Buka Mata, Tentukan Sikap: Sebuah Refleksi Hari Penghapusan Perbudakan Internasional

Direktur Kajian dan Pelatihan InMind Institute Hardianto Widyo Priohutomo S.I.P., M.I.P. menuliskan apa yang bisa dilakukan individu dan masyarakat dalam menghapus perbudakan dalam berbagai bentuk. Tulisan ini juga dimuat dalam blog pribadi https://hardiantowidyo.wordpress.com/2017/12/02/buka-mata-tentukan-sikap-sebuah-refleksi-hari-penghapusan-untuk-perbudakan-internasional/

Tanggal 2 Desember ditetapkan sebagai Hari Penghapusan untuk Perbudakan Internasional. Tanggal ini merujuk kepada tanggal 2 Desember 1949 dimana hasil Konvensi PBB untuk Penindasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi Orang Lain oleh Majelis Umum PBB diadopsi melalui Resolusi nomor 317 (VI).

Konvensi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat di seluruh dunia mengenai buruknya perbudakan tradisional maupun perbudakan kontemporer, sehingga masyarakat terdorong untuk turut menanggulangi masalah ini. Global Slavery Index 2016 menyebutkan, perbudakan merupakan suatu situasi eksploitasi dimana seseorang tidak bisa menolak atau meninggalkan sesuatu karena adanya tekanan, ancaman, kekerasan, pemaksaan, penyalahgunaan kekuasaan dan penipuan. Berbagai bentuk perbudakan seperti perdagangan manusia, eksploitasi seksual serta pekerja dibawah umur, adalah contoh kasus nyata yang masih terjadi hingga saat ini.

Kasus-kasus yang tergolong dalam kategori perbudakan marak terjadi tidak hanya pada negara-negara berkembang tetapi juga pada negara-negara maju. Diantara kasus yang cukup sering kita saksikan adalah melibatkan anak-anak untuk ikut mencari uang (dipekerjakan menjadi pengemis atau ikut menjadi buruh pabrik), perdagangan manusia, eksploitasi seksual, serta tenaga kerja yang tidak dijamin oleh negara.

Kasus-kasus tersebut terjadi nyata di sekitar kita dan seringkali berdasar motif ekonomi. Bila kita membuka mata, barangkali tak jauh dari tempat kita tinggal atau bekerja, ada saja anak yang ditemukan putus sekolah dengan alasan harus bekerja menopang ekonomi keluarga. Sementara ketika ditanya, tidak sedikit yang ternyata orangtua anak tersebut justru sedang di rumah ketika anaknya bekerja. Sampai-sampai si anak takut untuk pulang bila tidak membawa uang. Para pekerja anak ini merupakan kenyataan pahit, tak sekadar hak pendidikannya yang seringkali tidak terpenuhi, tetapi juga pemenuhan kebutuhan afeksi yang tergadaikan atas nama ekonomi. Belum lagi bila kita menelisik bagaimana para pekerja di bawah umur di pabrik-pabrik tertentu tidak mendapatkan jaminan keselamatan kerja yang sesuai.

Kondisi demikian didukung oleh harapan orangtua agar anak mampu membantu mencari rezeki dan meringankan beban keluarga. Tak terlepas pula dari paradigma tradisional tentang banyak anak banyak rezeki, pada akhirnya menjadi keliru dalam konteks tertentu, hingga mengabaikan hak anak. Pasalnya, pada tahapan pertumbuhan, anak-anak memiliki perkembangan psikologis di masa-masa pertumbuhan mereka terutama pada rentang usia keemasan (3 – 7 tahun). Jadi, penting bagi orangtua untuk menempatkan posisi dan perlakuan sesuai dengan tahap perkembangan anak.

Tidak berhenti pada kasus pekerja anak, eksploitasi seksual juga tak kalah tinggi terjadi di negara ini. Mulai dari dikomersilkan sebagai pekerja seks, korban perdagangan manusia, hingga dipaksa menikah demi motif ekonomi keluarga. Tak jarang, bahkan eksploitasi seksual disertai oleh tekanan sosial hingga kekerasan seksual baik fisik maupun verbal, dan perempuan merupakan korban terbesar dari kasus seperti ini.

Selain itu, jika kita merefleksikan lebih jauh, masih terdapat banyak fenomena perbudakan, dalam konteks mikro, yang sesuai dengan pengertian dari Global Slavery Index tersebut. Meski sering tidak disadari atau tampak kasat mata, hal ini juga boleh jadi terjadi dalam kehidupan keluarga.

Interpretasi budaya keluarga, dimana laki-laki (suami) menjadi pemimpin dalam keluarga yang harus dipatuhi baik oleh istri maupun anak-anaknya masih kental dalam masyarakat Indonesia. Hal tersebut didukung pula oleh adat istiadat ketimuran dan narasi agama mayoritas. Namun demikian, tak jarang, relasi kuasa yang tercipta menjadi sesuatu yang tidak sehat apabila muncul perlakuan-perlakuan diskriminatif, pemaksaan, hingga kekerasan.

Meski tidak bisa serta merta disebut sebagai ‘bentuk perbudakan’, perlakuan diskriminatif, pemaksaan, atau kekerasan yang didasari relasi kuasa dalam keluarga masih sering terjadi. Angka KDRT pun sempat melonjak tinggi. Harian nasional Kompas menyebutkan, pada tahun 2016 angka KDRT Indonesia mencapai 259.150 kasus. Meski kini, angka tersebut terus diupayakan untuk ditekan, hal ini tetap perlu menjadi perhatian bersama. Karena pada akhirnya tujuan menikah adalah menciptakan kehidupan yang lebih baik bersama-sama.

Masih dalam lingkup dalam rumah, penyikapan terhadap Asisten Rumah Tangga (ART) juga kerap menjadi persoalan. Mayoritas masyarakat Indonesia mengangkat Asisten Rumah Tangga untuk mengerjakan berbagai urusan rumah tangga secara penuh dan dibayar sesuai kesepakatan. Meskipun ada pula yang mengerjakan hanya sebagian pekerjaan rumah tangga. Dalam perjalanannya, seringkali para ART ini tidak tidur normal di malam hari disebabkan ada anggota keluarga yang pulang larut malam, sehingga perlu ditunggu sampai pulang. Lalu ada juga yang gajinya dipotong dan dimarahi habis-habisan karena kurang bersih dalam mencuci atau tidak sempurna dalam memasak. Tak jarang ART juga menjadi bulan-bulanan ketika ada barang-barang rumah yang pecah akibat kelalaian. Lebih parah lagi ketika sikap orang rumah terhadap ART diperlakukan layaknya budak seperti penganiayaan fisik, pelecehan seksual terhadap ART perempuan, dan semacamnya. Hal ini mungkin terjadi karena pada umumnya pemilik rumah merasa sudah membayar ART dengan gaji sesuai kesepakatan dan memiliki hak atas ARTnya. Disisi lain ada kendala proses hukum menjadi sulit karena biasanya kasus penganiayaan dan pemerkosaan tersebut terjadi dalam ranah privat (rumah pribadi) dan harus ada delik aduan.

Narasi penghapusan perbudakan memang telah gencar disuarakan. Berbagai macam bentuk perbudakan di masa lalu juga perlahan menghilang. Namun demikian, adanya relasi kuasa dan relasi ekonomi yang tidak sehat bisa jadi memunculkan bentuk-bentuk ‘perbudakan’ baru, dengan nama-nama yang lain. Berbagai kasus diatas hanyalah sebagian contoh kecil dari banyak permasalahan mengenai perbudakan yang kita tidak sadari.

Pada akhirnya, penghapusan perbudakan bukan semata meniadakan ‘perbudakan’, tetapi perlu ada pemahaman bersama mengenai hak asasi, kewajiban, kesempatan, hingga kemanusiaan. Adanya peringatan Hari Internasional untuk Penghapusan Perbudakan seharusnya menjadi pengingat untuk kita memulai membiasakan yang benar dan bukan lagi bersikap membenarkan yang biasa. Mulailah dari diri sendiri dalam menyikapi keluarga kita, saudara kita, orang terdekat kita, dan melangkah lebih jauh kepada lingkungan kita dan berkembang hingga seluruh orang-orang yang membersamai kita. Menjadi manusia yang memanusiakan manusia lainnya.

Sumber gambar: https://www.awarenessdays.com/awareness-days-calendar/international-day-for-the-abolition-of-slavery-2019/

Views: 90