakui kebebasan “free will” dimana kehendak diri ini memiliki definisi yang berbeda dari agama lain ataupun dunia modern. Bebas di dalam Islam tidak benar benar bebas, umat Islam selalu dikenakan hukum bagi setiap diri dengan dimensi spiritual yang melekat. Kadang hal ini menjadi problematik yang tidak mudah dipahami bahkan kerap dicurigai intoleransi. Sehingga, dialog mendalam persoalan the way of thinking menjadi kebutuhan agar bisa benar benar memahami persoalan.
Views: 127