Wakil Direktur Eksekutif InMind Institute Prof. Dr. Firman Noor, M.A. menuliskan artikel ilmiah tentang bagaimana kampanye calon legislatif pada Pemilu 2009 semakin pragmatis. Artikel ilmiah ini dipublikasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam Jurnal Penelitian Politik pada 2016. PDF artikel ini dapat diakses pada http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/download/521/329
Kampanye pileg pada 2009 ini telah mengukuhkan sebuah bahasa politik pragmatis yang mencerminkan karakter caleg pada khususnya dan kondisi kepolitikan bangsa pada umumnya. Hubungan antara pragmatisme dengan menurunnya gradasi partai terlihat terkait namun jelas bukan satu-satunya faktor. Kondisi internal partai yang cenderung mengorbankan kaderisasi demi kepentingan sesaat dan yang tidak menopang berkembangnya idealisme yang terefleksikan dengan sulitnya partai membentuk platform dan mewariskannya dengan baik kepada kader dan calegnya menjadi penyebab lain munculnya kecenderungan pragmatisme. Peran masyarakat yang mulai berkecenderungan ke pragmatisme yang didorong oleh berbagai hal termasuk keinginan untuk menghukum turut memberikan kontribusi bagi kondisi ini. Akibatnya mekanisme suara terbanyak yang sebenarnya memiliki tujuan luhur untuk menguatkan akuntabilitas dan derajat keterwakilan justru menjadi sekadar ajang pertarungan politik citra dan kepentingan yang dilandasi oleh semangat jual beli politik.
Berbagai kondisi ini tentu akan membawa beberapa konsekuensi. Di satu sisi bisa jadi kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi dengan segera. Namun di sisi lain kondisi ini bukan tidak mungkin akan memengaruhi menurunnya kualitas lembaga perwakilan terutama di level lokal. Dengan mengandalkan janji dan pendekatan pragmatis yang kerap melampaui job desk, kurang perhitungan (bombastis) dan mengandalkan peran mereka dalam pengaturan APBD bukan tidak mungkin akan terjadi konflik kepentingan dengan eksekutif. Pada pengalaman yang sudah-sudah ketidaksiapan caleg apalagi yang berasal dari nomor urut bawah menyebabkan politik gertak sambal terjadi hanya di awal periode pemerintahan dan berangsur surut di masa masa sesudahnya. Mentalitas caleg yang berorientasi pragmatis jelas tidak dapat diandalkan dalam mempertahankan idealisme keterwakilan. Janji-janji politik pun menguap begitu saja dan kembali rakyat ditinggalkan. Kondisi ini pada akhirnya bukan tidak mungkin justru berpotensi meningkatkan ketidakpercayaan rakyat pada partai dan sistem politik pada umumnya Inilah harga termahal yang harus dibayar dari sebuah pragmatisme politik.
sumber gambar: https://tirto.id/akar-rumput-wong-cilik-yang-tak-terawat-lagi-b5p3
Views: 73