Wakil Direktur Eksekutif InMind Institute Prof. Dr. Firman Noor, M.A. menuliskan kritik tentang ambang batas pemilu dan kualitas demokrasi. Opini tersebut dimuat oleh Republika pada 7 Agustus 2020 dalam link https://www.republika.id/posts/9212/demokrasi-dan-pemilu.
Kondisi demokrasi kita saat ini tengah makin dipertanyakan. Alih-alih makin demokrasi makin menguat, dalam beberapa tahun belakangan kualitas nuansa oligarki dan elitisme tampak justru semakin terlihat. Jeffery Winters pengamat politik Indonesia dalam beberapa kesempatan belakangan ini meyakini bahwa Indonesia sudah semakin terjerembab dalam kubangan oligarki yang parah. Beberapa waktu lalu LP3ES dan juga YLBHI bahkan sudah mengkategorikan Indonesia sebagai negara yang terindikasi otoriter.
Sebuah kondisi yang sudah disekitar dua tahun lalu ditunjukan oleh Thomas P. Power (2018) yang menggambarkan bagaimana semakin menurunnya kondisi demokrasi di Indonesia (democracy decline). Economist Intelligence Unit, sebuah lembaga yang secara rutin melaporkan penilaian kondisi demokrasi di berbagai negara, misalnya dalam dua tahun belakangan ini juga menilai kualitas demokrasi Indonesia sebagai flawed democracy (demokrasi yang cacat).
Terkait dengan mulai dibukanya diskusi dan masukan terkait Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu), dengan situasi demokrasi kita ini maka kita harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh beberapa isu krusial dari RUU. Mengingat bahwa sebuah kesalahan dalam mencitpatakan aturan main dapat menyebabkan kondisi demokrasi kita justru menjadi semakin memburuk. Di antara hal-hal krusial itu adalah sistem pemilu dan soal ambang batas.
Problem Sistem Proporsional Tertutup
Pada dasarnya tidak ada sebuah sistem pemilu yang sempurna. Baik buruknya sebuah sistem pemilu terkait pula dengan beberapa faktor lain atau beberapa kondisi dimana sistem itu bekerja. Saat ini mulai diwacanakan lagi sistem proporsional terutup. Hal ini harus dicermati secara hati-hati. Sistem proporsional tertutup memiliki beberapa keunggulan yakni lebih dipercaya melahirkan sosok-sosok yang berkualitas, yang memahami persoalan politik dengan baik, namun memang tidak cukup populer sehingga cenderung kalah jika harus berkompetisi secara terbuka.
Selain itu, sistem ini memberikan peluang lebih besar bagi kalangan non-mainstream, baik karena lataer belakang primordial, kelas, maupun gender (perempuan), untuk berkiprah dalam parlemen. Dalam proporsional tertutup, kalangan ini memiliki kesempatan lebih besar karena peluang keterpilihannya tidak ditentukan oleh publik yang masih belum ramah terhadap eksistensi mereka.
Namun kelemahan mencolok sistem ini adalah adanya tendensi pelestarian oligarki dan elitisme dalam partai. Elite partai menjadi semakin mendominasi mengingat finalisasi nomor urut caleg, yang akan berdampak pada keterpilihan, ada di tangannya. Hal ini akan membuat demokrasi internal partai semakin buruk, mengingat padar kader akan akan berhitung berkali-kali sebelum berani menyampaikan aspirasi mereka apa adanya. Dengan kata lain, dedemokratisasi partai berpotensi menguat dengan penerapan sistem ini.
Selain itu, sistem ini akan membuat kader bergantung pada kepentingan partai, tepatnya elite partai, ketimbang pada masyarakat. Akan muncul kembali fenomena “wali rakyat” yang pada gilirannya menguatkan rasa keterasingan antara rakyat dengan anggota legislatif (DPR atau DPRD). Kondisi keterasingan itu tidak saja melemahkan kepekaan terhadap aspirasi akar rumput, namun juga membuat aspirasi elite partai menjadi patokan utama. Politisi di parlemen tentu akan lebih mengawal kepentingan elite partainya yang sejak awal telah berbuat banyak untuk eksistensi mereka. Dampaknya adalah potensi hadirnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak aspiratif semakin besar. Dengan kata lain, potensi makin kuatnya elitisme dan melemahnya kualitas demokrasi kita semakin besar jika sistem ini diterapkan.
Hapuskan Ambang Batas Pilpres/Pilkada
Selain sistem proporsional tertutup, eksistensi Ambang Batas Pilpres juga berpotensi menggangu bagi pemulihan demokrasi kita. Hal ini disebabkan setidaknya oleh tiga hal. Pertama, berlanjutnya polarisasi politik, yang sayangnya tidak kunjung diikuti dengan pendewasaaan politik. Pembelahan di tengah masyarakat pada dasarnya akan mudah dimanipulasi dan dimanfaatkan untuk maksud-maksud yang kontraproduktif bagi upaya penguatan soliditas bangsa, pendewasaan berpolitik dan jalannya pemerintahan yang efektif. Manakala dibiarkan, situasi pembelahan politik yang akut ini jelas tidak kompatibel bagi upaya penguatan demokrasi yang hakiki.
Kedua, terus mereduksi pilihan politik rakyat. Aspirasi rakyat sejak dini dikerangkeng dan dipaksa menerima pilihan-pilihan yang terbatas. Selain itu sistem ini membatasi elemen-elemen bangsa lain untuk dapat berkiprah secara maksimal melalui kontestasi politik, yang menyebabkan pilihan-pilihan atas figur maupun ide/visi yang segar dan bisa jadi jauh lebih aspiratif juga terbatasi. Sebaliknya sistem ini memudahkan konsolidasi sesama elite demi mengukuhkan eksistensi mereka dan kelompoknya.
Ketiga, menyuburkan politik biaya tinggi, yang dari sinilah sebenarnya sebuah konspirasi elitis berawal, selain juga merupakan konsolidasi awal peran oligarki sebagai sponsor politik. Dampaknya mudah diduga yakni membuat elite politik tersandra dan pada akhirnya lebih mengakmordir kepentingan oligark ketimbang rakyat. Colin Crouch (2004) menyebut situasi serba elitis yang ujunganya adalah demi akumulasi kepentingan poltik dan ekonomi terbatas elit menandai berakhirnya demokrasi menuju apa yang disebutnya post-democracy. Dengan alasan-alasan ini sudah sepatutnya ambang batas ini dihapuskan.
Bahaya Parliamentary Threshold yang Tinggi
Sama dengan dua persoalan sebelumnya, hal pokok yang harusnya menjadi pertimbangan dalam menentukan besaran Parliamentary Threshold (PT) apakah nantinya akan menguatkan atau melemahkan tendensi elitisme/oligarki. Dalam situasi demokrasi seperti saat ini, poin terpenting terkait PT adalah bagaimana membangun pemilu yang lebih partispatif, sehingga hasilnya tidak menghambat bagi lebih banyak elemen untuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan.
Semakin sedikit partai yang terlibat dalam pembuatan keputusan itu, akan makin besar kemungkinan bangsa ini makin terjebak pada kepentingan elitis dari segelintir orang saja. Semakin sedikit elemen yang terlibat juga akan membuat oligark lebih mudah bermanuver dalam proses pembuatan kebijakan. Apalagi sebagaimana yang diyakini banyak pengamat termasuk Winters para oligark sekarang ini tidak lain sekadar main dipingiran namun sudah memilih terlibat langsung dalam puasaran pembuatan kebijakan, agar nantinya kebijakan-kebijakan itu semakin memuluskan kepentingan mereka.
Tidak hanya itu, PT yang tinggi tidak ramah bagi kehadiran figur-figur mumpuni dengan komitmen pembaharuan yang kuat di partai-partai menengah/kecil. Dengan terus terbatasinya kehadiran mereka, bisa jadi lambat laun akan terbentuk sebuah “lapisan elit” dalam parlemen (baik nasional ataupun lokal) yang memiliki cara cenderung pandang seragam dan status quo, yang tentu saja tidak kompatibel bagi pembaharuan-pembaharuan politik. Pada akhirnya PT yang tinggi juga menghapuskan hakekat keberagaman politik dan hak rakyat yang dapat berujung pada meluasnya apatsime dan mengekalkan “demokrasi elitis”.
Penutup
Perdebatan seputar UU Pemilu sebaiknya tidak jauh pada hal-hal yang bersifat teknikalitas atau asumsi-asumi dangkal yang berangkat dari kasus per kasus yang sebenarnya kasusistik dan terbatas. Namun utamanya harus ditujukan bagi penguatan kualitas kehidupan demokrasi kita. Manakala kita tidak menjadikan hal itu sebagai alasan utama, maka kita sesungguhnya tengah menggali kubur bagi demokrasi kita melalui instrumen lembaga-lembaga demokrasi.
Sumber gambar: http://kab-ngawi.kpu.go.id/mendukung-pembelajaran-demokrasi-di-sekolah-kpu-kabupaten-ngawi-pinjamkan-kotak-suara-untuk-sekolah/
Views: 77