Direktur Riset dan Pusat Data InMind Institute Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P. merangkum upaya pendiri Republik Rakyat China (RRC), Mao Zedong untuk menerapkan komunisme dan meraih masyarakat tanpa kelas di China.
Partai Komunis Cina (PKC) lahir pada tahun 1921 sebagai reaksi terhadap ketertindasan yang dialami oleh petani Cina kala itu. Terdapat dua kelas yang dominan di Cina saat itu, yakni, pertama, kelas tuan tanah (landlord) yang menguasai lahan pertanian dan otomatis para petani yang bergantung padanya. Kedua, pejabat militer (warlord) yang berada di setiap daerah yang bertindak sewenang-wenang dengan kekuasaan yang dimilikinya. Adapula kelas lain yang juga memiliki peran penting yakni pedagang kaya (komprador) yang mendapatkan keuntungan dari perdagangan ekspor-impor dengan Amerika, Perancis dan Inggris. Dan juga pemerintahan Asing (Jepang), yang melakukan kontrol melalui pasukan militer yang dimilikinya.
Untuk melawan kelas-kelas dominan yang membuat petani sengsara, PKC melakukan koalisi dengan partai Kumintang yang dipimpin oleh Ciang Kai-shek yang beraliran nasionalis. Tetapi kemudian Chiang justru berbalik memusuhi PKC, seluruh pemimpin, kader dan anggotanya ditangkap dan dipenjara. Mao dan beberapa pemimpin lainnya akhirnya membangun relasi dan kekuatan dengan para petani di sebuah provinsi miskin Cina, Kiangsi. PKC memimpin provinsi tersebut dari tahun 1931-1934. Berdasarkan pengalamannya di Kiangsi, PKC yang berada di bawah pimpinan Mao menjadi paham bagaimana untuk menjalin hubungan yang baik dengan petani.
Untuk menyatukan rakyat (petani) dalam perjuangannya, Mao membawa isu nasionalisme. Perjuangan revolusi petani tidak hanya sekedar ditujukan untuk land reform atau menghancurkan kelas kapitalis, melainkan pula isu untuk mengusir penjajah (Jepang) dan antek-entek imperalisme yakni Chiang yang meminpin partai Kuomintang yang disponsori oleh Amerika. Menurut Hoffer, keberhasilan Mao dalam melakukan revolusi adalah kemampuannya untuk terus menerus memberikan harapan kepada masyarakat. Menurut Mao, hanya dengan menjaga rakyat secara terus meneruslah perubahan akan tercapai.
Kebijakan Komunisme Era Mao Zedong
Setelah terbentuknya pemerintahan Republik Rakyat Cina tanggal 1 Oktober 1949, sebagai sebuah negara baru, pemerintah komunis Cina memfokuskan kepada tiga hal yakni, menjaga keutuhan wilayah, konsolidasi kekuasaan dan pencegahan bahaya dari luar negeri. Untuk itu dalam upaya mendapat dukungan dari luar negeri, Cina menjalin pendekatan dengan Uni Soviet sebagai negara yang sama-sama berasas Marxisme-Leninisme. Sedangkan dalam upaya konsolidasi ke dalam, pemerintah Cina membentuk sistem pemerintahan diktator demokrasi rakyat, yakni adanya demokrasi namun berada di bawah kekuasaan mutlak PKC. Dan juga demokrasi sentralisme yaitu kebebasan dalam merumuskan kebijakan yang dikendalikan PKC. Di mana pada sistem ini kekuasaan tidak hanya diletakkan di tangan buruh, namun juga didasarkan pada persekutuan antar kaum buruh, tani, borjuasi kecil dan borjuasi nasional di bawah pimpunan puncak PKC.
Pada tahun 1949-1952, periode ini disebut dengan masa rehabilitasi dan konsolidasi, di mana masa ini adalah masa peletakan dasar, terutama bidang ekonomi. Di masa ini adalah masa bagi peletakan dasar ekonomi dalam kerangka ideologi komunis. Di mana seluruh sektor swasta harus ditiadakan, termasuk penutupan 450 bank swasta dan nasionalisasi seluruh perusahaan swasta. Sehingga hanya Bank Rakyat Cina milik pemerintah yang memegang otoritas pengendalian ekonomi keuangan. Di masa ini tidak hanya dilakukan konsolidasi ekonomi, melainkan pula periode untuk konsolidasi politik dan revolusi sosial.
Segera setelah terbentuknya RRC, pemerintah komunis juga mengeluarkan dua kebijakan penting yang justru dibuat sebelum memiliki UUD definitif, yaitu UU Perkawinan (15 April 1950) dan UU Land Reform (30 Juni 1950). Melalui UU tersebut, pemerintah memulai untuk melakukan perubahan sosial secara sistematis. Di mana dengan adanya UU perkawinan, pemerintah bertujuan untuk menghilangkan dominasi keluarga di dalam setiap individu masyarakat Cina yang telah berlangsung sejak lama. Ini sekaligus menandai masuknya negara ke dalam ranah individu. Adapun UU Land Reform tidak hanya ditujukan untuk sekedar mengatur kepemilikan tanah melainkan untuk melakukan perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Cina. Adapun dibarenginya reformasi lembaga perkawinan dengan kampanye Land Reform bertujuan agar dua gerakan massa ini saling membantu. Di mana perempuan dan petani miskin yang selama ini termarjinalisasi dibantu oleh pemerintah untuk keluar dari subordinasinya dan mendapatkan hak yang seharusnya.
Ikut Campur Pemerintah dalam UU Perkawinan 1950
Menurut pemahaman tradisional Cina, setiap individu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keluarga. Sehingga individu harus mengabdi kepada keluarga. Akan tetapi menurut prinsip Marxis, individu merupakan tenaga produksi yang harus meninggalkan keluarga dan mengabdi kepada masyarakat. Maka untuk melakukan perubahan tersebut, pemerintah Cina melakukan perubahan di dalam keluarga melalui institusi pernikahan. Maka dengan dikeluarkannya UU Perkawinan 1950 ditujukan untuk mengurangi dominasi keluarga dalam individu.
Di dalam UU ini pemerintah komunis Cina melarang segala poligami, pergundikan, dan juga pemaksaan dalam pernikahan. Dalam UU ini perempuan memiliki hak untuk menerima ataupun menolak pinangan pria. Keluarga tidak boleh mengintervensi keputusan seorang perempuan. Hal yang sebelumnya amat lazim dilakukan oleh keluarga di Cina terhadap perempuan. Menurut ayat 4 pasal 2 disebutkan bahwa perkawinan harus dilakukan berdasarkan keinginan kedua belah pihak laki-laki dan perempuan tanpa paksaan dari pihak orang tua ataupun keluarga. Akan tetapi untuk melangsungkan pernikahan, setiap individu harus mendapatkan izin dari pihak partai. Jika partai tidak mengizinkan, maka pasangan tersebut tidak dapat menikah. Pernikahan juga harus dicatatkan di kantor pemerintahan yang bersifat nasional dibawah pengelolaan dan pengawasan yang terpusat.
UU Land Reform dan Penghapusan Kelas di Pedesaan
Penerapan terhadap Land Reform sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1927, namun belum dengan cara yang teratur. Lahirnya UU ini ditujukan agar Land Reform dikontrol sepenuhnya oleh partai. Adapun tujuan dilakukannya land Reform adalah agar hilangnya pengkotak-kotakkan masyarakat di pedesaan sehingga masyarakat dapat setara sosial dan ekonomi. Sebab menurut Mao, dengan adanya pengkotak-kotakkan ini akan menyulitkan untuk mewujudkan masyarakat sosialis. Land Reform ini dilakukan melalui dua tahap, yakni pertama, membinasakan tuan tanah dan menetralisir petani kaya. Kedua, mendistribusikan tanah secara merata kepada petani miskin. Secara umum, penerapan Land Reform ini banyak mengubah kehidupan pedesaan. Sekitar 300 juta petani atau 60 sampai 70 persen dari jumlah total petani mendapatkan keuntungan dari program ini.
Kebijakan Pelita I
Pada masa 1952-1957 Mao melanjutkan kebijakan perekonomiannya yang dinamakan Pelita I. Di masa ini pemerintah Cina menitikberatkan pada industri dengan anggaran yang sangat besar. Pemerintah juga melakukan pengerahan massa sebesar-besarnya untuk keberhasilan program ini. Sehingga setelah Pelita I selesai, industri berat Cina sudah berhasil menghasilkan alat-alat transportasi yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Akan tetapi dibalik keberhasilannya tersebut, terjadi ketidakseimbangan pertumbuhan sektoral dan regional, antara industri dan pertanian, antara perkotaan dan pedesaan. Selama Pelita I keadaan rakyat di pedesaan semakin parah.
Komune Rakyat
Komune rakyat dibentuk pada tahun 1958 yang merupakan bentuk awal masyarakat komunis di Cina. Menurut Marx komune rakyat adalah masa transisi menuju masyarakat tanpa kelas. Adapun Mao menginginkan terbentuknya masyarakat tanpa kelas ini melalui kebijakan Gerakan Lompatan Jauh ke Depan. Di mana dalam kebijakan ini Mao mengerahkan seluruh kekuatan rakyat agar mampu membawa Cina lebih berkembang melampaui negara-negara lain, dalam hal ini Cina memberi patokan pada negara Inggris. Cina mengerahkan segala potensi rakyat dengan semaksimal mungkin agar proses industrialisasi dilakukan secara cepat.
Menurut Cohen pembangunan komune rakyat dianggap sebagai bentuk awal dari terbentuknya masyarakat komunis karena di dalamnya terdapat beberapa ciri, diantaranya adalah pertama, dalam sistem distribusi materi, negara melakukan “sistem ganda penawaran bebas”. Dalam hal ini setiap orang menerima upah dalam dua bentuk, berdasarkan kebutuhan dan gaji yang didapatkan dari pekerjaannya. Kedua, dibangunnya tempat makan bersama, tempat tinggal bersama dan berbagai fasilitas yang mendukung efisiensi kerja. Di mana terkadang suami istri harus bekerja sebagai tenaga produksi yang bekerja sesuai dengan kelompok dan regu sehingga harus bekerja selama berbulan-bulan, sehingga harus menitipkan anak di penitipan anak. Ketiga, adanya kepemilikan alat-alat produksi di pedesaan oleh seluruh rakyat, tepatnya negara. Keempat, penghapusan perbedaan antara kota dengan desa, pekerja otak dengan kasar. Sehingga komune menjadi unit dasar masyarakat yang menerapkan kehidupan tanpa kelas.
Menuju Masyarakat tanpa Kelas (?)
Tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh Mao Zedong di masa kepemimpinannya telah mengantarkan Cina menuju proses modernisasi. Namun meski demikian, apakah kebijakan-kebijakan tersebut mampu mengantarkan Cina menuju classless society atau masyarakat tanpa kelas seperti yang dicita-citakan Marx sebagai sebuah ending dari terbentuknya rezim komunisme? Dapat dibilang dua UU yang sangat krusial bagi terbentuknya cita-cita ini telah Mao keluarkan di awal terbentuknya negara komunis Cina. Bahkan jauh sebelum UUD diciptakan. Ini disebabkan kedua UU ini berperan penting dalam menyusun struktur masyarakat Cina menuju classless society.
Pada kenyataannya implementasi dari berbagai kebijakan ini justru menyebabkan efek negatif dan menunjukkan utopianya konsep classless society. Kebijakan-kebijakan ini juga justru malah membuat rakyat menjadi korban. Pada UU perkawinan misalnya, pada akhirnya meskipun pemerintah Cina meninggikan derajat perempuan sebagai subjek yang mampu memberi keputusan, namun pada akhirnya negara-lah yang memiliki kontrol terhadap kekuasaan tersebut.
Efek negatif yang lebih nyata justru dirasakan dengan adanya pembentukan komune rakyat. Perihal terpenting adalah hancurnya pranata keluarga, sebab orang tua harus berpisah dengan anaknya dalam jangka waktu yang panjang.Selain kondisi lingkungan yang kurang kondusif juga menyebabkan merosotnya moral pekerja. Akibatnya mereka tidak bekerja dengan harapan dan moral yang tinggi sehingga hasil pekerjaannya tidak sesuai dengan standar. Dalam bidang pertanian, karena hanya mengejar target membuat petani menanam bibit padi dalam bidang tanah yang tidak sesuai kapasitasnya, akibatnya tanaman tersebut tidak akan berbuah atau justru mati. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kekurangan pangan di pedesaan. Pada akhirnya kebijakan ini hanya diterapkan selama setahun, sebab justru proses menuju classless society tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat, sebagaimana tujuan awal dari pembentukan masyarakat komunis.
Akan tetapi kelebihan dari Mao adalah kemauannya untuk mendengar dan melihat permasalahan yang menimpa para petani sebagai basis sosial dukungan terhadap keberadaan PKC. Setelah dilakukan evaluasi terhadap ketidakefektifan UU ataupun kebijakan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, Mao akan dengan mudahnya mau merevisi kebijakan tersebut. Dalam kasus UU perkawinan misalnya, setelah PKC melakukan revisi bahwa UU perkawinan tidak terlalu efektif. Maka di tahun 1960-an UU tersebut ‘dikendurkan’ penerapannya. Bahkan kebijakan komune rakyat yang awalnya dipuji-puji sebagai sebuah langkah menuju masyarakat komunis, Mao dengan rela menghentikan kebijakan tersebut ketika mengetahui penderitaan rakyat yang ditimbulkan akibat kebijakan tersebut. Sebab memang inti dari komunisme Mao adalah akomodasi terhadap suara kelas petani. Sehingga seringkali oleh rekan-rekannya Mao dianggap tidak konsisten terhadap kebijakan yang diterapkan.
Komunisme versus Demokrasi
Jika dilihat dari tujuannya, komunisme memang memiliki tujuan yang baik. Keprihatinan Marx, Lenin ataupun Mao terhadap keadaan kaum marjinal membuat mereka menciptakan konsepsi di mana tidak ada lagi rakyat yang tertindas. Dan hanya pada keadaan tanpa kelas-lah –dalam pandangan mereka- ketertindasan dapat dihilangkan. Tidak ada lagi yang lebih kaya ataupun lebih miskin. Semua sama rata sama rasa.
Akan tetapi, selain penerapannya utopis, kesamaan rata dan rasa belum tentu akan menghasilkan kesejahteraan. Pada kasus Cina, ketika komune rakyat diterapkan oleh Mao, justru yang terjadi justru sebaliknya. Tanpa ada rasa persaingan, tiap individu tidak akan memberikan upaya yang lebih dalam melakukan pekerjaan. Akibatnya, hasil pekerjaan menjadi tidak sesuai standar. Sebab sebaik apapun orang yang bekerja, hasil yang diterimanya akan sama. Spesialisasi yang ‘diharamkan’ justru terbukti diperlukan untuk terciptanya hasil yang baik dalam bidang industri ataupun pertanian. Tanpa spesialisasi dan tentunya pengetahuan yang cukup, pekerjaan yang dilakukan oleh individu justru akan menghasilkan malapetaka. Ini yang terjadi di Cina ketika orang-orang yang tidak mengerti pekerjaan dalam pertanian diserahkan bidang tersebut. Dalam kasus komunisme Mao, memang Mao mau melakukan perubahan terhadap kebijakan, jika ternyata pada hasilnya merugikan rakyat. Akan tetapi rakyat lebih dahulu merasakan penderitaan tersebut. Tentu akan berbeda jika kebijakan itu dirumuskan secara bersama-sama terlebih dahulu.
Dalam iklim demokrasi misalnya, sebuah kebijakan dihasilkan tidak hanya bersifat top-down, tetapi juga sebaliknya. Sebelum sebuah kebijakan ingin dikeluarkan dan dilaksanakan, maka pemerintah akan terlebih dahulu berkonsultasi dengan rakyat. Pemerintah juga menghitung sejauh mana konsekuensi dari kebijakan tersebut terhadap rakyat. Pun setelah kebijakan itu dikeluarkan ternyata diprotes sejumlah masyarakat, maka dalam rezim demokratis, pemerintah tidak segan-segan untuk merevisi kebijakan tersebut atau bahkan menghapuskannya.
Dalam perihal perekonomian, asas terpenting dalam demokrasi adalah diberikan kebebasan sebebas-bebasnya kepada setiap orang, asal tidak melanggar hak orang lain. Dalam mekanisme ini memang akan terjadi kecenderungan terjadinya ketimpangan. Sebab orang yang lebih rajin tentu akan mendapatkan hasil yang lebih dibandingkan orang yang malas dalam bekerja. Akan tetapi mekanisme ini membuat produktifitas berjalan dengan efisien. Setiap individu akan termotivasi untuk mengerahkan usahanya semaksimal mungkin dalam pekerjaanya. Sehingga barang-barang yang dihasilkan dalam sebuah produksi akan berkualitas. Oleh karenanya dalam perbandingan yang sederhana ini, maka dapat dikatakan bahwa demokrasi jauh lebih baik dibandingkan komunisme.
Kesimpulan
Untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas di Cina, Mao mengeluarkan sejumlah kebijakan yang bertujuan untuk merubah keadaan struktur sosial masyarakat di Cina. Dua UU yang Mao keluarkan setelah berdirinya Republik Rakyat Cina di bawah rezim komunisme adalah UU perkawinan dan Land Reform. UU Perkawinan diterapkan agar individu tidak memiliki loyalitas terhadap keluarga. Sebab menurut Marx, untuk menuju masyarakat tanpa kelas, seorang individu harus memiliki loyalitas terhadap masyarakat. Oleh karenanya dalam UU ini, negara mereduksi kekuasaan keluarga dalam menentukan pernikahan individu. Negara memberikan kebebasan kepada individu untuk memilih pasangannya. Akan tetapi kebebasan tidak dibebaskan sebebas-bebasnya karena negara menggantikan peran orang tua. Dalam hal ini jika negara tidak setuju terhadap rencana pernikahan seseorang, maka pernikahan tidak dapat dilangsungkan.
Sedangkan dalam UU Land Reform, sebenarnya lebih mengatur pelaksanaan Land Reform yang sebelumnya telah dilakukan di tahun 1927. Jika sebelum adanya UU ini maka Land Reform dilakukan dengan seenaknya sehingga seringkali menimbulkan korban. Penerapan UU ini mendapat sambutan yang cukup hangat dari masyarakat Cina yang memang 80 persen adalah petani. Tetapi hambatan penerapan UU ini datang dari kelas tuan tanah yang menolak UU ini dengan menyewa bandit di sekitar tanah mereka. Sehingga ketika Land Reform dilaksanakan oleh petani, para bandit ini membunuh petani yang datang. Hal ini tentu menimbulkan ketakutan di kalangan petani. Hingga akhirnya kebijakan penerapan Land Reform hanya bisa dilakukan di sejumlah tertentu saja. Pemerintah juga akhirnya tidak gencar melakukan kampanye ini.
Kebijakan lain yang dikeluarkan Mao adalah komune rakyat. Di mana pemerintah membangun fasilitas umum yang dapat dipergunakan bersama. Seperti tempat tinggal, kantin makanan dan juga tempat penitipan anak. Tempat penitipan anak ditujukan bagi orang tua yang harus meninggalkan anaknya dalam waktu yang lama untuk bekerja. Sebab adanya sistem komunisme menuntut pada suami istri bekerja dalam kurun waktu yang lama di tempat tertentu, sehingga mereka harus berpisah dari anak-anak mereka. Namun ternyata sistem ini tidak mampu menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat. Justru menghasilkan sejumlah masalah. Institusi keluarga menjadi rusak, moral pada pekerja juga menurun. Dampaknya adalah penurunan produktifitan dan hasil produksi. Dalam bidang pertanian, ketiadaan pengetahuan para petani dalam bertani menyebabkan gagalnya hasil panen di banyak tempat. Sehingga kemudian pemerintah akhirnya menarik kebijakan ini.
Maka berdasarkan kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Mao di masa kepemimpinannya di PKC dapat disimpulkan bahwa kebijakan-kebijakan belum mampu menciptakan terbentuknya sebuah masyarakat tanpa kelas. Meskipun kebijakan komune rakyat coba diterapkan sebagai langkah awal dari classless society, namun ternyata kebijakan itu tidak mampu menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Maka dapat dibilang, upaya penerapan maasyarakat tanpa kelas adalah sebuah utopia. Apalagi jika kemudian pembentukannya ditujukan untuk menghasilkan kesejahteraan rakyat. Inilah pula yang menjadi argumentasi dari banyak pihak, bahwa sistem demokrasi masih jauh lebih baik dari sistem komunis.
Daftar Pustaka
Engels, Friedrich. 2012. Kondisi Kelas Pekerja Inggris: Embrio Sosialisme Ilmiah(terj.). Yogyakarta: Pustaka Nusantara.
Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Noor, Deliar. 1982. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Jakarta: CV. Rajawali.
Macridis, Roy C. 1982. Contemporary Political Ideologies: Movement and Regimes (2nd ed.). Boston: Little, Brown and Company.
Suseno, Frans Magnis. 2010. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Arendt, Hannah. Asal-Usul Totaliterisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lenin, W. I. 1955. Negara. Jakarta: Jajasan Pembaruan.
Wibowo, Priyanto. 2007. Perubahan Sosial Cina Tahap Pertama: Mao dan Pedesaan (1949-1959). Depok: FIB UI.
Sukisman, WD. 1993. Sejarah Cina Kontemporer: Dari Revolusi Nasional Melalui Revolusi Kebudayaan Sampai Modernisasi Sosialis.
sumber gambar: https://amp.cnn.com/cnn/2019/09/29/asia/china-beijing-mao-october-1-70-intl-hnk/index.html
Views: 1418