Direktur Riset dan Pusat Data InMind Institute Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P. merangkum pandangan Proklamator dan Wakil Presiden Pertama Indonesia Mohammad Hatta tentang demokrasi ideal bagi Indonesia dalam bukunya Demokrasi Kita: Idealisme & Realitas Serta Unsur yang Memperkuatnya.
Di dalam buku tulisan Mohammad Hatta ini, pada bab-bab awal Hatta memaparkan mengenai kritiknya terhadap demokrasi terpimpin yang dibuat oleh Soekarno untuk menggantikan demokrasi parlementer. Meski memasang nama ‘demokrasi’, namun demokrasi terpimpin yang didefinisikan Soekarno sebagai sebuah cara untuk membangun negara di bawah suatu pimpinan ini pada hakikatnya adalah sebuah sistem yang diktator. Oleh karenanya banyak orang yang mengira demokrasi akan lenyap dari Indonesia. Tetapi dalam tulisannya, Hatta menampik pesimisme dari pandangan tersebut, sebab menurutnya demokrasi di Indonesia telah mengakar di dalam pergaulan hidup masyarakat, sehingga tidak akan dapat dilenyapkan. Sehingga keadaan ini menurut Hatta hanyalah merupakan krisis dari demokrasi.
Secara halus Hatta ingin menyampaikan bahwa beralihnya rezim yang demokratis menuju otoriter di bawah pimpinan Soekarno tersebut disebabkan pada awalnya karena semangat ultrademokratis yang ada di kalangan pemimpin partai yang mengubah sistem pemerintahan presidensiil menjadi parlementer. Meski sistem parlementer dianggap lebih baik dari presidensiil, namun keadaan Indonesia yang baru saja merdeka memerlukan sebuah pemerintahan yang kuat. Sehingga memulai sistem demokrasi parlementer dalam usia Indonesia yang masih sangat dini hanya akan mengakibatkan instabilitas sosial dan politik. Ini terlihat dari seingkalinya terjadi jatuh bangun kabinet dalam kurun waktu beberapa bulan.
Komposisi koalisi pemerintahan yang dibangun berdasarkan koalisi multi partai ini juga mengakibatkan individu-individu menjadikan partai sebagai tujuan dan pemerintah sebagai alatnya sehingga kemudian usia koalisi tidak pernah lama karena seringnya partai yang berkoalisi menarik dukungan di tengah-tengah pemerintahan. Keadaan ini juga diperburuk dengan keinginan tentara untuk ikut campurnya dalam pemerintahan, dan bahkan mengusulkan untuk membubarkan partai-partai politik di tahun 1952. Meski presiden tidak menyutujui usul tersebut, namun keadaan bahaya yang diumumkan presiden menyebabkan tentara akhirnya masuk ke dalam pemerintahan dan akhirnya Soekarno sendiri mengambil alih pemerintahan dengan mengubah sistem parlementer menjadi presidensiil yang diktatur. Hatta pada hakikatnya menginsyafi bahwasannya tujuan yang hendak dicapai Soekarno itu baik, namun cara-cara yang ditempuh Soekarno itu justru menjauhkan diri dari tujuannya.
Meski demikian, sebagaimana telah disinggung di atas, Hatta yakin bahwa demokrasi di Indonesia tidak akan lenyap, hanya tersingkir sementara saja. Ini disebabkan demokrasi sudah menjadi cita-cita pergerakan kebangsaan yang sudah ada semenjak masa penjajahan dan juga demokrasi sudah dijadikan sebuah pergaulan hidup yang masih terdapat realisasinya di desa-desa.
Di dalam bukunya ini, Hatta juga memaparkan mengenai konsepsi demokrasi Indonesia yang berbeda akar dengan konsepsi Rousseau yang bersifat individualisme. Kedaulatan rakyat di Indonesia haruslah bercorak kolektivisme, di mana didalamnya mengandung semangat kebangsaan yang tumbuh untuk menentang imperialisme dan kapitalisme Barat sehingga demokrasi Barat harus ditolak sebab akar dari tumbuhnya demokrasi di Indonesia berbeda dari demokrasi barat. Demokrasi di Indonesia berasal dari tiga hal, yakni pertama, paham sosialisme Barat di mana perikemanusiaan menjadi perhatian utama. Kedua, ajaran agama terutama Islam (karena dipeluk mayoritas rakyat Indonesia) yang menjunjung tinggi persaudaraan di antara sesama manusia dan terakhir adalah pengetahuan bersama bahwa masyarakat Indonesia berdasarkan kolektivisme.
Maka dari keadaan tersebut, Hatta merumuskan lima anasir demokrasi Indonesia yakni musyawarah dan mufakat untuk menyelesaikan masalah, gotong royong, hak untuk mengadakan protes terhadap peraturan pemimpin yang tidak adil dan hak untuk menjatuhkan pemimpin (hak untuk menentukan nasib sendiri), merupakan pondasi dasar demokrasi di Indonesia yang harus dijadikan dasar pemerintahan Indonesia ke depannya.
Hatta juga menegaskan bahwa demokrasi politik, tidak boleh dilepaskan dari demokrasi ekonomi. Di mana jika dalam demokrasi barat yang dikembangkan dalam membangun perekonomian adalah ekonomi kapitalisme, karena landasan demokrasinya adalah Individualisme. Maka dalam demokrasi Indonesia, perlu dikembangkan koperasi untuk melawan kapitalisme ini. Koperasi akan efektif dalam menghadapi kapitalisme dikarenakan organisasi ini merupakan organisasi rakyat jelata yang berdasarkan solidaritas dan kesetiakawanan.
Intisari dari sistem koperasi yang dipaparkan Hatta dalam tulisannya adalah bahwa koperasi pada dasarnya adalah kerja sama, tolong-menolong antara orang-orang kecil dan self help atau menolong diri sendiri. Selain itu di dalam koperasi juga harus terjalin asas kekeluargaan, di mana rasa solidaritas harus dipupuk dan diperkuat. Masing-masing anggota dididik untuk mememiliki individualitas. Ini berbeda dengan individualisme yang merupakan sikap mementingkan diri sendiri, individualitas adalah keperibadian yang insaf akan harga dirinya, dan melalui itu ia akan membela kepentingan koperasi. Sehingga dengan ini Hatta secara implisit ingin mengatakan bahwa melalui individualitas akan menimbulkan kolektivitas.
Selain ditujukan untuk memperkuat perekonomian bangsa, pendirian koperasi juga ditujukan untuk memperkuat demokrasi. Sebab cita-cita koperasi untuk menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental akan menyebabkan timbulnya rasa kolektivisme, tolong menolong dan toleransi. Di mana nilai-nilai demikian sejalan dengan nilai demokrasi Indonesia. Hatta juga berharap bahwa kedepannya Indonesia menjadikan koperasi sokoguru ekonomi Indonesia.
Dari keseluruhan tulisan Hatta yang diawali dengan kritiknya terhadap pemerintahan diktatur ala Soekarno, secara implisit dan halus, penegasan Hatta yang diulangnya berkali-kali dalam berbagai bab di bukunya mengenai tidak akan matinya demokrasi, ingin menyatakan demokrasi dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945. Hatta memaparkan secara gamblang bagaimana hubungan antara isi Pancasila dan pembukaan UUD 1945 dengan nilai-nilai demokrasi. Oleh karenanya, ia seolah-olah ingin mengatakan bahwa ketika demokrasi mati, maka berarti kematian terhadap Pancasila dan UUD 1945, yang tentunya merupakan hal yang tidak mungkin.
Meski tidak secara eksplisit dituturkan, namun Hatta ingin mengatakan bahwa sistem otoriter yang sedang dijalankan Soekarno kala itu akan mematikan Pancasila dan UUD 1945. Dan hal itu tidak mungkin akan dilakukan Soekarno, bilapun tetap dilakukan, hal tersebut tidak akan dibiarkan oleh bangsa Indonesia. Maka kemudian ketika Soekarno tidak berhasil menangkap maksud implisit ini, maka bisa dikatakan bahwa pemuda angkatan 1966-lah yang berhasil menangkap maksud ini, karena akhirnya berhasil menggulingkan pemerintahan diktator Soekarno. Meski akhirnya demokrasi di Indonesia kembali mati suri di bawah rezim Soeharto.
Views: 3194