Regenerasi Petani Berbasis Smart Farming 4.0, Kunci Kemajuan Sektor Pertanian di Masa Depan

Peneliti InMind Institut Zainal C. Airlangga, S.Hum., M.I.P. yang juga seorang anak petani bawang di Brebes menuliskan bagaimana kekurangan petani milenial di Indonesia dapat diatasi dengan Smart Farming 4.0 yang menggunakan teknologi smartphone untuk mengontrol lahan. Startup di bidang pertanian perlu didukung pemerintah.

Kementerian PPN/Bappenas dalam diskusi publik bertajuk “Potret Pembangunan Era Jokowi” beberapa waktu lalu menyatakan bahwa bidang yang secara positif berkontribusi terhadap pembangunan Indonesia adalah pertanian. Hal tersebut di samping karena berbagai upaya pengembangan pertanian, juga didukung sejumlah terobosan kebijakan dalam pengelolaan anggaran belanja yang dilakukan Kementerian Pertanian dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.

Sejalan dengan itu Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor pertanian mengalami kenaikan 12,66 persen (year on year) dengan nilai transaksi 0,28 miliar Dolar AS. Total ekspor Indonesia secara kumulatif mencapai 53,95 miliar Dolar AS, atau naik 0,44 persen (year on year). Pada periode Januari hingga April 2020 ekspor hasil pertanian juga mengalami kenaikan 15,15 persen lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Tidak hanya itu kontribusi sektor pertanian di dalam produk domestik bruto (PDB) Indonesia berada di antara 12 sampai 14 persen sejak 2014 hingga 2020. Sektor pertanian juga menjadi sektor terbesar kedua setelah industri pengolahan di dalam struktur PDB. Dari indikator-indikator tersebut, pertanian secara keseluruhan menyumbang 0,7 persen dari 5,05 persen pertumbuhan ekonomi nasional di triwulan kedua 2019. Angka itu mengalami kenaikan 0,23 persen dari triwulan pertama 2019.

Namun begitu, potensi positif sektor pertanian dihadapkan pada beberapa tantangan. Salah satu tantangan terbesar pembangunan pertanian di Indonesia saat ini adalah minimnya minat generasi muda (utamanya kaum milenial) untuk bertani. Jika hal ini terus berlanjut maka di masa mendatang Indonesia akan kekurangan petani. Produktivitas, lahan pertanian, hingga ketahanan pangan pun terancam. Oleh sebab itu, selain diperlukan lompatan dan modernisasi pertanian, ada baiknya kita menengok pada fase yang menjadi penentu kemajuan pertanian di masa depan namun sering dilupakan: regenerasi petani.

Defisit Petani di Tengah Bonus Demografi, Tantangan Nyata Sektor Pertanian
Data memperlihatkan bahwa jumlah petani di Indonesia masih didominasi oleh generasi tua. Hasil survei pertanian antarsensus 2018 yang dilakukan BPS menunjukkan hampir 70 persen petani adalah kelompok umur 45 tahun ke atas. Bahkan Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian mencatat 90 persen dari total jumlah petani Indonesia sudah memasuki fase kurang produktif. Hanya berjumlah 2,7 juta orang atau sekitar 8 persen petani berusia 20 hingga 39 tahun dari total jumlah petani di Indonesia. Berkurangnya jumlah petani muda juga diikuti dengan luas lahan pertanian yang semakin menyusut setiap tahunnya karena alih fungsi.

Mengapa hal itu terjadi? Ini karena sebagian masyarakat masih memandang sektor pertanian tidak lagi bisa memberikan kesejahteraan. Petani saat ini dinilai sebagai pekerjaan kelas dua yang tidak menawarkan masa depan cerah. Tidak jarang orang tua yang menjadi petani berharap anaknya bekerja di sektor lain. Berdasarkan hasil survey LIPI, hampir tidak ada anak petani yang ingin menjadi petani. Hanya sekitar 4 persen dari anak petani berusia 15 hingga 35 tahun yang berminat menjadi petani. Sisanya sebagian besar tergiring industrialisasi. Akibatnya urbanisasi menjamur dan mereka meninggalkan lahan-lahan pertanian demi beralih pekerjaan di perkotaan. Terakhir, generasi milenial adalah generasi yang lebih menyukai hal-hal yang berhubungan dengan teknologi informasi atau dunia digital.

Sementara di sisi lain Indonesia baru saja menapaki era bonus demografi yang berlangsung pada 2020 hingga 2030. Di kurun waktu tersebut jumlah penduduk Indonesia yang berada pada usia produktif (15 sampai 65 tahun) mencapai 70 persen, sisanya 30 persen usia nonproduktif (di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun). Bonus demografi dapat memberikan berkah dan sekaligus menjadi ancaman apabila tidak diimbangi dengan penyediaan lapangan kerja yang memadai serta penyiapan SDM generasi muda yang berkualitas. Bagi sektor pertanian hal ini juga bisa menjadi ancaman manakala yang terjun ke sektor pertanian hanya berasal dari sisa bonus demografi dengan kompetensi rendah sehingga malah akan menyebabkan semakin menurunnya produktivitas sektor pertanian.

Melihat kenyataan di atas, seperti telah disinggung sebelumnya, regenerasi petani mendesak untuk dilakukan. Model regenerasi tersebut tentu saja harus disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan passion anak milenial, yakni berbasis teknologi (Smart Farming 4.0).

Regenerasi Petani Berbasis Smart Farming 4.0, Kunci untuk Masa Depan
Upaya pemerintah melalui Kementerian Pertanian untuk mendorong minat anak muda terhadap pertanian sejauh ini telah dilakukan dan patut diapresiasi. Salah satunya melakukan berbagai pelatihan peningkatan kualitas generasi muda pada bidang pertanian, jambore bagi petani muda, pengukuhan 67 duta petani milenial, dan sebagainya. Upaya-upaya tersebut tentu saja masih perlu penyempurnaan, masukan, dan inovasi dari berbagai pihak.

Berkelindan dengan itu, saya memandang pemerintah juga perlu segera merevitalisasi strategi yang lebih substantif untuk mendorong minat anak muda bertani sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satunya melalui regenerasi petani berbasis Smart Farming 4.0. Dengan teknologi Smart Farming, agrikultur bisa menjadi agri”cool”ture dan menarik minat anak muda. Terlebih di masa pandemi seperti saat ini, inovasi teknologi 4.0 semakin relevan dan harus dipercepat.

Smart Farming 4.0 adalah sebuah penerapan platform yang dihubungkan dengan perangkat teknologi, seperti tablet ataupun handphone untuk mengumpulkan informasi penting (contoh: status hara tanah, kelembaban udara, kondisi cuaca) yang diperoleh dari perangkat yang ditanamkan pada lahan pertanian. Teknik ini juga sering diaplikasikan dengan penggunaan drone untuk mensurvei udara di lahan pertanian guna menginspeksi kesehatan tanaman. Selain kedua implementasi aspek tersebut, smart farming juga sudah dipakai untuk weather nutrient sensing yang terintegrasi melalui wireless menuju smartphone atau laptop pada stasiun utama. Dengan cara ini, sistem pertanian berjalan lebih efektif, produktif, efisien, mengurangi kerusakan lingkungan, dan bisa dilakukan di mana saja.

Untuk mempercepat regenerasi berbasis Smart Farming 4.0 yang mendorong minat anak muda untuk bertani ini, perlu dukungan pemerintah terutama dalam beberapa hal: Pertama, stimulus inovasi teknologi pertanian seperti agro startup yang bisa membantu proses penanaman hingga panen lebih efektif dan efisien. Hal ini mengingat dari empat startup unicorn di Tanah Air tidak ada satu pun yang bergerak di sektor pertanian. Untuk itu, infrastruktur digital dengan koneksi yang cepat dan mudah diakses, khususnya di daerah pedesaan, harus dibenahi.

Kedua, meningkatkan insentif menjadi seorang petani bagi generasi milenal. Insentif tersebut bisa berupa asuransi pertanian, asuransi kesehatan, kredit usaha tanpa agunan, akses terhadap permodalan, serta kebijakan lain yang bisa mengurangi beban hidup petani.

Ketiga, melakukan pelatihan langsung kepada para pemuda tani, khususnya di pedesaan, tentang cara bertani berbasis Smart Farming 4.0. Program ini dilengkapi magang dan kelas inspirasi bersama petani sukses serta praktik di area persawahan. Cara yang dilakukan karang taruna di Kulon Progo, Yogyakarta, mungkin bisa ditiru. Mereka diberikan akses mengelola tanah kas desa oleh pemerntah setempat untuk bertani. Dengan cara ini, anak muda tak perlu menunggu lama untuk mulai menjadi petani.

Pada akhirnya, untuk menarik anak-anak muda ke pertanian, kita harus menjadikan sektor pertanian menjanjikan dan menguntungkan dengan pembukaan akses pasar, inovasi, dan teknologi. Kunci untuk mencapai hal tersebut adalah dengan melakukan regenerasi petani berbasis Smart Farming 4.0. Upaya ini ke depannya akan membawa dua manfaat sekaligus: menghasilkan aktivitas pertanian dari hulu hingga hilir yang efektif dan berkualitas, juga memunculkan para petani muda inovatif sebagai pewaris kejayaan pertanian Indonesia.

Sumber gambar: https://paktanidigital.com/artikel/teknologi-pertanian-anak-bangsa/#.XyUixhilaDY

Views: 313