Rangkuman Pemikiran Karl Marx

Direktur Riset dan Pusat Data InMind Institute Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P. merangkum pemikiran salah satu pencetus komunisme, Karl Marx dari berbagai sumber

Karl Marx dilahirkan pada bulan Mei tahun 1818 di Tier, Jerman. Daerah tersebut merupakan daerah jajahan Perancis dibawah Napoleon, akan tetapi kini merupakan wilayah Prusia. Orang tua Marx merupakan yahudi yang pada masa itu mendapatkan diskriminasi yang kemudian hilang setelah adanya Napoleonic Code yang memperkenalkan egaliterianisme. Pada masa itu ayah Marx merasakan kebebasan dan kedamaian di dalam hidupnya dan hidup sebagai borjuis liberal. Namun setelah Napoleonic Code ditarik dan kebijakan anti yahudi diberlakukan, tekanan terhadap bangsa Yahudi kembali terjadi. Karl Marx lahir pada masa ini. Dan dikarenakan kedekatannya dengan ayahnya, ia ikut merasakan kebencian yang teramat dalam kepada penguasa. Keadaan mungkin salah satu alasan mengapa di dalam pemikirannya peran negara harus dihilangkan. Pada akhirnya kemudian orang tua Marx mengubah keyakinan mereka menjadi Kristen untuk mendapatkan keamanan.

Marx muda adalah seorang anak yang sangat brilian, terutama dalam perihal literatur. Marx pada usia 17 tahun belajar di fakultas Hukum, Universitas Bonn di tahun 1835, namun kemudian tahun 1936 ia dipindahkan ke universitas Berlin untuk belajar mengenai yurisprudensi. Pada masa kuliah ini (Bonn, Berlin dan Jena) Marx banyak dipengaruhi dengan pemikiran-pemikiran Hegel dan oleh para intelektual reformis yang dikenal dengan Young Hegelian. Meskipun pada akhirnya ia sendiri menjadi salah satu pengkritik Hegel, di mana dalam tulisannya “Economic and Philosophic Manuscript” Marx mengkritik Hegelian terhadap ekonomi-ekonomu politik yang dipusatkan pada kontradiksi-kontradiksi yang dimunculkan properti pribadi dan pekerja yang diasingkan. Di tahun 1840-41 Marx menyelesaikan disertasinya yang berjudul, “The Difference Between the Natural Philosophy of Democritus and Epicurus.” Setelah itu Marx memulai karirnya sebagai seorang jurnalis di Rheinische Zeitung. Koran ini banyak mengkritik pemerintahan Prusia, yang akhirnya berujung pada pemberangusan oleh pemerintah di tahun 1843. Di masa tersebut membuat Marx terstimulus terhadap bidang ekonomi dan politik.

Marx kemudian belajar ekonomi di Paris dan juga bekerja sebagai jurnalis pada salah satu Koran Jerman di sana. Di masa inilah Marx berkenalan dengan Engels, seorang Jerman yang berfikiran radikal dan anak dari pengusaha kaya. Engels banyak berjasa kepada Marx, tidak hanya sumbangsihnya terhadap pemikiran-pemikiran Marx, yang kemudian dikenal dengan Marxisme, tetapi juga dalam kelangsungan hidup Marx yang begitu melarat akibat dari pembuangan yang dilakukan pemerintah Prusia.

Dalam perihal pemikiran, Marx dan Engels bukanlah pemikir yang pertama kali mengkaji perihal konsep kelas-kelas sosial di dalam masyarakat. Babeuf merupakan salah satu pemikir sebelum Marx yang telah melakukan kajian mendalam mengenai pertarungan antara kelas tertindas yang miskin dan minoritas dengan kelas kapitalis yang kaya. Hal serupa juga telah dilakukan oleh Saint Simon yang meneliti mengenai konsep kelas dengan dampak dari industrialisasi yang cepat di kalangan pekerja. Hal inipun diakui oleh Marx sendiri yang merasa tidak memiliki kelebihan dalam menemukan konsep tentang kelas sosial dan pertarungan antar kelas. Beberapa tulisan yang dihasilkan oleh Marx semasa hidupnya antara lain adalah The Communist Manifesto, The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte, The German Ideology, Capital.  

The Comunist Manifesto

Pemikiran Marx tentang perjuangan kelas dapat dilihat dari bagian awal The Communist Manifesto yang menyatakan bahwa,

“Sejarah masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan-perjuangan kelas. Orang bebas dan budak, bangsawan dan rakyat jelata, tuan tanah dan penggarap, majikan dan pekerja harian, penindas dan yang ditindas, berdiri dalam satu pertentangan satu sama lain, meneruskan sebuah pertikaian yang tak terputus, di satu saat tersembunyi, di saat lain terbuka, yang setiap kali berakhir baik dengan revolusi rekonstitusi seluruh masyarakat atau dalam kehancuran bersama kelas-kelas yang berseteru.” 

Melalui pemikirannya ini, Marx ingin menyatakan bahwa perjuangan kelas adalah sebuah hal yang pasti dan ini bahkan telah menjadi sejarah hidup di berbagai masyarakat. Perjuangan kelas ini hanya akan berakhir dengan sebuah adanya revolusi, sebagaimana yang dikemukakan Marx. Lebih jauh Marx memandang bahwa negara tidak lain hanyalah merupakan panitia dari kepentingan-kepentingan kaum borjuis. Jika di masa lampau kaum borjuis mengusahakan dengan sendirinya kepentingan-kepentingannya, di masa kini kaum borjuis menggunakan negara sebagai alat untuk memenuhi segala kepentingannya. 

Makna lain yang terkandung di dalam pernyataan Marx di atas adalah bahwa dalam pandangan Marx, masyarakat selalu terpolarisasi. Dan dalam polarisasi tersebut, kelas-kelas yang terbentuk di dalam sebuah masyarakat akan saling bertentangan satu sama lain, yakni antara kelas penindas dan yang ditindas. Dan pada perkembangannya menurut Marx, di dalam sebuah masyarakat, kelas yang akan terbentuk adalah kelas borjuis dan proletar. Kelas borjuis kemudian akan muncul sebagai kelas yang dominan dan menindas kelas proletar yang merupakan kelas minoritas. Sebagaimana telah dipaparkan sedikit di atas, dominasi antar satu kelas terhadap kelas lainnya hanya akan hilang melalui revolusi berdarah yang kemudian akan menghasilkan classless society atau masyarakat tanpa kelas.

Materialisme Sejarah dan Dialektika

Pemikirannya mengenai dialektika sedikit banyak dipengaruhi oleh Hegel, meskipun Marx tidak mengakuinya. Akan tetapi menurut Mc Donald, terdapat perbedaan konsep dialektika antara Marx dan Hegel tidak hanya dalam hal objek dari filosofi diskursus tetapi juga fungsinya. Dalam pandangan Hegel, dialektika merupakan sebuah proses terus menerus dari sebuah tesis yang menghasilkan antithesis dan kemudian menghasilkan sintesis. Sintesis yang muncul itu kemudian akan menjadi tesis dan antithesis yang baru. Proses ini hanya akan tercapai ketika ide mutlak telah tercapai. Akan tetapi menurut Marx (yang diwakili oleh Engels), dialektika merupakan ilmu pengetahuan mengenai hukum-hukum gerak dan perkembangan alam, masyarakat manusia dan pemikirannya. Hal ini dibuktikan oleh Marx melalui penerapannya di dalam ilmu biologi.

Pandangan Marx sama dengan Hegel terkair terjadinya dialektika itu bukan di dunia gagasan atau ide, melainkan di dalam dunia material namun perbedaannya dengan Hegel adalah pemahaman mengenai dialektika dimaksudkan Marx untuk mengubah dunia, tidak seperti Hegel yang menurut Marx hanya untuk memahami dunia. Sehingga atas dasar asumsi inilah Marx mengklaim bahwa pandangannya mengenai dialektika berbeda dengan Hegel. Marx bahkan mengklaim bahwa tidak adanya persamaan secara keseluruhan dengan dialektika Hegel.

Adapun mengenai materialisme sejarah menurut pandangan Marx adalah, 

“tahap-tahap perkembangan sejarah ditentukan –di lain kesempatan Marx menyebutkan dipengaruhi- oleh keberadaan material. Bentuk dan kekuatan produksi material tidak saja menentukan proses perkembangan dan hubungan-hubungan sosial manusia, serta formasi politik, tetapi juga pembagian kelas-kelas sosial.”

Kemudian konsekuensi dari pemikiran ini adalah bahwa modal-modal dan alat produksi merupakan basis dari terbentuknya kelas di dalam masyarakat, misalnya adanya alat produksi penggilingan tangan akan menghasilkan masyarakat dengan penguasa yang feodal, sedangkan penggilingan uap akan melahirkan masyarakat dengan kapitalis industri. Maka dari pemikiran ini, bentuk modal dan alat produksi menjadikan basis dari karakteristik suatu masyarakat, dan kehidupan sosial, politik maupun agama merupakan suprastruktur. Inilah paham materialism Marx yang kemudian menjadi dasar konsep determinasi ekonomi dalam sejarah. Melalui konsepsi tersebut, Marx membagi peradaban Eropa ke dalam empat periode, yakni : komunisme primitif, perbudakan, feodalisme dan kapitalisme. Masa kapitalisme merupakan masa transisi menuju terbentuknya diktator proletariat.

Jika merujuk pada Lauer yang dikutip dalam buku Suhelmi, maka intisari dari materialism sejarah adalah, pertama, penyebab dari terjadinya perubahan di dalam sejarah harus dilihat dari perubahan mode alat produksi materialnya, bukan dari segi filsafat ataupun gagasan dari manusia. Kedua, setiap masyarakat dicirikan dari basis dan suprastruktur, namun basis yang menetukan suprastruktur, bukan sebaliknya. Ketiga, perubahan disebabkan adanya kontradiksi sosial ataupun proses dialektis antara kekuatan-kekuatan dan hubungan-hubungan produksi. Keempat, kontradiksi yang ada di dalam masyarakat kapitalis, akan melemahkan bahkan menghancurkan masyarakat tersebut. Kelima, kontradiksi dari kekuatan-kekuatan dan hubungan-hubungan produksi tersebut akan terbentuk melalui adanya konflik kelas.

Negara 

Konsep negara dalam pandangan Marx berbeda dengan Plato, Aristoteles, Rousseau, Hobbes ataupun Locke yang kesemua pemikir tersebut tidak mempermasalahkan eksistensi negara, dalam artian bahwa di dalam masyarakat harus ada negara. Derajat perbedaan di antara kesemua pemikir tersebut adalah sejauh mana peran negara di dalam masyarakat. Rousseau dan Locke misalnya, memiliki pemikiran yang hampir senada yang melihat bahwa peran negara harus di batasi. Hal tersebut berkebalikan dengan Hobbes yang memandang bahwa negara harus menjadi Leviathan, sebuah monster yang begitu mengerikan, sehingga masyarakat akan menaati seluruh hukum yang diberlakukan di negara tersebut. Akan tetapi Marx justru mempertanyakan eksistensi adanya negara.

Marx begitu mempertanyakan eksistensi negara di dalam masyarakat dikarenakan eksploitasi yang dialami kaum buruh oleh kaum borjuis disebabkan salah satunya adanya kehadiran negara. Dalam pandangan Marx, negara menjadi alat kaum kapitalis untuk penindasan tersebut, di mana negara digunakan untuk mempertahankan status quo dan hegemoni ekonomi dan politik kelas kapitalis. Selain itu menurut Marx, eksistensi negara juga tidak lagi diperlukan ketika masyarakat tanpa kelas telah terbentuk. Marx (dalam hal ini diwakili Engels) melihat bahwa negara hanya berkonotasi jahat (evil), sehingga kemudian bahkan di dalam negara proletarian sekalipun, negara tidak memberikan kebaikan. Selain itu, bentuk negara yang koersif tidak lagi dibutuhkan di dalam masyarakat yang di dalamnya tidak terdapat antagonisme kelas, tidak memperbutkan pekerjaan ataupun alat-alat produksi. Negara tidak lagi dibutuhkan di dalam kelas yang masyarakatnya sejahtera dan memiliki pandangan sama rata sama rasa. Dan bagi Marx, tanpa harus dihilangkan, dalam classless society, negara akan hilang dengan sendirinya.

Agama

“Religion is the opium of the people”     

Pandangan sinisme Marx terhadap agama tersebut, bisa dipahami dari latar belakang kehidupan Marx di masa muda, di mana akibat ketiadaan toleransi antar ummat beragama, sehingga hanya individu yang menganut agama penguasa saja yang tidak mendapatkan diskriminasi, membuat Marx dan keluarganya harus memeluk agama Kristen Protestan untuk mendapatkan keamanan. Ketakutan Marx kecil terhadap dominasi gereja di masa lampau ini tampaknya sangat berbekas, hingga ikut mempengaruhi pemikiran Marx terhadap negara.

Ada dua pandangan utama Marx mengenai agama, pertama, Marx melihat agama hanyalah menjadi candu (opium) dari masyarakat. Di mana sifat candu yang  merusak dan hanya memberikan kenikmatan sementara pada manusia. Candu juga hanya dijadikan alat untuk membebaskan manusia dari permasalahan yang membelitnya, ketika manusia tidak sanggup lagi untuk menggunakan akal sehatnya untuk terlepas dari permasalahan tersebut. Maka begitu pula Marx memandang agama. Agama bagi Marx hanya dijadikan manusia sebagai pelarian, ketika manusia tidak sanggup lagi untuk berfikir rasional dalam menyelesaikan masalahnya. Agama hanyalah merupakan tempat pelarian semata. Padahal menurut Marx, setiap persoalan yang dialami manusia bertitik tolak dari manusia, sehingga penyelesaiannya pun harus kembali kepada manusia. Agama hanya menjadikan manusia bukan dirinya sendiri, sehingga agama menjadikan manusia menjadi asing, dan agama merupakan sumber keterasingan manusia.

Kedua, bagi Marx agama hanyalah merupakan produk dari adanya perbedaan kelas sosial di dalam masyarakat. Eksistensi agama ada ketika masih ada kelas-kelas sosial di dalam masyarakat. Menurutnya pula, agama merupakan salah satu alat penindasan dari kepentingan kaum kapitalis yang digunakan untuk menjerat kelas proletar. Dalam hal ini melalui negara, agama digunakan untuk mempertahankan kekuasaannya, karena dengan mengatasnamakan agama, rakyat akan tetap terlena dan tidak memberontak terhadap penguasa. Pemahaman Marx mengenai hal ini didapatkan dari pengalaman sejarah di abad pertengahan, di mana prinsip ajaran Kristen Katolik ketika itu dijadikan pembenaran untuk melakukan perbudakan dan penindasan terhadap kelas proletar. Oleh karenanya menurut Marx, segera setelah terciptanya masyarakat tanpa kelas, agama akan lenyap karena agama tidak lagi dibutuhkan.

Kritik Terhadap Marx

Ada sejumlah kritik yang ditujukan terhadap pemikiran Marx, dalam persoalan pertentangan antar kelas misalnya, Bottomore melihat bahwa Marx terlalu berlebihan dalam melihat konflik kelas sebagai satu-satunya aspek yang paling berpengaruh dalam melihat konflik yang terjadi di dalam masyarakat. Padahal ada berbagai hal lain yang juga menentukan dalam penggerak terjadinya perubahan sejarah, seperti agama dan nasionalisme. Agama misalnya, dalam kasus revolusi yang terjadi di Iran, agama-lah yang memainkan peranan, yang menyebabkan terjadinya revolusi. Atau pada kasus Indonesia, setelah revolusi di tahun 1945, dalam salah satu penelitian Geertz, Islam-lah yang berhasil menyatukan penduduk dan para pemimpin Indonesia hingga mau bersatu di bawah negara Indonesia. 

Dalam pandangannya mengenai negara, Marx juga terlalu berlebihan melihat sisi buruk negara. Karena di samping sisi buruk negara sebagai sebuah alat bagi kepentingan suatu golongan tertentu, negara juga memiliki sisi baik sebagai pelindung masyarakat. Contoh konkritnya pada masa kini adalah kemunculan negara-negara kesejahteraan yang meski di bawah naungan sistem kapitalis, namun berupaya untuk memberikan rakyatnya jaminan sosial. Suatu konsep yang tentunya jauh dari pemikiran Marx saat itu. 

Selain itu pada kasus revolusi Rusia, usaha untuk menghilangkan unsur negara ternyata mengalami kegagalan. Di mana pada awalnya Rusia mencoba menghilangkan peran negara di dalam masyarakat. Namun yang terjadi justru Rusia mengalami kekacauan, roda perekonomian pun hancur, dan bila hal ini terus dilanjutkan, maka bukan tak mungkin Rusia akan benar-benar hancur dengan sendirinya. Akibatnya kemudian Lenin memperbolehkan berdirinya beberapa perusahaan pribadi dan orang-orang ahli dipakai kembali dengan bayaran yang besar. Maka dalam kasus Rusia terbukti bahwa bahkan dalam usaha untuk mewujudkan classless society, negara justru dibutuhkan untuk mengatur jalannya pemerintahan dan roda perekonomian. Tidak hanya negara, bahkan adanya perbedaan kelas juga tetap dibutuhkan. Ini terbukti bahwa mau tidak mau Lenin memperbolehkan berdirinya beberapa perusahaan swasta, agar perekonomian Rusia kembali berjalan. Keadaan ini tentunya bertentangan dengan konsepsi Marx. Maka tidak berlebihan jika banyak kalangan yang melihat bahwa konsepsi Marx adalah utopis.

Dalam perihal agama, jika melihat besarnya kekuasaan agama Kristen Katolik di masa abad pertengahan, maka tidak berlebihan jika Marx sedikit benar di dalam pemikirannya. Pada abad pertengahan, agama Katolik telah tumbuh sebagai sebuah agama yang menindas. Ia menjadi kekuasaan absolut, tidak hanya menguasai permasalahan agama, tetapi telah memasuki ranah sosial dan politik dengan adanya konsepsi hak ketuhanan raja. Akan tetapi hal tersebut tidak dapat digeneralisasi. Apalagi seiring perubahan waktu, agama Katolik sendiri mengalami banyak perubahan dan aturan di dalamnya. Bahkan agama Katolik pada masa kekinian, mampu berfungsi sebagai motor perubahan. Sebagai contoh kasus di Filipina misalnya, gereja memiliki peran signifikan dalam terjadinya demokratisasi di tahun 1986. Atau di dalam kasus Indonesia, agama mampu menjadi motor penggerak para pejuang kemerdekaan Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah.

Daftar Pustaka

Losco, Joseph. 2005. Political Theory, Kajian Klasik dan Kontemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Noor, Deliar. 1982. Pemikiran Politik di Negara Barat. Jakarta: PT. Rajawali Press.

Mc Donald, Lee Cameron. 1968. Western Political Theory: From its Origins to the Present.  New York: Harcout, Brace & World, inc.

Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat.  Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sumber gambar: https://commons.m.wikimedia.org/wiki/File:Karl_Marx.png

Views: 13273